SAYA punya teman, Amin namanya. Orangnya gemuk, banyak
ceritanya. Amin rajin dan sederhana cara berpikirnya. Emoh
berbelit, tak suka yang sulit-sulit. Slogan dan semboyan ia tak
doyan. Kerja nyata dan hasil guna yang ia utamakan. Bila Amin
diminta pandangan soal pembangunan dan kemasyarakatan, hanya
satu yang ia pesan. Jangan terlalu banyak ngobral omongan,
utamakan kesempumaan yang dapat secara nyata kita kerjakan.
Kadangkala Amin suka juga merenung perkara rakyat jelata.
Menurut Amin mereka mesti tetap diperkenankan berpikir wajar,
berbicara sederhana dan boleh berbuat apa yang nyata bisa
dilakukan. Amin kurang suka mereka diajak berpikir di langit,
berbicara di angin dan bas bus mengikrarkan busa. Pendidikan
politik menurut Amin perlu, asal politik yang menyentuhkan kaki
rakyat di bumi kenyataan. Tidak meninabobokan lamunan mereka di
negeri dongeng di atas kayangan.
Melihat kanan kiri Amin suka risau. Banyak orang suka sekali
berpidato. Semua kepingin meniru Bung Karno, gayanya saja. Semua
ingin menjadi Bung Tomo, lagaknya saja.
Padahal tantangan masalah sejak kita merdeka belum jauh
beranjak. Juru ketik tetap banyak yang tidak pintar mengetik.
Nelayan tetap banyak dililit utang. Petani banyak yang tak punya
tanah. Peneliti banyak yang hanya omong soal penelitian, tetapi
tak pemah meneliti.
Amin, sampai jauh mengamati di desa-desa. Pendidikan politik,
bila tidak bUaksana, membikin tiap orang merasa pantas jadi
Gatutkaca. Tak ada yang berminat jadi Ponikem, Ponco atau Guno.
Tak ada yang merasa pantas jadi Paidi, Dimin atau Supinah.
Akibatnya, taman makin miskin keaneka-ragaman cita-cita.
Masyarakat langka kebhinekaan. Wayang sekotak Gatutkaca semua.
Lakon tak bisa dimainkan. Yang ada panggung gegap gempita tanpa
cerita, karena hanya satu warna, satu kata, satu lagu, satu
irama.
Hong Wilaheng
Karena Amin cucu dalang, ia pun berandai-andai dari centa
wayang. Karena Amin dibesarkan oleh pekik Merdeka, ia tak sabar
berupacara. Karena Amin pemah ikut gerilya, ia lebih menikmati
irama Sampak yang gegap gempita, daripada ketenangan pangkur
gending pernbuka. Karena Amin patriot pembela bangsa hatinya
lebih menempel pada si Kromo longso daripada Ngabehi
Suromenggolo. lmpiannya mengukir pacul, luku, garu dan palu.
Usahanya memahat kayu, menggali bumi atau menanam ubi.
Amin senang, bila wayang segera berperang. Amin suka bila
Goro-Goro Petruk dan Gareng segera dibuka. Patet enam segera
dibalik ke patet sembilan. Barisan raksasa dibabat oleh Harjuna
dan Gatutkaca. Lakon segera mengungkapkan jalan centa.
Percakapan segera kongkrit dan tidak berputarputar sekitar hias
rias dan kiasan kata-kata.
Ditempa dan didewasakan oleh kerja, Amin menjadi makhluk lugas
dan prasaja. Katanya ia capek dengan hong wilaheng, mantera
pembuka, bila raja dewata mau bicara. Ungkapannya sulit, lebih
sulit lagi untuk mengartikannya. Tetapidalang dan penonton tidak
peduli. Karena kata itu sudah ada sejak zaman dahulu kala, apa
kata nenek moyang itu pula yang harus diwariskan untuk dihafal
cucu yang malang. Hong Wileheng mengungkap negara jaya, rakyat
makmur sentosa, raja berbudi, berwibawa, keluarga bahagia
sejahtera.
Hong Wilaheng selalu diungkap nomor satu. Penuh sakral, penuh
bual. Biarpun kosong makna, hampa pesan, tetapi menanyakan lagu
wajib yang mesti didendangkan. Mantera itu peltanda upacara baru
saja dibuka. Ungkapan itu masih jauh dari kerja. Hong Wilaheng
baru mengungkap keagungan kerajaan, keelokan busana, kebesaran
budaya, keluhuran nilainorma serta bla bla bla. Belum kerja,
belum berbuat nyata. Masih jauh dari hasil yang dapat diraba,
dilihat mata.
Tikus dan Kucing
Alkisah, waktu bercerita pada saya, Amin baru pulang dari manca
negara ia berkeluh-kesah setelah ber-hong wilaheng bersama
tikus-tikus di bangsal kencana negeri dongeng Turki, di kota
Ankara. Para tikus. dari seantero dunia, telah bersidang
membahas soal kucing si makhluk angkara.
Kucing yang tampak manis tetapi sesungguhnya ganas itu dibahas
dari segala sudut pandangan. Sorot matanya memancarkan maut
menyimpan misteri penuh berhala. Rintihnya mengalun, memancarkan
budaya agung yang berbahaya. Binatang cantik jelita itu
perwujudan nilai-nilai yang tak pelak diwariskan pada
keturunannya.
Setelah ludes diungkap rahasia alam yang terkandung di wadag
sang kucing, ditafsirkan makna dan arti tingkah lakunya,
disusunlah pedoman pemberantasannya. Karena binatang manis
namun sesungguhnya ganas memangsa tikustikus, perundingan pun
berlangsung tiga hari tiga malam terus menerus. Akhirnya satu
rumusan ditelurkan. Ungkapannya jitu disambut tepuk tangan.
Kesimpulan sidang sederhana saja. Kucing yang aniaya itu bukan
untuk dibantai, bukan untuk disiksa. Karena semua tikus tunduk
pada nilai luhur sapta darma. Biar musuh, mesti diperlakukan
dengan tepo seliro. Rumusan itu tertuang dalam Deklarasi Ankara.
Mengingat bla bla bla, menimbang bli bli bli, memutuskan kucing
mesti dikalungi kelintingan cukup sebiji. Maksudnya, agar bila
kucing datang mengendapendap mengintai, setiap ekor tikus dapat
mendengar peringatan bunyi, alu bisa lari, atau bersembunyi.
Deklarasi Ankara manis, tiada keji. Kucing dan tikus dapat
berkoeksistensi damai. Lingkungan hidup pun barangkali bisa
tetap lestari. Cuma si Amin yang cerdik itu, terlalu jeli.
Seusai sidang ia merenung dan gegetun setengah mati. Kenapa
dalam rumusan Deklarasi Ankara, tidak tercantum tikus yang mana
yang bertugas mengalungkan kelintingan mungil di leher kucing,
si angkara murka ini?
Dalam perjalanan pulang, si Amin termenung di kapal terbang.
Bistik ayam yang disuguhkan pramugari Thai International TG 413
itu, serasa daging tikus yang habis konperensi. Disuguhkan oleh
kucing manis yang terkena Deklarasi Ankara di Turki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini