DI bawah rindang pepohonan, makam yang luas dan kelabu itu bagai
memendam misteri. Angin musim gugur berhembus tajam. Turun
menyayat dari ketinggian Elma Dag, satu di antala tujuh gunung
yang memagari ibukota Turki, Ankara.
Di situ terbujur jenazah putra Turki yang paling sering
dipersoalkan: Mustafa Kemal Ataturk. Dia yang pernah berkata:
"Bahwa pada suatu saat jasadku pasti menjadi debu. Tapi
Republik, yang ditegakkan oleh jasad ini, akan hidup abadi."
Dengan wajah pucat dan sepasang mata serigala, pendiri dan
presiden pertama Republik Turki itu bagai tak lepas mengawasi
rakyat yang ditinggalkannya. Hampir tiap kota berhiaskan
patungnya.
Dia telah berkembang menjadi legenda yang tak tersangkal. Tokoh
yang merenggutkan Turki dari tangan kekhalifahan, dan
mengantarkannya ke jenjang abad ke-20.
Reputasinya sebagai "pembangun bangsa" diakui hampir di seantero
jagad. Ia dipuja setiap kawula Turki yang berpikiran modern.
"Tapi kini citra itu mulai redup," tulis Cal McCrystal dalam
majalah Arabia: The Islamic World Review.
Dia dilahirkan di Salonika, Yunani, Mei 1881. Di kampung Turki
itu, rumah-rumah berloteng menjatuhkan bayang kurus memanjang ke
jalan berbatu. Pada musim dingin jalan itu tergenang air dan
lumpur.
Anak-anak yang berkeliaran di kampung itu sama melaratnya dengan
lingkungan sekitar. Kurus, pucat, dengan air muka serba tak
pasti. Inilah wilayah busuk Imperium Ottoman yang tak pernah
dijamah pembaruan. Sebuah monumen Yan diabaikan. Pada 1892
Mustafa masuk sekolah militer. Tujuh tahun kemudian ia lulus
dengan pangkat pembantu letnan. Lalu berangkat ke Istanbul untuk
pertama kalinya.
Ketika itu seluruh kerajaan bagai dilanda nestapa. Itulah tahun
pembantaian orang Armenia, yang secara rahasia didukung Sultan
Abdul Hamid, sang "Sultan Merah". Abdul Hamid sendiri berlindung
di istananya yang megah di Yildiz, setentang Bosphorus. Raja ini
takut dibunuh.
Akademi Militer Turki terletak di Pera, distrik Istanbul yang
kini bernama Beyoglu. Di sana bertaburan villa musim panas,
umumnya milik orang Yunani. Ada pula sehuah kota kecil dengan
gaya, kemewahan, dan kesenangan Barat.
Mustafa Kemal tidak akrab dengan gaya hidup macam begitu. Tapi
ia berusaha membiasakan diri. Dia mulai teliti memilih pakaian,
berusaha mengutip kata-kata klasik, dan menyempurnakan bahasa
Arabnya. Pada masa itulah seorang bawahannya menambahkan
panggilan " Kemal" pada nama Mustafa. Artinya: kesempurnaan.
Sampai di mana gerangan kebenaran yang menunjang mitos tokoh
ini?
Tatkala Mustafa Kemal memimpin Perang Pembebasan Nasional
negerinya, 1919-1923, Turki adalah sebuah negeri yang
compang-camping. Jutaan rakyat, hidup di daerah terpencil,
percaya tak ada dunia lain di luar dusun mereka.
SEKOLAH tak dikenal. Pakaian sangat bersahaja. Sepatu dan kaus
bikinan sendiri. Makanan hampir tak bervariasi. Upacara
perkawinan merupakan peristiwa sangat besar.
Hidup sangat sederhana, terbelakang, dan papa. Pertanian dan
industri tak memadai. Pengertian "Barat" tak lebih dari ufuk di
mana matahari terbenam.
Mustafa Kemal telah mengubah wajah murung negerinya itu, dan
menerima julukan "Bapak Turki Modern" "Tapi jika ia hidup hari
ini, puaskah ia atas karyanya dan karya para penguasa yang
menggantikannya?" tanya Cal McCrystal. Apakah "Turki modern"
benar-benar kenyataan yang patut dikagumi ?
'Pembaratan' Turki yang diimpikan Mustafa Kemal tak pernah
terwujud.
"Kecuali di sekitar Istanbul dan beberapa kota lain." Apa yang
dinamakan "Kemalisme" tampaknya mengalami jalan buntu.
Di satu pihak Kemalisme terlalu memaksakan penerapan kebudayaan
asing atas sebuah peradaban dan kearifan tua yang sudah mapan.
Hal ini menimbulkan proses perlawanan, yang membuahkan
pergolakan dan keguncangan selama tak kurang setengah abad.
Pada sisi lain, Turki adalah (dan tetap) milik Dunia Ketiga Di
sini "ada semacam pasang surut westernisasi", kata McCrystal.
Bukan lantaran kegagalan Barat, melainkan karena pilihan yang bi
jak. Ada semacam himbauan untuk menimba inspirasi dari
kebudayaan tradisional. Juga faktor kebangkitan kembali Islam
yang tak bisa diabaikan.
Persoalan masa klni Kemalisme justru berpangkal pada
percobaannya menepiskan arti penting agama dari kehidupan
rakyat. Mengajarkan aksara baru tidaklah terlalu sulit - seperti
Kemal membuktikannya. Demikian pula melarang para lelaki
mengenakan terbus. Tapi agama adalah masalah lain. Mempromosikan
sekularisme malah membuat Kemal terjerembab ke dalam kekeliruan
besar dan bcrbahaya. "Melawan agama tak ubahnya bagai memerangi
angin," kata McCrystal.
Tapi para penguasa Turki tampaknya tidak ambil peduli. Misalnya
pertcngahan bulan Ramadhan lalu, ketika Jenderal Kenan Evren
muncul dalam sebuah pertemuan. Di tengah pidatonya, kepala
negara Turki itu mengangkat gelas dan meneguk minum an. "Saya
suka berterus-terang," katanya. "Kalian perlu tahu bahwa saya
tidak berpuasa." Sikap ini melambangkan Kemalisme yang khas,
usaha memisahkan masjid dari negara.
Bahkan pada 1920-an dan 1930-an, Mustafa Kemal Ataturk tak
hanya memisahkan agama dari negara. Dia menutup semua lembaga
pendidikan agama Islam Sunni. Lembaga serupa dari kalangan Syiah
tak pernah dikenal di Turki. Fakultas Agama Universitas Ankara
juga diberangus untuk waktu yang cukup panjang.
Kini kekuasaan berada di tangan Jenderal Kenan Evren, yang naik
tahta melalui kup tak berdarah tahun lalu. Ia segera membekukan
semua kegiatan politik. Menjanjikan penyebaran kembali
Kemalisme. Mendorong perdagangan bebas. Dan tampaknya tak begitu
mengacuhkan agama.
Marxisme-Leninisme dan Islam "fundamentalis" sama dimusuhi.
Sistem pendidikan dipusatkan di bawah semboyan: " Kemalisme:
Sekali Cemerlang di Masa Lampau, Selamanya Cemerlang di Masa
Depan." Tapi tak lama kemudian, sesuatu yang tak terduga dan
nyata berlawanan dengan Kemalisme terjadi.
Pendidikan agama yang disponsori pemerintah di sekolah-sekolah
akan diserahkan ke tangan para mullah. Gejala ini mengisyaratkan
dua hal. Pertama, pemerintah militer Turki khawatir kegiatan
agama justru berkembang di bawah tanah dan tidak terkontrol,
apabila terus-terusan ditindas. Kedua, ada semacam pikiran,
"desekularisasi, dalam derajat ala kadarnya, toh tidak begitu
berbahaya."
Mungkin juga junta militer Turki menarik pengalaman dari Iran.
Di sana sejarah membuktikan berulang-ulang, betapa kondisi
tertentu mempersatukan para pemuka agama dengan elemen
nasionalis radikal maupun liberal, melawan pemerintab. "Namun
apa pun alasan pokoknya) sikap ini memperlihatkan bahwa jalan
menuju sekularisasi tidak selamanya licin," tulis McCrystal.
Gejala lain yang memperlihatkan redupnya Kemalisme dewasa ini
justru terjadi di sekitar perayaan ulang tahunnya keseratus, Mei
lalu. Demokrasi, satu di antara "mutiara Barat" yang dijunjung
dan dielu-elukan Mustafa Kemal, kini merana di bawah rezim
Evren. Partai-partai politik, yang dulu sangat diandalkan Kemal,
dibekukan.
Kemalisme mengandung enam prinsip: Cumhuriyetci (Republikan
isme), Milliyetci (Nasionalisme), Kalkci(Populisme), Devletci
(Etatisme), Laik (Sekularisme), dan Inkilapci (Revolusionisme).
Di sekitar 1930-an, kontroversi paling menonjol di antara
prinsip itu ialah Etatisme dan Revolusionismereformisme.
Republikanisme dan Nasionalisme tak menimbulkan soal. Begitu
pula Populisme.
Sekularisme masih ditenggang, selama agama dihormati sebagai
persoalan perorangan. Tapi suasana mulai terusik ketika kaum
sekularis radikal bertambah kuat, dan makin berani mengejek kaum
muslimin antara lain dengan sebutan "kontrarevolusi".
Sementara itu suasana di pedalaman Turki boleh dikatakan tak
berubah. Mereka tetap berada dalam kondisi seperti tatkala
gagasan "modernisme" baru saja hinggap di benak Mustafa Kemal.
Di banyak dusun terpencil, rakyat bahkan belum tahu kalau zaman
kesultanan sudah silam! Kawasan Anatolia yang luas dan gelap tak
pernah dijamah sesuatu yang bisa disebut pembaruan.
Keadaan di sekitar Ankira sendiri tak bisa dibilang
nyaman.'Setahun lalu, Turki bagai terbagi di antara dua kutub:
kelompok muslim dan marxis.
Di kota-kota besar dan daerah terbelakang tertentu, berbagai
sayap marxis dari komunis tumbuh subur. Kelompok ini berhadapan
dengan kekuatan pro-Islam Partai Penyelamat Nasional (MSP),
alias Milli Selamet Partisi. Juga dengan golongan kanan yang
tergabung dalam Partai Aksi Nasional pimpinan Kolonel Arparsian
Turkes.
Kini, bersama 586 pengikutnya Kolonel Turkes meringkuk di
penjara. Mereka didakwa berusaha mencampakkan konstitusi. Tokoh
lain MSP, Profesor Erbakan, 55 tahun, baru saja dikeluarkan dari
tahanan. Tapi akan tetap disidangkan dengan tuduhan "berjihad
mendirikan negara Islam."
Di pihak lain ribuan marxis juga mendekam dalam pelbagai
penjara. Evren memandang mereka sebagai ancaman pokok bagi hari
depan Turki.
Sepuluh orang pemuda baru saja digantung dengan tuduhan
pembunuhan politik--delapan di antaranya dari golongan kiri. Di
antara delapan orang itu, enam menolak berdoa dipimpin seorang
imam. Mereka menyatakan tak percaya kepada Tuhan.
Hanya dua tahun setelah Mustafa Kemal Ataturk wafat, 1940,
kegiatan an pendidikan Islam di Turki mulai tampak bernapas.
Tapi ada pula usaha untuk "menturkikan Islam"--terutama setelah
Partai Demokrat pimpinan Adnan Menderes beroleh kekuatan,
sekitar 1950-an. Sampai kalimat-kalimat azan diserukan dalam
bahasa Turki.
Seperti halnya Kemalisme yang sedang terlunta-lunta, usaha
"nasionalisasi' agama itu juga kandas tak menentu. Perkembangan
dunia Arab dan Islam membuat Turki tak bisa menutup diri. Dan
jenderal-jenderal yang sekarang memerintah rupanya menyadari hal
ini.
Mereka memang masih sungkan mencampakkan Kemalisme
terang-terangan. Tapi di sana-sini, kompromi mulai dilaksanakan.
Misalnya dalam program pendidikan. Selama ini mata pelajaran
agama di sekolah bersifat sukarela. Tak lama lagi, mata
pelajaran itu wajib bagi murid di atas 10 tahun. Lembaga
pendidikan agama yang lebih tinggi juga tampaknya tidak akan
dicampuri pemerintah.
Namun gejala ini belum memuaskan semua pihak. Para jenderal
masih memusuhi pengajian Alquran tak resmi, yang mengajarkan
doktrin agama tanpa pengawasan pemerintah. Mengapa? " Karena
pengajian jenis ini selalu meremehkan Ataturk dan
peninggalannya," sahut seorang jenderal.
TAPI sementara Kemalisme makin redup saja di negeri asalnya,
bagaimana para pemuja Mustafa Kemal Ataturk di berbagai negeri?
"Memang banyak tokoh di dunia Islam yang memaklumkan diri
sebagai Kemalis," tulis Javed Ansari di majalah yang sama. Ia
menyebut Reza Syah, Gamal Abdel Nasser, Bourguiba. Juga pengaruh
Kemal Ataturk atas Soekarno dan Ali Bhutto.
Kemalisme memang sering tampak sebagai usaha mencari identihs
Islam dengan pola nasionalis. Tapi karena Mustafa Kemal Ataturk
sendiri sejak awal bersumber ke Barat, citra masyarakat yang
didambakannya selalu mengarah ke sana--bahkan kadangkadang
komunis. Reza Syah berusaha menciptakan Iran mirip Eropa,
khususnya Prancis. Nasser ingin meriru Yugoslavia. Yang lain
mencoba mencontoh Soviet, atau sembarang negeri Eropa Timur.
Anehnya, "usaha mencari identitas Islam" ini selalu berbenturan
dengan kekuatan Islam di dalam negeri. Para penguasa selalu
memandang penolakan terhadap Barat sebagai tingkah "segelintir
kaum muslimin". Kecurigaan kemudian disusul tekanan dan
penindasan, dan acapkali teror.
Tambahan pula, pengikut-pengikut Kemal di luar Turki umumnya
tokoh nasionalis berkobar-kobar dan berkepala panas, "men of
action', yang tidak begitu berselera kepada pembangunan yang
terprogram dan terperinci. Mereka berusaha melibatkan kaum
muslimin ke dalam percobaan--yang sudah gagal di masa lampau.
Keadaan bertambah parah karena para Kemalis, yang mengaku ingin
mencari identitas Islam, justru sangat sedikit memahami Islam.
Mereka percaya begitu saja, perubahan masyarakat secara
struktural dengan sendirinya mengubah struktur rohani manusia.
Di Turki sendiri, berhasilkah sekularisme mengubah hati nurani
kawula? Mampukah ia mengilhami rakyat akan sebuah "Turki yang
ideal di masa depan", tempat mereka sudi mengorbankan jiwa bagi
kebesaran sejarahnya --yaitu sejarah Islam?
Meski Kemal Ataturk menegaskan Turki harus berpaling ke Barat,
bukan ke bekas provinsi-provinsi Arab Imperium Ottoman, penguasa
Republik Turki yang sekarang agaknya ingin sedikit menyimpang.
Mereka bahkan berusaha mendapatkan tempatnya dalam peta
percaturan Timur Tengah.
Bukan hal mudah. Jauh melampaui batas geografis, terbentang
batas perbedaan dalam abad-abad yang panjang dan tidak ramah.
Setelah Perang Dunia ll, negerinegeri Arab dibakar oleh
nasionslisme, sosialisme dan semangat antikolonial. Turki
sementara itu hanya gemetaran menghadapi Soviet, meski sejak
Maret 1921 Ankara menandatangani perjanjian persekutuan dengan
Moskow.
Bagi sebagian besar dunia Arab, peruangan melawan Israel di atas
segalaalanya. Tapi Turki tinggal tenang. alah mengikat
perjanjian pertahanan engan beberapa negara yang bersikap unak
menghadapi Israel.
Ia menggabungkan diri dengan Pak Bagdad yang disponsori Barat.
Tinakan ini dikutuk berbagai rezim yang lebih radikal di kawasan
itu, seperti Mesir dan Suriah. Maka pada 1964, atkala Turki
membutuhkan dukungan Internasional mengenai masalah Siprus,
terlongok-longok sendirian.
Baru awal 1967 negeri ini memperihatkan niatnya mendekati dunia
Arab dimulai dari pengumuman tidak kan membiarkan lagi pangkalan
militer AS di wilayahnya digunakan dalam konflik Timur Tengah.
Ketika Amerika melakukan intervensi di Libanon sebelumnya, 1958,
pangkalan itu memang egang peranan.
EDIO 1960-an, Raja Faisal dari Arab Saudi mengundang Turki
mengikuti Pakta Islam. Dalam Konperensi Islam Pertama di Rabat,
Turki ikut segera resmi - dan kemudian menjadi anggota
aktif.
Tapi dengan suasana baru ini Turki merasa serba canggung. Di
luar Mesir setelah Camp David, Turki adalah negeri Islam
satu-satunya yang mempunyai hubungan diplomatik penuh dengan
Israel. Ketika Israel menetapkan Yerusalem sebagai ibukota,
termasuk sektor Arab yang dikuasai sejak 1967, Turki angkat
bicara. "Secara moral, kita turut memikul tanggungjawab
sejarah," ujar salah seorang pejabat Kementerian Luar Negeri
Turki ketika itu.
Sementara hubungan diplomatik Turki dengan dunia Arab beringsut
maju, hubungan ekonomi bertambah rapat. Sesudah embargo minyak
1973, Turki berusaha mencari jaminan suplai minyak impor. Maklum
ladang minyaknya sendiri hanya mengucurkan 16%dari kebutuhan
dalam negeri.
Sejumlah persetujuan perminyakan diikat dengan Irak, Iran,
bahkan Libya. Secara bertahap ekspor Turki ke negeri-negeri Arab
ditingkatkan. Pada 1972-1978, kenaikan di bidang ini mencatat
angka 50%.
Para pengusaha Turki, terutama yang bergerak di lapangan
konstruksi mulai bepergian ke sekitar Timur Tengah. Menjajaki
pasar dan menjajakan barang-barang. Dan hasilnya mengagumkan.
Sampai 1974, 49% ekspor Turki ditujukan ke negeri-negeri Eropa.
Hanya 13% ke Timur Tengah. Tapi pada empat bulan pertama 1981
saja, ekspor ke Eropa menurun menjadi 30%. Ke Timur Tengah 33%.
Iklim hubungan ekonomi yang membaik ini tak ayal akan
berpengaruh ke lapangan lain yang lebih luas.
Pada akhirnya, "Kemalisme tinggallah impian yang makin kabur
ditelan kenyataan," seperti yang dikatakan Cal McCrystal. Sampai
hari ini memang belum satu kutukan dilemparkan ke alamat Mustafa
Kemal. Makamnya yang dinaungi bayangan pegunungan Elma Dag masih
dikuniungi para peziarah, terutama pada hari ulang tahun
kematiannya, 10 November.
Pada 1922 ia menghapuskan kesultanan Turki. Dua tahun kemudian
dihapuskannya kekhalifahan. Pada 1934 Majelis Agung Turki
menyandangkan gelar "Ataturk" ke pundaknya. Empat tahun kemudian
"Bapak Turki" itu menghembuskan napas terakhir.
Dan kini, sementara tampak tak ada lagi pemimpin Dunia Ketiga
yang berselera mengelu-elukan ajarannya, Turki sendiri
tersungkur ke pangkuan rezim militer--yang seraya tetap memuja
Kemal mulai mencoba tersenyum kepada golongan agama.
Penjara-penjara masih penuh. Partai politik dibekukan, namun
pasukan bersenjata pihak-pihak yang bermusuhan saling mengintai
dengan semangat harimau Balkan. Dan Mustafa Kemal Ataturk? Ia
memandang jauh, dari patung di berbagai kota dan desa. Sebuah
babakan sejarah seperti akan segera mengundurkan diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini