MORAL EKONOMI PETANI
Pergolakan dan Subsistens di Asia Tenggara James C. Scott,
alih bahasa Hasan Basari suntingan Bur Rasuanto. LP3ES, Jakarta,
1981, 369 hal.
JARANG sekali dibicarakan hal yang melandasi pikiran, tindakan
dan sikap petani secara umum, terutama petani kecil. Sang
sering dilakukan adalah kerja memotivasi mereka, agar mereka mau
menggunakan bibit unggul, pestisida dan sebagainya.
Asumsi dasar dari kerja tersebut adalah penggunaan alat-alat
'komunikasi ringan' yang mudah dimengerti petani. Kalau petani
sulit dicapai dan tampak kurang bergairah, dicarilah kesalahan
pada proses komunikasi itu sendiri. Jarang sekali dipertanyakan
kemungkinan pihak petaninya yang memang kurang responsif, karena
sikap dan pandangan mereka bertolak belakang dengan keseluruhan
'pesan pembangunan' yang disampaikan.
Masyarakat Primitif
Dalam buku ini James Scott--salah seorang anggota Tim
Universitas Wisconsin, Amerika Serikat yang mengkhususkan diri
dalam kajian tentang petani Asia Tenggara--menelaah persoalan
sikap para petani dari sudut yang jarang dilihat. Dalam menelaah
pemberontakan petani di Nge-Tinh (Vietnam) dalam tahun 1930-31
dan Saya San (Burma Hilir) dalam tahun 1930-32 misalnya, Scott
mendapatkan bahwa para petani menyusun sendiri sikap mereka.
Tanggapan terhadap keadaan yang menghimpit, mereka merumuskan
melalui sebuah sistem moral yang berkaitan dengan tingkat
kehidupan mereka sendiri. Sikap moral itu, yang dinamai Scott
sebagai moral economy, melandasi tindakan dan sikap para petani.
Juga, aturan permainan sosial di antara mereka beserta
kelembagaannya. Dan ternyata semua itu berlainan antara berbagai
masyarakat petani.
Scott mengembalikan akibat yang timbul dari sistem moral seperti
itu, kepada upaya perjuangan moral dan politik untuk
mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini. Di samping, upaya
perjuangan membela kepentingan ekonomis mereka. Sikap tidak mau
mengerti atau tidak peduli kepada hal ini, seringkali menjadi
sebab timbulnya konflik sosial-politis yang tidak seharusnya
terjadi di wilayah pedesaan. Dan seringkali konflik tersebut
memberi akibat sangat jauh bagi jalannya sejarah di kawasan yang
bersangkutan.
Penulis buku ini pertama-tama melihat tata susila petani, khusus
untuk Asia Tenggara, pada sumbernya yang paling dasar: 'etika
kemelaratan' (subsistence ethics, diterjemahkan Hasan Basari
menjadi 'etika subsistensi'). Sikap mengutamakan keselamatan
adalah watak utamaetika ini. Sikap itu membawakan kelengkapari
teknis (cara bertani dan sebagainya), dan kelengkapan
kemasyarakatannya sendiri (seperti 'aturan' bergotong-royong,
kebiasaan 'membalas jasa'resiprosikalitas antara sesarna petani
dan sebagainya).
Ini tampak nyata, umpamanya, dalam etika di pedesaan yang
mengharuskan petani kaya untuk berbelaskasihan, menolong kerabat
yang menghadapi kesusahan. Atau, membiayai berbagai upacara
meriah, memberikan sokongan kepada lembaga keagamaan dan
seterusnya.
'Aturan' seperti itu tidak berarti egalitarianisme dalam bentuk
peralatan penghasilan melalui penyamaan sesama warga desa.
Tetapi lebih menjurus kepada penciptaan jaminan sosial, untuk
hidup dari sumber-sumber yang ada di desa mereka sendiri. Di
sini Scott mengutip ucapan Polanyi: "Langkanya ancaman berbentuk
kelaparan individual inilah yang membuat masyarakat primitif
lebih berperikemanusiaan dari ekonomi pasar, dan pada waktu yang
bersamaan membuatnya kurang ekonomis."
Persoalan utama bagi masyarakat seperti ini adalah bagalmana
menyediakan pendapatan minimal, menjaga yang telah ada jangan
sampai menjadi berkurang. Dengan demikian tipis orientasi kepada
upaya menambah penghasilan melalui penggunaan alat, benih
ataupun cara baru. Jadi sebenarnya sia-sia saja upaya
memperkenalkan 'budaya' bertani yang bersifat mutakhir, tanpa
mengubah lebih dahulu etika ekonomis mereka.
Buku ini menunjukkan, bahwa etika kemelaratan itu memiliki
dimensinya sendiri, dalam hubungannya dengan kaidah kehidupan
masyarakat secara umum. Dalam jangka panjang, ini berarti erat
hubungan dengan struktur pemilikan tanah dan penggarapannya,
sikap terhadap pajak, dan seterusnya.
Dari tinjauan itu Scott lalu mencoba membedakan bentuk hubungan
kerja dan jenis pajak yang paling memberatkan bagi petani kecil.
Sudah tentu termasuk berbagai kebijaksanaan pertanian dan
keuangan yang dibuat oleh pemerintahan kolonial. Kebijaksanaan
tersebut, secara umum, dapat dikatakan telah mendorong
masyarakat petani di pedesaan Asia Tenggara terlibat dalam
krisis yang luar biasa besarnya. Kebijaksanaan yang tidak
memperhitungkan etika petani inilah, yang dibuktikan Scott
sebagai sebab utama dari kedua pemberontakan yang telah
disebutkan.
Sumber Kekuatan
Dalam analisanya, Scott menunjuk beberapa faktor yang membuat
petani menjadi militan -- unsur yang di samping menjadi sumber
kekuatan juga yang melemahkan dan akhirnya menggagalkan
pemberontakan mereka. Faktor itu misalnya, watak milleniaristis
yang menerima kepemimpinan militan secara membabi buta. Faktor
yang lain, langkanya program yang terpikirkan secara konseptual
dan organisasi yang lemah.
Pada akhirnya buku ini mencoba mengetahui perimbangan tetap yang
bagaimana yang seharusnya ada, antara hak petani dan kehendak
kalangan elite. Atau, bagaimanakah akibat pengaruh perimbangan
yang berbeda-beda bagi gejolak politik di kalangan petani.
Buku ini memang sangat berharga, bukan karena pengamatan yang
tajam tentang sebab pemberontakan petani. Tetapi, karena sebab
vang lebih dalam. Yaitu, Scott menyajikan sudut penglihatan unik
bagi kita, guna memudahkan penyadaran bagi petani akan
pentingnya upaya membangun bagi mereka. Baru kalau diberikan
dalam kerangka seperti itu, kerja penyuluhan pertanian ada
artinya. Kerja yang tidak hanya menyangkut soal teknis belaka.
Sayangnya, buku ini mengandung kekurangan dalam alihbahasanya.
Penyusunan kalimat dalam komposisi bahasa aslinya, seringkali
membingungkan. Contoh, "dalam bahasa pembuatan-keputusan,
tingkah lakunya itu disebut enggan-risiko (risk-averse) ia
meminimumkan. kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum"
(hal. 7). Seharusnya penerjemah berani membuat kalimat yang
disusunnya sendiri, asal masih memberikan pengertian yang sama.
Begitu juga terjemahan istilah, sering dilakukan asal jadi saja.
Seperti kata safety rist yang diterjemahkan menjadi 'utamakan
selamat'. Kata 'mengutamakan keselamatan' sudah tentu lebih baik
dipakai dalam hal ini, dan lebih benar dari sudut tatabahasa.
Abdurrahman Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini