SETELAH PON usai, Bung Wilasa tahu apa yang harus dikerjakannya.
Mengolahragakan masyarakat! Eh . . . atau . . . memasyarakatkan
olahraga? . . . Ya pokoknya seluruh masyarakat harus
berolahraga. Jangan seperti sekarang. Yang main catur, yang
panahan, yang naik kuda, yang lempar cakram dan lain-lain lagi
baru ada di tempat-tempat terpencil seperti Bandung dan Jakarta.
Ngakunya saja dari Ja-Bar, dari Sul-Sel dan sebagainya, padahal
cuma dari satu dua kota. Indonesia toh tidak bisa terus-menerus
dicatut oleh beberapa kota saja, bukan?
Karena sudah berhasil dikirim ke Jakarta kota metropolusi, sudah
sewajarnyalah kalau Bung Wilasa itu disambut sebagai pahlawan.
Tapi orang-orang seperti Mamang Sukan pagi itu tak sedikit pun
menunjukkan rasa kagum atau apalah yang sedikit membanggakan.
Dia dipesan untuk memugar atap dan pintu belakang rumah Wilasa,
dan begitu datang, langsung saja dia menggergaji. Ucapnya cuma
"Selamat pagi den!" yang tentunya bukan pujian. Si Sukan inilah
rupanya macam orang yang perlu ditatar.
-- Mang Sukan, apa suka nonton PON?
-- O ya tentu den, seluruh kampung juga nonton tipi di halaman
pak camat. Rame !
Dan Sukan kembali menancapkan gergajinya ke takik yang sudah
dibuatnya di sanding pelancar. Cuma itu omongnya? Wilasa jadi
kurang senang.
-- Rupanya olahraga sudah durakyatkan ya mang. Bagus sekali.
Tapi apa Mang Sukan sudah diolahragakan?
- Maksudnya . . . apa itu den?
- Ya seperti yang di tipi itu. Gerak-gerak badan supaya sehat
dan kuat dan siapa tahu nanti bisa jadi juara PON.
- Eh-eh-eh . . .! Ya kalau ada lomba potong kayu di PON saya mau
saja ikut den!
-- Uwah, potong kayu sih bukan olahraga mang. Yang namanya
olahraga itu misalnya main bola, main catur, main boling, main
power bot, main anggar, pokoknya memang sudah lihat semua toh.
Lha kalau motong kayu itu kan bukan maun namanya, jadi ya bukan
olahraga. Lantas makannya juga mesti dua telur sehari, sedangkan
mamang . . . makan berapa telur mang?
-- Ahh . . . sebulan juga cuma berapa den.
Dan gergaji sang serimala berkerak-keruk kembali dengan
gesitnya. Pikir Wilasa, mestinya orang seperti Sukan ini mudah
dibujuk untuk mulai berolahraga.
- Mang, kalau mau ikut PON, main kayu juga bisa. Mang pegang
tongkat kayu yang satu ujungnya bengkok, lantas dengan itu
tinggal nyepak-nyepak bola saja. Ada minat mang?
Wajah Sukan mulai berseri. Tukang kayu main kayu .... nah itu
dia. Siip!
- Cuma mang tidak bisa bikin sendiri itu setik bengkong. Belinya
mesti di Singgapura. Ya pokoknya bisa ikut olahraga kan?
Tentu saja si seri jadi suram. Rupanya perlu dibeli pentung
mahasakti dulu di luar negeri. Uwwahh, harganya berapa?
-- Den, apa ada main kayu yang tidak bengkok?
Ya ampun . . . Mana ada main kayu yang tidak bengkok? Memang
sialnya, kayu-kayu yang ditangani Sukan itu lempang-lempang
semua, dan terlalu berat! . . . Sukan melihat kebungungan Den
Wilasa.
- Begini saja den. Dahan-dahan pohon kayu itu kan
bengkak-bengkok semua. Apa di PON ada lomba manjat pohon?
Kalau ada, semua tukang kayu dan orang dusun juga mau ikut. Mang
sendid kalau manjat bawa kapak, dan nanti di atas bisa motong
kayu. Dan itu anak mang juga sudah bisa. Aden Wilasa bisa?
Pertanyaan ini, menurut perasaan Wilasa, sudah bernada kurang
ajaran. Itu namanya menantang! Padahal dia bisanya cuma apa?
Cuma main gergaji, main golok, main serut, main pahat,
membelah-belah kayu, naik pohon . . . Rupanya tiap had dari pagi
sampai sore cuma itu saja kerjanya. Untuk membuat dia tertarik
kepada olahraga memang perlu kesabaran.
-- Begini mang. Bengkak-bengkoknya pohon kayu itu tidak keruan.
Padahal olahraga itu mesti pakai peralatan baku dan pakai
peraturan internasional.
- Namanya apa bukan . . . Pekan Olahraga Nasional den?
- Tentu saja mang. Sebab orang-orang luar negeri tidak boleh
ikut.
- Kalau begitu saya ikut lomba manjat pohon kelapa saja den.
Pohonnya tidak bengkok tapi buat mang mah sama saja. Gampang.
Kalau buat Den Wilasa bagaimana?
Ee ee, nantang lagi si Sukan ini! Rakyat kita kok susah
diolahragakan ya.
- Begini mang. Kalau mau naik tunggi-tinggi sebaiknya jangan
meniru monyet nyolong kelapa. Maksud olahraga itu untuk mencipta
perdamaian dunia dan persahabatan antara seluruh umat manusia.
Lha kalau sudah mulai nyolong-nyolong begitu dunia tentu bakal
rusak. Kalau mau adu tinggi mang pakai galah saja. Sebab di PON
disediakan lompat galah, dan kalau mang bisa melompat setinggi
tujuh meter saja mang sudah bisa jadi juara. Enak toh?
--Mang bisa naik pohon kelapa yang tiga puluh meter den!
Aduh, bagaimana sih caranya supaya membuat si begog ini
mengerti!. Begitulah jadinya rakyat kita kalau sudah telanjur
belajar dari beruk. Coba kalau dari dulu sudah dikasih pelatih
dari Jerman atau dari sekolah tinggi olahraga. Lalu sekarang apa
yang harus dibilang Wilasa?
--Hei ketahuilah mang, di Senayan tidak ada pohon kelapa! Kalau
ban sintel ada!
Mulai kesal juga Wilasa ini. Padahal TVRI sudah susahpayah untuk
tidak mempertontonkan orang naik pohon kelapa atau naik kapal
pinisi. Sudah sering dikasih ski jumping dan rees mobil formula,
kok otak Si Sukan ini masih begini terus.
--Apa itu suntel bisa buat balap sapi den? Itu yang seperti di
Madura? Kalau sapi mah ada saja di kampung, jadi mang nanti bisa
latihan.
-- Coba dengar dulu mang. Kalau dalam PON, sapi itu bukan buat
balapan, tapi buat dimakan. Maka itu cuma ada balap kuda. Tahu
kenapa?
--"Ya karena orang kampung tidak punya kuda balap . Hehe-he!
Sialan betul si Sukan ini. Kalau pakai istilahnya Pak Daud
Yusuf, Mang Sukan ini orang yang tidak bisa bernalar.
--Begini mang. Balap sapi itu tidak ada, karena sapi itu buat
sop sapi. Jadi kalau balap kuda itu diadakan, itu tentu karena
orang tidak makan sop kuda. Mengerti sekarang?
Si tuna-nalar geleng kepala. Teryata ilmu olahraga ini susah
dimengerti. Katanya tadi cuma soal gerak-gerak badan saja. Lha
kok jadi ilmu sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini