Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengolahragakan Mang Sukan

PON dimaksudkan untuk persahabatan antara umat manusia, juga untuk mengolahragakan masyarakat. Dalam PON terdapat jenis olah raga yang tidak nasional, karena alatnya harus dibeli dari luar negeri.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH PON usai, Bung Wilasa tahu apa yang harus dikerjakannya. Mengolahragakan masyarakat! Eh . . . atau . . . memasyarakatkan olahraga? . . . Ya pokoknya seluruh masyarakat harus berolahraga. Jangan seperti sekarang. Yang main catur, yang panahan, yang naik kuda, yang lempar cakram dan lain-lain lagi baru ada di tempat-tempat terpencil seperti Bandung dan Jakarta. Ngakunya saja dari Ja-Bar, dari Sul-Sel dan sebagainya, padahal cuma dari satu dua kota. Indonesia toh tidak bisa terus-menerus dicatut oleh beberapa kota saja, bukan? Karena sudah berhasil dikirim ke Jakarta kota metropolusi, sudah sewajarnyalah kalau Bung Wilasa itu disambut sebagai pahlawan. Tapi orang-orang seperti Mamang Sukan pagi itu tak sedikit pun menunjukkan rasa kagum atau apalah yang sedikit membanggakan. Dia dipesan untuk memugar atap dan pintu belakang rumah Wilasa, dan begitu datang, langsung saja dia menggergaji. Ucapnya cuma "Selamat pagi den!" yang tentunya bukan pujian. Si Sukan inilah rupanya macam orang yang perlu ditatar. -- Mang Sukan, apa suka nonton PON? -- O ya tentu den, seluruh kampung juga nonton tipi di halaman pak camat. Rame ! Dan Sukan kembali menancapkan gergajinya ke takik yang sudah dibuatnya di sanding pelancar. Cuma itu omongnya? Wilasa jadi kurang senang. -- Rupanya olahraga sudah durakyatkan ya mang. Bagus sekali. Tapi apa Mang Sukan sudah diolahragakan? - Maksudnya . . . apa itu den? - Ya seperti yang di tipi itu. Gerak-gerak badan supaya sehat dan kuat dan siapa tahu nanti bisa jadi juara PON. - Eh-eh-eh . . .! Ya kalau ada lomba potong kayu di PON saya mau saja ikut den! -- Uwah, potong kayu sih bukan olahraga mang. Yang namanya olahraga itu misalnya main bola, main catur, main boling, main power bot, main anggar, pokoknya memang sudah lihat semua toh. Lha kalau motong kayu itu kan bukan maun namanya, jadi ya bukan olahraga. Lantas makannya juga mesti dua telur sehari, sedangkan mamang . . . makan berapa telur mang? -- Ahh . . . sebulan juga cuma berapa den. Dan gergaji sang serimala berkerak-keruk kembali dengan gesitnya. Pikir Wilasa, mestinya orang seperti Sukan ini mudah dibujuk untuk mulai berolahraga. - Mang, kalau mau ikut PON, main kayu juga bisa. Mang pegang tongkat kayu yang satu ujungnya bengkok, lantas dengan itu tinggal nyepak-nyepak bola saja. Ada minat mang? Wajah Sukan mulai berseri. Tukang kayu main kayu .... nah itu dia. Siip! - Cuma mang tidak bisa bikin sendiri itu setik bengkong. Belinya mesti di Singgapura. Ya pokoknya bisa ikut olahraga kan? Tentu saja si seri jadi suram. Rupanya perlu dibeli pentung mahasakti dulu di luar negeri. Uwwahh, harganya berapa? -- Den, apa ada main kayu yang tidak bengkok? Ya ampun . . . Mana ada main kayu yang tidak bengkok? Memang sialnya, kayu-kayu yang ditangani Sukan itu lempang-lempang semua, dan terlalu berat! . . . Sukan melihat kebungungan Den Wilasa. - Begini saja den. Dahan-dahan pohon kayu itu kan bengkak-bengkok semua. Apa di PON ada lomba manjat pohon? Kalau ada, semua tukang kayu dan orang dusun juga mau ikut. Mang sendid kalau manjat bawa kapak, dan nanti di atas bisa motong kayu. Dan itu anak mang juga sudah bisa. Aden Wilasa bisa? Pertanyaan ini, menurut perasaan Wilasa, sudah bernada kurang ajaran. Itu namanya menantang! Padahal dia bisanya cuma apa? Cuma main gergaji, main golok, main serut, main pahat, membelah-belah kayu, naik pohon . . . Rupanya tiap had dari pagi sampai sore cuma itu saja kerjanya. Untuk membuat dia tertarik kepada olahraga memang perlu kesabaran. -- Begini mang. Bengkak-bengkoknya pohon kayu itu tidak keruan. Padahal olahraga itu mesti pakai peralatan baku dan pakai peraturan internasional. - Namanya apa bukan . . . Pekan Olahraga Nasional den? - Tentu saja mang. Sebab orang-orang luar negeri tidak boleh ikut. - Kalau begitu saya ikut lomba manjat pohon kelapa saja den. Pohonnya tidak bengkok tapi buat mang mah sama saja. Gampang. Kalau buat Den Wilasa bagaimana? Ee ee, nantang lagi si Sukan ini! Rakyat kita kok susah diolahragakan ya. - Begini mang. Kalau mau naik tunggi-tinggi sebaiknya jangan meniru monyet nyolong kelapa. Maksud olahraga itu untuk mencipta perdamaian dunia dan persahabatan antara seluruh umat manusia. Lha kalau sudah mulai nyolong-nyolong begitu dunia tentu bakal rusak. Kalau mau adu tinggi mang pakai galah saja. Sebab di PON disediakan lompat galah, dan kalau mang bisa melompat setinggi tujuh meter saja mang sudah bisa jadi juara. Enak toh? --Mang bisa naik pohon kelapa yang tiga puluh meter den! Aduh, bagaimana sih caranya supaya membuat si begog ini mengerti!. Begitulah jadinya rakyat kita kalau sudah telanjur belajar dari beruk. Coba kalau dari dulu sudah dikasih pelatih dari Jerman atau dari sekolah tinggi olahraga. Lalu sekarang apa yang harus dibilang Wilasa? --Hei ketahuilah mang, di Senayan tidak ada pohon kelapa! Kalau ban sintel ada! Mulai kesal juga Wilasa ini. Padahal TVRI sudah susahpayah untuk tidak mempertontonkan orang naik pohon kelapa atau naik kapal pinisi. Sudah sering dikasih ski jumping dan rees mobil formula, kok otak Si Sukan ini masih begini terus. --Apa itu suntel bisa buat balap sapi den? Itu yang seperti di Madura? Kalau sapi mah ada saja di kampung, jadi mang nanti bisa latihan. -- Coba dengar dulu mang. Kalau dalam PON, sapi itu bukan buat balapan, tapi buat dimakan. Maka itu cuma ada balap kuda. Tahu kenapa? --"Ya karena orang kampung tidak punya kuda balap . Hehe-he! Sialan betul si Sukan ini. Kalau pakai istilahnya Pak Daud Yusuf, Mang Sukan ini orang yang tidak bisa bernalar. --Begini mang. Balap sapi itu tidak ada, karena sapi itu buat sop sapi. Jadi kalau balap kuda itu diadakan, itu tentu karena orang tidak makan sop kuda. Mengerti sekarang? Si tuna-nalar geleng kepala. Teryata ilmu olahraga ini susah dimengerti. Katanya tadi cuma soal gerak-gerak badan saja. Lha kok jadi ilmu sapi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus