Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WOYZECK | ||
Karya | : | Georg Buchner |
Dipentaskana | : | Bandar Teater |
Tempat | : | Taman Ismail Marzuki,Jakarta r |
Pemain | : | Budi Tompel, Sri Hardini |
Toh, kopral kita ini masih bisa bersyukur karena masih punya sesuatu untuk menjaga martabatnya: cinta dalam diri Marie, kekasih yang telah memberinya seorang anak. Tapi sang kekasih berkhianat: serong dengan seorang mayoret ketentaraan. Segalanya berantakan. Woyzeck merasa kehidupan menajiskannya. Gelap mata, ia pun mengadakan perhitungan dengan cara yang tragis.
Sebetulnya, Woyzeck (1837) adalah drama yang belum selesai. Pengarangnya, seorang jenius Jerman, Georg Buchner (1813-1837), keburu mati dalam usia muda sebelum bagian akhir lakon ini dituntaskan. Toh, drama yang dipentaskan Bandar Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki, 19-20 Mei lalu, ini kemudian dianggap sebagai salah satu pilar teater modern. Bentuknya yang fragmentaris, misalnya, menjadi model teater epik Bertolt Brecht.
Inilah salah satu drama antihero pertama. Sebelumnya, orang terpaku pada pakem tragedi Yunani seperti yang dirumuskan Aristoteles dalam Poetika (330 SM): hanya orang besar yang patut menjadi tokoh tragedi, untuk menjadi teladan keagungan martabat, sementara rakyat kebanyakan hanya pantas menjadi tokoh komedi, untuk menjadi olok-olok. Woyzeck karya Buchner merupakan salah satu pembuka arah baru penulisan teater: seorang rakyat jelata, proletar, dan tampak bego menjadi protagonis dari suatu lakon tragedi. Bukan kebetulan, Buchner adalah aktivis politik yang dikejar-kejar pemerintah karena pamflet-pamfletnya, lalu beralih menjadi seniman.
Dalam pementasan Bandar Teater, yang disutradarai Malhamang Zamzam, terlihat raibnya sejumlah kekuatan mendasar lakon ini. Yang paling menonjol adalah dalam hal dekarakterisasi para tokoh. Malhamang mengarahkan para aktornya untuk bermain secara karikatural: penuh distorsi dan gaya yang berlebihan, baik dalam hal teknik pengucapan dialog maupun dalam hal laku tubuh atau gestur. Woyzeck versi Bandar Teater menjelma menjadi lakon manusia-manusia ganjil yang berbicara dengan logika ganjil dan melakukan perbuatan ganjil.
Padahal, Buchner menempatkan keganjilan Woyzeck dalam logika berpikir dan bertindak para tokoh yang justru adalah manusia biasa. Inilah konstruksi dasar dari tragedi Woyzeck, yang membuat Buchner dianggap sebagai pelopor drama ekspresionisme sekaligus naturalisme. Dan teoretisi seni Marxis nomor wahid menyebut Woyzeck sebagai adikarya realisme sosialis bahkan sebelum Marx melahirkan pahamnyayang diluputkan dalam pementasan Bandar Teater.
Namun, Woyzeck versi Malhamang Zamzam tetaplah suatu karya teater yang sangat menarik. Daya tarik yang utama adalah situasi-situasi teater yang diciptakannya melalui pengadeganan, kekayaan idiom, permainan imajinasi, dinamika, dan tempo permainan. Ini diperkuat dengan penataan musik berbasis genjring yang sangat hidup oleh Dimas Budi Susilo dan penataan artistik yang sederhana tapi penuh daya gugah oleh Diyanto.
Daya tarik sudah dibangun sejak setting-nyajadi berlatar Indonesia. Ini bukan tanpa risiko: dukungan logikanya bisa tidak klop. Tapi, dengan pilihan bentuk teatrikal, logika linear cenderung diabaikan. Dan didapatkan keleluasaan menciptakan idiom-idiom teater. Untuk adegan di tempat sirkus, misalnya, Malhamang menghadirkan keriuhan pasar malam khas Jawa: kuda lumping, debus, ronggeng topeng, penjual buku, tukang semangka, macam-macam. Adegan itu hadir begitu hidup, penuh dimensi, dan mengasyikkan.
Contoh adegan yang sangat menarik lainnya adalah ketika Woyzeck (Budi Tompel), dalam kegalauan sesudah membunuh Maria (Sri Hardini), pacarnya, berjoget dangdut dengan seorang banci pengamenerotis tapi memancarkan kegetiran yang menyiksa. Lalu, mereka bercinta dalam emosi yang aneh, dalam gerak serta laku yang tetap dibangun dalam irama dangdut. Ini adegan yang sangat indah.
Dengan sejumlah kekurangannya, pementasan Woyzeck memberikan dua hal pada publik. Yang pertama adalah eksplorasi artistik berdasarkan penggalian autentik, yang jarang kita temui dalam pementasan teater, lebih-lebih belakangan ini. Kedua, drama antitokoh seperti ini terasa berarti untuk memeriksa kembali keadaan kita sekarang, yang tengah sesak oleh jibunan tokoh.
Ging Ginanjar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo