Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Syariat Islam di Mata Mereka

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syafi'i Ma'arif Ketua Umum Muhammadiyah Syariat Islam wajib dilaksanakan oleh se-tiap umat. Tapi khusus untuk Indonesia, syariat Islam tak perlu dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, karena tidak realistis. Sebelum menerapkan syariat Islam, pertama-tama yang harus ditegakkan adalah ke-adilan. Ini yang sekarang belum ada di Indonesia. Tanpa keadilan di berbagai bidang, penerapan syariat tidak akan berhasil. Pengertian syariat yang selama ini ingin diterapkan masyarakat Islam di Indonesia sudah mengalami penyempitan. Dulu syariat Islam adalah agama itu sendiri, artinya seluruh ajaran yang ada dalam Islam merupakan syariat. Namun saat ini yang dinamakan syariat hanya berkaitan dengan masalah hukum. Perubahan ini dikarenakan situasi politik. Apa pun alasannya, yang penting penerapan syariat Islam harus bisa menguntungkan orang banyak, baik bagi umat Islam itu sendiri maupun bagi umat agama lainnya. Dalam Islam diajarkan bahwa manusia yang satu dengan yang lain itu (sederajat). Kita (Islam) bisa hidup damai dan saling menghormati dan mengakui eksistensi kelompok lain. Yang terpenting adalah tegaknya keadilan tanpa pandang bulu. Jafar Umar Thalib Panglima Laskar Jihad Tentang wajah Islam yang terkesan garang dan bernuansa kekerasan, itu karena dua hal. Pertama, dewasa ini memang bermunculan kelompok radikal yang menggunakan jalur ekstrem untuk menyalurkan ketidakpuasannya terhadap kenyataan sosial politik yang dialami oleh umat Islam ini. Mereka melakukan gerakan-gerakan teror atas nama Islam dan jihad. Kedua, memang ada upaya mendiskreditkan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan cara dusta dan memanipulasi berbagai peristiwa sehingga muncul kesan yang buruk tentang Islam. Kemudian muncul anggapan bahwa kalau syariat Islam dilaksanakan, lalu akan terjadi gerakan genocide terhadap nonmuslim. Anggapan ini sengaja dibuat oleh kelompok yang Islamophobia guna menakut-nakuti. Padahal anggapan ini salah. Kengerian pada penerapan syariat Islam itu sesungguhnya hanya sebatas pada tuntutan dan aspirasi. Seandainya sudah dalam bentuk pelaksanaan, anggapan tersebut akan terkikis. Di Aceh, umpamanya, kita akan melihat bahwa ternyata kengerian nonmuslim terhadap pelaksanaan syariat Islam itu tidak akan terbukti. Tentang gerakan pemberantasan tempat-tempat maksiat, mestinya memang dilakukan oleh pemerintah, bukan oleh kelompok masyarakat. Tetapi ketika fungsi pemerintah sebagai pengawal kehidupan masyarakat yang beradab tidak terlaksana, terjadilah peristiwa seperti di Ngawi dan Jakarta. Seandainya dilaksanakan dalam koridor syariat Islam, pemberantasan kemaksiatan justru akan menjamin kehidupan masyarakat yang aman, karena segala gangguan keamanan itu banyak bersumber dari tempat maksiat tersebut. Camelia Malik Penyanyi dan produser film Meskipun di Indonesia ada beragam agama, jika syariat Islam diterapkan hanya untuk para pemeluknya, saya kira hal itu tidak ada masalah. Penerapan syariat Islam sah-sah saja untuk orang Islam. Cuma, saya ragu penerapannya di Indonesia bisa berlangsung dengan baik. Jika syariat Islam diterapkan, konflik SARA akan semakin luas dan meruncing. Orang nonmuslim jelas akan memakai cara mereka sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan syariat yang dipatuhi orang Islam. Menurut hati nurani saya, syariat Islam tak akan berjalan baik di Indonesia. Sebab, dari dulu Indonesia dikenal bukan sebagai negara agama, apalagi berdasarkan hanya pada satu agama saja, yaitu Islam. Jadi, tak bisa diterima jika buru-buru meminta perintah-perintah dari salah satu agama diterapkan di seluruh Indonesia. Ide menerapkan syariat Islam saya kira bermula dari lemahnya penegakan hukum positif yang mendorong orang mencari alternatif. Padahal, mestinya kelemahan hukum positif bisa ditambal dengan memperbaiki mental aparatnya. Wardah Hafidz Koordinator Urban Poor Consortium Syariat Islam adalah salah satu pilihan jalan yang kontekstual dengan zaman. Karena itu, syariat Islam bisa berubah sesuai dengan perkembangan. Umpamanya, dulu zakat berupa emas dan hasil pertanian, sekarang berupa uang karena dunia perbankan mulai dikenal. Contoh lain tentang aturan lelaki boleh punya lebih dari satu istri. Syariat ini dibuat di Arab ketika peperangan berkecamuk sehingga jumlah lelaki lebih sedikit daripada perempuan. Sekarang syariat itu mesti ditinjau lagi. Saya tak setuju hanya karena kelemahan pelaksanaan hukum positif di Indonesia, lantas syariat Islam menjadi tempat berpaling. Indonesia bukan negara agama. Apalagi di negara ini pluralisme agama dan kepercayaan diakui undang-undang dasar. Jika ada yang salah dengan hukum positif kita, ya diperbaiki, bukan menggantinya dengan menerapkan hukum agama. Bagaimana kalau umat agama lain juga minta syariatnya diterapkan? Jadi, syariat itu bukan tafsir mati. Harry Rachmadi Presiden Direktur Bank IFI Syariat Islam kurang tepat diterapkan di Indonesia, sebab masyarakatnya terdiri dari pelbagai suku dan agama. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang dijadikan dasar negara tidak bisa digantikan begitu saja oleh syariat Islam. Tapi bukan tak ada solusi. Dengan adanya otonomi daerah, syariat Islam masih mungkin diterapkan di beberapa wilayah tertentu, misalnya Aceh dan Madura. Untuk mencegah tindakan maksiat, kuncinya, umat Islam menaati aturan agama. Pelaksanaan sebuah ajaran agama sepenuhnya bergantung pada pemeluknya, bukan berasal dari kerasnya aturan yang berlaku. Sebab, pertanggungjawabannya langsung kepada Allah, bukan kepada negara atau masyarakat. Kalaupun sekarang masih ada penghancuran tempat-tempat hiburan, itu disebabkan oleh adanya pihak yang tidak sadar posisi. Ada pengusaha yang ngotot mendirikan tempat hiburan di lingkungan dekat masjid atau sekolah. Padahal, sikap itu tidak benar. Seandainya saja para pengusaha menyadari posisinya, penghancuran tempat-tempat maksiat niscaya tidak akan terjadi. Karena itu, klub malam, diskotek, dan tempat maksiat lain tak perlu ada lagi. Hasyim Muzadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Semua umat Islam wajib menegakkan syariat Islam. Hanya, dengan cara dan strategi apa syariat itu ditegakkan, ini yang berbeda-beda, termasuk Nahdlatul Ulama. Kami harus memperhatikan benar mana yang amar makruf, mana yang nahi munkar, mana yang harus dihadapi dengan keras, mana yang harus dibina supaya menjadi Islam. Semua ada patokannya. Katakanlah soal hukum rajam dan potong tangan. Dalam Islam, dua hal tersebut masih menjadi perdebatan. Apakah yang dimaksud itu benar-benar pemotongan tangan secara fisik atau cuma kiasan. Ada ulama yang berpendapat, yang dipotong itu kesempatannya, sehingga tidak mampu lagi mencuri. Soalnya, kalau dipotong tangan satunya, tapi masih bisa korupsi, bagaimana? Soal hukum rajam juga begitu. Apa sebenarnya perbedaan hukum rajam dan hukum tembak? Bukankah dua-duanya sama-sama membuat nyawa melayang? Apalagi Indonesia, meski bukan negara Islam, telah mengenal hukuman mati. Misalnya, orang yang menyebarkan narkotik diancam hukuman mati. Pembunuh yang tidak berhenti juga diancam hukuman mati. Hanya hukum ini belum bisa dilaksanakan, karena persoalannya adalah optimalisasi pelaksanaan hukuman. Marissa Haque produser film dan artis sinetron Peluang penerapan syariat Islam di Indonesia saya kira fifty-fifty. Sebab, di sini banyak masyarakat non-Islam yang mesti dihargai pendapatnya. Perhatian terhadap mereka mesti diberikan agar tak muncul wajah Islam yang mengerikan. Islam yang sejati memang tak berwajah mengerikan. Sebelum syariat Islam diterapkan, mesti dilakukan pembicaraan dengan masyarakat Indonesia. Apalagi di sini banyak sekali aliran Islam. Yang tak boleh lupa, pembicaraan mesti melibatkan kaum perempuan. Sebab, jika hanya dilakukan kaum lelaki, nanti sisi patriarki mereka akan mendominasi, dan itu bisa menyesatkan. Saya setuju pemberantasan tempat maksiat. Cuma, jangan dilakukan dengan membakar atau merusak bangunan. Yang harus dibenci adalah perilaku orangnya, bukan bangunannya. Nah, kemaksiatan yang perlu segera diberangus adalah media-media cetak yang mengumbar aurat dan dijual bebas, sebab merusak moral, terutama anak-anak. Wicaksono, laporan Biro Jakarta dan Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus