Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pejabat dan Bule pun Ikut Mengaji

Banyak eksekutif rajin mendalami ilmu agama. Pengajian untuk kalangan ini pun tumbuh subur.

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIAI Haji Suharli memang tidak sekondang "dai sejuta umat" Zainuddin M.Z. atau "Aa" Gymnastiar, yang sedang naik daun. Namun, dai eks personel Barata Band ini di kalangan pejabat pemerintah dan perusahaan "pelat merah" cukup punya nama. Suharli, yang senantiasa necis dengan jas dan dasi ini, termasuk yang punya barisan umat cukup panjang. Saban Minggu malam, sekitar 150 sampai 200 orang pejabat dan bekas pejabat, peng-usaha, eksekutif swasta, dan pegawai negeri memadati pengajian Suharli di kediamannya di kawasan Velbak, Jakarta Selatan. Mereka yang kerap hadir di antaranya Bambang Subianto (mantan Menteri Keuangan), Subroto (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), Susilo Bambang Yudhoyono (Menteri Koordinator Politik dan Keamanan), Dewi Motik Pramono (pengusaha), serta lainnya. Kadang kala pengajian itu berpindah-pindah lokasi, dari rumah ke rumah anggota pengajian Al-Amin Universal yang dipimpinnya. Para orang sibuk itu mulai berkumpul untuk salat magrib berjamaah. Setelah itu, disambung zikir sampai waktu salat isya tiba. Usai salat isya, tuan rumah menghidangkan makan malam. Setelah itu barulah Suharli berceramah, dilanjutkan dengan dialog sampai menjelang tengah malam. "Jadi, bukan cuma mendengarkan ceramah dari kiai secara monolog, tapi semua peserta juga melakukan kegiatan bersama-sama," kata Dewi Motik, yang sudah delapan tahun menjadi pengikut Suharli. Kiai itu sudah dikenal Dewi sejak 1966, ketika keduanya bersekolah di SMA 3 Jakarta. Pengajian dialogis semodel Al-Amin Universal kini tumbuh subur. Mungkin model diskusi begini lebih "kena" untuk para peng-usaha dan kebanyakan orang kota besar ketimbang gaya monolog model kiai lama. Banyaknya kesempatan bertanya menjadikan mereka yang "buta" Islam menjadi lebih merasa "dilayani". Itu sebabnya yang tertarik datang tidak hanya eksekutif berkulit cokelat alias pribumi, tapi juga orang kulit putih, orang Jepang, serta kalangan etnis Cina. Mereka umumnya adalah ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Salah satu wadah yang menampung ber-agam warna kulit itu adalah Muslim Executive & Expatriate, yang dibentuk oleh Yayasan Rahmania. Setiap bulan sejak tahun 1999, kelompok ini mengadakan pertemuan dari rumah ke rumah. "Bisa di rumah pejabat, pengusaha, atau duta besar. Pokoknya yang besar, yang tempat parkirnya luas, dan bisa menampung 50 sampai 60 orang," kata A. Rahman Abbas, Ketua Yayasan Rahmania. Di situ mereka dengan khusyuk mengikuti pengajian yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Setelah mendengarkan ceramah, mempelajari Al-Quran, mereka berdiskusi tentang berbagai persoalan keislaman. Melihat semua ini, wajar saja jika penelitian IAIN Jakarta menyimpulkan bahwa orang Islam di sini bisa dibilang makin santri. Soalnya tinggal bagaimana Pak Pejabat itu lantas tidak lupa bahwa Islam mengharamkan umatnya mengorupsi harta negara…. Hartono, Rian Suryalibrata, Andari Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus