Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Bacharuddin Jusuf Habibie: ”Saya Harap Kasus Bulog Diselesaikan Tuntas”

PAGI itu matahari masih ditelan hawa dingin Hamburg di titik dua derajat Celsius. Tiba-tiba saja, udara yang tipis berkabut seperti disibak langkah bergegas seorang lelaki berperawakan kecil. Mobilnya, yang dia setir sendiri, sebuah Mercedes-Benz seri CL600 berwarna cokelat susu dan berpelat nomor STD-AH521, dia parkir di seberang jalan. Para pengiringnya tampak kerepotan mengimbangi langkah gesit itu. Tangan kanan pria bersetelan biru necis dan mengenakan baret itu kemudian mem-berikan salut persis di samping matanya yang bundar. ”Halo,” katanya dengan nada riang yang khas sambil tersenyum lebar.

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia masih Bacharuddin Jusuf Habibie yang lama, kecuali sedikit lebih kurus dan berkumis tipis. Semangatnya masih seperti dulu. Senin, 10 Desember lalu, ia datang ke Kantor Konsulat Jenderal RI di Hamburg, Jerman, untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan penyimpangan dana nonbujeter Bulog yang kian memerosokkan Ketua Umum Golkar dan Menteri-Sekretaris Negara di kabinetnya dulu, Akbar Tandjung. Dimulai pukul 09.50 waktu setempat, selama sembilan jam—dan dilanjutkan tiga jam keesokan harinya—Presiden RI ketiga itu menjawab 42 pertanyaan jaksa Manap Djubaedi dan Santoso, yang khusus terbang dari Jakarta untuk keperluan ini. Habibie didampingi dua pengacaranya, O.C. Kaligis dan Yan Djuanda Saputra, serta mantan Menteri Kehakiman yang dekat dengannya, Profesor Muladi. Lama Rudy—begitu ia disapa—tak muncul di hadapan publik. Terakhir kali, ia tampak tersenyum lebar di mimbar Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Oktober 1999, menuntun Presiden Abdurrahman Wahid yang baru terpilih menggantikannya. Setelah itu, lelaki kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 65 tahun silam ini ”menghilang”. Sejak pertengahan tahun 2000, bersama Hasri Ainun, istrinya yang ia nikahi 40 tahun silam, Habibie tinggal di rumah pribadinya yang luas di Kakerbeck, sebuah kota kecil 60 kilometer dari Hamburg. Ia menghabiskan masa senjanya sebagai komisaris penasihat di MesserschmittBoelkow-Blohm (industri pesawat terbang terkemuka di Jerman yang memproduksi Alpha Jet, Airbus, dan pesawat angkut militer C-160), menemani sang istri menjalani terapi paru-paru, dan melancong ke berbagai penjuru dunia. ”Sekarang saya bebas menentukan kapan waktu bangun, tidur, membaca, atau berenang. Tapi, yang jelas, saya tidak pernah bisa menganggur,” katanya. Di negeri orang, Habibie menjadi figur yang sangat dihormati. Di Jerman, namanya dikenal luas oleh orang kebanyakan. Kepada setiap rombongan turis yang melintasi rumahnya di Kakerbeck, pemandu wisata tak pernah ketinggalan mengenalkannya sebagai ”rumah Presiden RI ke-3 dan pakar pesawat terbang terkemuka.” Namanya harum di kalangan ilmuwan, khususnya di ranah teknologi dirgantara. ”Mr. Crack” adalah julukan yang diberikan sebagai penghormatan atas penemuannya tentang rumus penghitungan urutan keretakan pesawat (crack propagation on random). November lalu, misalnya, koran setempat merekam salah satu kegiatan Habibie yang tengah mengunjungi Space Park, sebuah proyek properti prestisius di Bremen. ”Saya diminta oleh salah seorang menteri Jerman untuk datang melihat dan memberi komentar. Itu saja,” katanya. Bahkan, menurut orang dekatnya, Habibie kini kerap dimintai sarannya oleh Perdana Menteri Jerman, Schroeder, khususnya terhadap berbagai kebijakan Asia Pasifik dan dunia muslim. Kalau ada yang berbeda, barangkali satu hal: kini Habibie ekstra-hati-hati, bahkan sempat sedikit gugup, saat memberikan keterangan kepada pers. Terkhusus, ia selalu menghindar menjawab pertanyaan di seputar skandal Bulog jilid kedua yang kini tengah menggoyang jagat politik Republik itu. Habibie bersedia menerima permohonan wawancara khusus TEMPO dengan satu syarat. ”Tidak soal kasus Bulog, ya,” katanya kepada wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra, yang beruntung berhasil mewawancarainya secara khusus, 11 Desember kemarin, seusai ia dimintai keterangan di kantor konsulat di Hamburg. Selama tiga perempat jam, mantan presiden (selama 17 bulan) ini—untuk pertama kalinya setelah ia turun dari kursi RI-Satu—mengungkapkan seluk-beluk di balik berbagai kebijakan yang diambilnya selama ia memerintah. Berikut ini petikan wawancara itu. Dia masih Bacharuddin Jusuf Habibie yang lama, kecuali sedikit lebih kurus dan berkumis tipis. Semangatnya masih seperti dulu. Senin, 10 Desember lalu, ia datang ke Kantor Konsulat Jenderal RI di Hamburg, Jerman, untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan penyimpangan dana nonbujeter Bulog yang kian memerosokkan Ketua Umum Golkar dan Menteri-Sekretaris Negara di kabinetnya dulu, Akbar Tandjung. Dimulai pukul 09.50 waktu setempat, selama sembilan jam—dan dilanjutkan tiga jam keesokan harinya—Presiden RI ketiga itu menjawab 42 pertanyaan jaksa Manap Djubaedi dan Santoso, yang khusus terbang dari Jakarta untuk keperluan ini. Habibie didampingi dua pengacaranya, O.C. Kaligis dan Yan Djuanda Saputra, serta mantan Menteri Kehakiman yang dekat dengannya, Profesor Muladi. Lama Rudy—begitu ia disapa—tak muncul di hadapan publik. Terakhir kali, ia tampak tersenyum lebar di mimbar Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Oktober 1999, menuntun Presiden Abdurrahman Wahid yang baru terpilih menggantikannya. Setelah itu, lelaki kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 65 tahun silam ini ”menghilang”. Sejak pertengahan tahun 2000, bersama Hasri Ainun, istrinya yang ia nikahi 40 tahun silam, Habibie tinggal di rumah pribadinya yang luas di Kakerbeck, sebuah kota kecil 60 kilometer dari Hamburg. Ia menghabiskan masa senjanya sebagai komisaris penasihat di MesserschmittBoelkow-Blohm (industri pesawat terbang terkemuka di Jerman yang memproduksi Alpha Jet, Airbus, dan pesawat angkut militer C-160), menemani sang istri menjalani terapi paru-paru, dan melancong ke berbagai penjuru dunia. ”Sekarang saya bebas menentukan kapan waktu bangun, tidur, membaca, atau berenang. Tapi, yang jelas, saya tidak pernah bisa menganggur,” katanya. Di negeri orang, Habibie menjadi figur yang sangat dihormati. Di Jerman, namanya dikenal luas oleh orang kebanyakan. Kepada setiap rombongan turis yang melintasi rumahnya di Kakerbeck, pemandu wisata tak pernah ketinggalan mengenalkannya sebagai ”rumah Presiden RI ke-3 dan pakar pesawat terbang terkemuka.” Namanya harum di kalangan ilmuwan, khususnya di ranah teknologi dirgantara. ”Mr. Crack” adalah julukan yang diberikan sebagai penghormatan atas penemuannya tentang rumus penghitungan urutan keretakan pesawat (crack propagation on random). November lalu, misalnya, koran setempat merekam salah satu kegiatan Habibie yang tengah mengunjungi Space Park, sebuah proyek properti prestisius di Bremen. ”Saya diminta oleh salah seorang menteri Jerman untuk datang melihat dan memberi komentar. Itu saja,” katanya. Bahkan, menurut orang dekatnya, Habibie kini kerap dimintai sarannya oleh Perdana Menteri Jerman, Schroeder, khususnya terhadap berbagai kebijakan Asia Pasifik dan dunia muslim. Kalau ada yang berbeda, barangkali satu hal: kini Habibie ekstra-hati-hati, bahkan sempat sedikit gugup, saat memberikan keterangan kepada pers. Terkhusus, ia selalu menghindar menjawab pertanyaan di seputar skandal Bulog jilid kedua yang kini tengah menggoyang jagat politik Republik itu. Habibie bersedia menerima permohonan wawancara khusus TEMPO dengan satu syarat. ”Tidak soal kasus Bulog, ya,” katanya kepada wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra, yang beruntung berhasil mewawancarainya secara khusus, 11 Desember kemarin, seusai ia dimintai keterangan di kantor konsulat di Hamburg. Selama tiga perempat jam, mantan presiden (selama 17 bulan) ini—untuk pertama kalinya setelah ia turun dari kursi RI-Satu—mengungkapkan seluk-beluk di balik berbagai kebijakan yang diambilnya selama ia memerintah. Berikut ini petikan wawancara itu. Bagaimana hasil pemeriksaan terhadap Anda? Saya rasa baik. Sangat bijaksana, sangat sistematis, serius, dan pertanyaan-pertanyaannya sangat kritis. (Habibie memberikan tekanan di akhir kalimat dengan nadanya yang khas.) Keterangan Anda dipercaya merupakan kunci kasus Bulog ini. Saya harap kasus ini diselesaikan dengan tuntas dan bijaksana. Ini kewajiban setiap warga negara. Menurut hukum dan undang-undang, siapa saja kalau dipanggil tidak boleh dibeda-bedakan. Tidak bergantung pada kedudukannya, kelaminnya, agamanya, atau apa saja. Dus, kita harus bersama-sama menjunjung tinggi peraturan dan hukum. Apa sebenarnya bunyi perintah Anda dalam pengeluaran dana Bulog? Wah, kalau ini nanti, deh…. (Habibie tertawa lebar.) Saya tidak mau mendahului. Nanti kan akan diumumkan. Keterangan Akbar bertentangan dengan kesaksian Anda? Enggak. Sudah, deh…. Pelajaran apa yang mesti ditarik dari kasus ini? Hikmahnya, kita harus melihat bahwa sebagai apa pun saya tidak berbeda dengan Anda. Diundang (kejaksaan), ya datang sesuai dengan jadwal. Diajukan pertanyaan, kita jawab sebagaimana seharusnya. Jadi tidak ada perbedaan. Saya ini kan sekarang warga negara biasa saja. Tidak boleh ada yang punya hak eksklusif. Saya tidak merasa memiliki hak untuk diistimewakan. No. Saya juga sama seperti Anda, dalam pemilu kan cuma punya satu suara. Okay? Dulu, pemerintahan Anda keras dikritik. Tapi di masa Anda inflasi turun dari 78 persen menjadi 2 persen, rupiah juga sempat menguat hingga level Rp 7.000-an. Apa yang Anda lakukan? Susah saya jelaskan apa resep di baliknya dalam dua-tiga kalimat. Saya harus memberikan kuliah dan penjelasan sampai rinci. Tapi, yang jelas, kita harus memiliki teamwork yang solid. Ini penting sekali. Presiden, wakil presiden, dan semua anggota kabinet harus bersinergi positif. Yang saya maksudkan begini. Kalau Anda melaksanakan suatu pekerjaan, performa Anda 100 persen, saya juga 100 persen. Nah, kalau kita berdua bekerja sama, ada tiga kemungkinan. Pertama, 100 + 100 = 200. Ini normal. Kedua, 100 + 100 menjadi 400. Ini namanya bersinergi positif. Atau kemungkinan ketiga, 100 + 100 menjadi 20. Ini namanya bersinergi negatif. Jadi, seorang pemimpin di mana pun dia berada haruslah berusaha supaya tim yang dia pimpin semuanya bersinergi positif. Jadi, dia harus memimpin dulu tim intinya, lalu ke periferal, baru memimpin seluruh bangsa. Kepemimpinan itu adalah memimpin semua orang, termasuk mereka yang membenci sang pemimpin. Anda juga membebaskan pendirian partai politik. Ada anggapan sistem multipartai justru mempersulit sinergi dalam menjalankan roda pemerintahan. Bukankah pemerintahan Anda juga cukup berhasil karena tak diganggu fragmentasi politik? Ketika itu, di DPR cuma ada tiga partai. Kita harus melalui proses di mana bangsa kita harus diberi kesempatan untuk menemukan tolok ukurnya sendiri, tanpa menjiplak dari orang lain. Untuk itu harus diberikan waktu. Jangan lupa, pada 1945, sewaktu bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan, kita merdeka tapi belum bisa menikmati kebebasan. Dalam istilah bahasa Inggrisnya, ”We’re independent but we did not have a freedom.” Freedom tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab. Tanggung jawab dan freedom hanya berkualitas jika manusianya juga berkualitas, bukan hanya secara kualitatif, tapi juga kuantitatif. Di sinilah arti pentingnya pendidikan dan pembudayaan. Kita bersyukur, selama lebih dari 50 tahun di bawah kepemimpinan Presiden RI pertama dan kedua, kita relatif berhasil mengembangkan sumber daya manusia. Ketika itu, tolok ukur dalam kehidupan bernegara adalah UUD 1945. Tapi, sewaktu UUD 1945 disusun, sudah diterima ia adalah konstitusi yang perlu disempurnakan. Di masa presiden pertama, telah dibentuk Badan Konstituante yang bertugas menyempurnakan UUD 1945. Tapi Badan Konstituante gagal dan dibubarkan. Kita lalu kembali ke UUD 1945. Nah, di masa presiden kedua, UUD 1945 yang masih harus disempurnakan itu justru langsung dilaksanakan. Seiring dengan kualitas sumber daya manusia kita yang telah meningkat, hal itu lalu menjadi persoalan. Sewaktu saya menjadi wakil presiden, situasi itu lalu memuncak. Ekspresi yang keluar dari rakyat bukan untuk kemerdekaan, tapi untuk freedom. Itu wajar saja karena memang harus dilalui. Faktor apa lagi yang mempengaruhi kinerja pemerintahan Anda? Saya beruntung bisa mempersiapkan itu semua dalam 17 bulan tanpa harus berkonsultasi dengan wakil presiden karena saya sendirian. Kedua, saya memiliki pengalaman selama lebih dari 20 tahun sebagai anggota kabinet dan mengenal aparatur pemerintah di pusat ataupun di daerah, berikut kendalanya, rambu-rambunya, dan permasalahannya secara rinci. Apakah itu sekarang dianggap baik atau tidak, saya tidak bisa menilainya. Bagaimana penilaiannya, nanti rakyat dan sejarah yang menilainya. Di masa transisi ini, banyak yang waswas demokrasi kita telah keluar dari relnya semula. Menurut Anda? Saya sama sekali tidak setuju. Selama kita berpegangan pada UUD 1945 atau konstitusi yang nanti diperbaiki, ketetapan MPR, dan peraturan perundangan yang lain, dan senantiasa menegakkan hukum, insya Allah itu tidak akan terjadi. Kita tidak akan kesasar, ha-ha-ha…. Apa yang seharusnya menjadi prioritas pemerintahan Megawati sekarang? Waduh, saya tidak bisa, tidak mau, dan tidak berhak memberikan pendapat tentang hal ini. Sebab, saya tidak lagi berada di dalam pemerintahan dan tidak lagi mendapatkan laporan dari aparatur pemerintah ataupun masyarakat. Mungkin saja sistem berpikir saya mampu memberikan penilaian, tapi datanya tidak mencukupi. Karena itu, saya tidak dibenarkan mengambil sikap tertentu dan menilainya. Kalau kita tarik ke belakang, kebijakan apa yang ketika itu Anda prioritaskan? Banyak sekali. Kita mencoba mengatasi free-fall (terjun bebas) rupiah, hiperinflasi, suku bunga bank yang meningkat, pemutusan hubungan kerja di mana-mana, dan masyarakat yang merasa tidak memiliki kebebasan, yang masih dicekam bayangan dari masa lampau yang merupakan suatu nightmare (mimpi buruk) tersendiri. Semua itu begitu multikompleks. Saya bersyukur semua itu bisa kita lalui dengan baik. Anda juga membebaskan pers. Anda setuju dengan anggapan sementara orang bahwa kebebasan pers sudah kebablasan? Ah, pers akan belajar sendiri. Banyak yang muncul, banyak juga yang bangkrut. It’s okay. Biarkan mekanisme pasar yang menentukan. Come on, silakan. Asal turut sistemnya, peraturan permainannya. Jadi, yang penting dalam market economy adalah peraturan harus disusun dengan mencerminkan kehendak rakyat itu sendiri. Saya rasa kita jangan terlalu banyak ikut campur di dalamnya. Itu akan terseleksi tersendiri. Sama halnya dengan partai politik. Begitu dibuka pintunya, berdiri 140-an partai. Lalu terseleksi 48 partai yang boleh ikut pemilu. Tersaring lagi cuma belasan yang bisa masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat. Dus, jangan diatur-atur, biarkan rakyat yang menentukannya. Jadi, saya rasa kita sudah benar, tidak ada masalah. I’m not so pessimistic about the future of Indonesia (saya tidak begitu pesimistis melihat masa depan Indonesia). Kebijakan Anda menyelenggarakan referendum di Timor Timur dipuji dunia internasional sekaligus dikecam keras sebagian kalangan yang ultranasionalistis. Apa sebenarnya latar belakang kebijakan itu? Latar belakangnya very simple. Saya beriktikad memberikan kebebasan di atas prinsip kemerdekaan kepada setiap manusia Indonesia di bumi Indonesia. Itu satu. Saya bukan asal omong. Saya, misalnya, meratifikasi hak dan kewajiban asasi manusia, di mana orang juga bisa bebas tapi tetap harus bertanggung jawab. Dalam melaksanakan prinsip itu, saya tidak dibenarkan mengambil dan memanfaatkan suatu kebijakan berdasarkan double standard. Saya memperlakukan setiap manusia dengan standar yang sama. Selain kepada Tim-Tim, saya jelas tidak dibenarkan memberikan kemerdekaan kepada provinsi lain. Lalu apa bedanya Tim-Tim dengan Aceh, misalnya? Jelas ada perbedaan antara Tim-Tim dan Aceh. Tim-Tim tidak ada di dalam UUD 1945. Cari saja. Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 itu secara eksplisit dan implisit menyatakan yang dinamai bangsa dan Republik Indonesia adalah manusia yang hidup di atas bumi yang dulu bernama Hindia Belanda. Jadi, pada dasar kita bernegara ataupun secara hukum, Tim-Tim itu tidak ada dasarnya. Okay? Walaupun ada ketetapan MPR, itu tidak autentik seperti apa yang tertulis dalam UUD 1945 sebagai konstitusi. Itu pertama. Kedua, Tim-Tim tidak pernah diakui oleh PBB. Dengan demikian, ada perbedaan yang jelas antara Tim-Tim dan Aceh. Nah, karena itulah sebagai orang yang memperjuangkan hak dan kewajiban asasi manusia, saya mengambil kesimpulan. Baiklah, Anda (warga Tim-Tim) tentukan sendiri. Mau ikut enggak dengan saya. Kalau mau ikut, harus sesuai dengan aturan permainan bangsa Indonesia. Kalau dia mau, you’re welcome. Seluruh dunia harus mengakuinya, termasuk PBB. Tapi, kalau dia berpendapat lain dan mau hidup sendiri, kita harus juga menghormati hak mereka dan kita hidup sebagai tetangga yang baik, yang saling membantu. Jadi, sangat simpel sebenarnya. Rekonsiliasi nasional digulirkan di era Anda, tapi tak kunjung bisa direalisasikan sampai sekarang. Kenapa? Kita ini sering terjebak masa lalu. Masa lampau itu adalah pelajaran untuk memperjuangkan masa depan yang lebih cerah. Kita tidak berhasil mengadakan rekonsiliasi nasional mungkin karena densitas emosi bangsa kita masih terlalu tinggi. Jika demikian, baiklah kita mulai dari rekonsiliasi pemikiran. Okay? And tidak saja dari elite politik, tapi juga dari rakyat yang bisa berpikir. Kita mulai dari situ. Untuk itu saya sarankan jangan cari hal-hal yang bersifat antagonistis, jangan cari pertentangan, tapi carilah persamaan, persamaan yang diikat dengan tali budaya, silaturahmi, dan hukum. Kalau kita mulai dengan pertentangan, tidak akan tercapai konvergensi, selalu divergensi. Yang penting ada dialog. Dialog itu akan membuat saling mengerti. Pengertian adalah dasar utama dari toleransi. Kalau toleransi ada, saya yakin banyak hal bisa diselesaikan secara damai dan tuntas. Okay? Apa aktivitas Anda sekarang? Saya menulis buku, memberikan ceramah, dan lain-lain. Kemarin, misalnya, saya diundang memberikan ceramah di Berlin dalam Konferensi Hak Asasi Manusia dan Agama yang dipersiapkan oleh sebuah organisasi kerja sama Jerman, Amerika, dan Kanada. Yang hadir para guru besar. Saya di situ membawakan makalah dalam bahasa Inggris berjudul ”Human Rights, Human Responsibility, and Productivity”. Kabarnya Anda kini menjadi penasihat Perdana Menteri Jerman, Schroeder, khususnya soal Asia Pasifik? Ah, enggak. Yang benar saja. Saya ini sekarang tidak punya jabatan. Saya ini sekarang pensiunan. (Habibie kembali tertawa lebar.) Kapan Anda kembali ke Tanah Air? Secepat mungkin. Kalau dokter mengatakan Ibu Ainun sudah boleh berangkat besok, ya besok. Tapi kan belum bisa. Bukan saya yang menentukannya, Dik. Saya orang Indonesia. Saya juga sudah rindu Tanah Air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus