Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANORAMA langka itu ramai dibincangkan di kafe-kafe: salju masih turun di Belanda pada akhir Maret lalu. Salju yang asyik, renyai gemulai lalu bergelayutan di dahan-dahan pohon sisa terakhir musim gugur. Tapi sebuah film yang meluncur pada Kamis malam dua pekan lalu segera membunuh percakapan tentang salju yang indah itu.
Politikus dari Partai Kebebasan Belanda, Geert Wilders, sutradara film itu, bukan hanya telah menekuk haluan percakapan, tapi juga ”meledakkan” Belanda, Eropa, bahkan dunia. Pesan pendek pun sambung-bersambung pada Kamis pukul 19.25 waktu Eropa bagian barat itu: film Fitna sudah online. Pada saat yang hampir bersamaan, puluhan ribu orang di Eropa memelototi layar komputer.
Di situs layanan video online gratis LiveLeak, misalnya, hanya dalam tempo satu jam, Fitna mengumpulkan 75 ribu pengunjung untuk versi bahasa Belanda dan 15 ribu untuk versi Inggris. Tapi, dalam hitungan menit, jumlah hit terpompa menjadi 712.152 untuk bahasa Belanda. Dua jam berikutnya: Fitna mandek.
Esoknya LiveLeak mengumumkan, mereka terpaksa mencabut Fitna karena alasan keamanan terhadap para anggota staf. Fitna kembali bisa diakses sejak Senin pekan lalu. Tak jelas alasannya, apakah para pengelola LiveLeak sudah yakin anggota stafnya tak terancam atau sebetulnya ancaman itu tak pernah ada. Yang jelas, LiveLeak—juga situs multimedia populer YouTube— kini telah diunduh belasan juta orang.
Fitna adalah sebuah cerita tentang rasa penasaran, sekaligus ”bom” kecemasan. Jutaan muslim di pelbagai belahan dunia geram dan menggelar aksi demo. Warga Belanda yang bukan muslim pun bersatu bersama pemerintah mengecam pemutaran film berdurasi 15 menit itu.
Film ini sebetulnya tak lebih dari kumpulan guntingan berita koran dan gambar-gambar yang dicuplik dari stasiun televisi. Wilders menggagas cerita, menulis skenario, dan menyutradarai sendiri film itu. Memang, di akhir film tertulis nama Scarlet Pimpernel sebagai sutradara dan editor. Tapi Sybrand van Haersma Buma, rekan Wilders di parlemen Belanda, menyebut Pimpernel nama samaran sekaligus rumah produksi milik Wilders.
Formula Fitna sangat sederhana. Mengutip Al-Quran lalu menempatkannya keluar dari konteks dan ”menabrakkan”-nya dengan adegan-adegan yang bikin merinding, plus jepretan-jepretan demonstrasi. Wilders mencoba meyakinkan penonton dengan memungut potongan-potongan khotbah, mulai pemimpin religius ekstrem hingga Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad.
Fitna dibuka dengan gambar pria berjenggot lebat, alis tebal, mata sangar, dan mengenakan sorban berpucuk bom di atas kepala. Inilah kartun ciptaan Kurt Westergaard yang dimuat pertama kali pada 30 September 2005 di koran Denmark, Jyllands-Posten dan menuai protes. Mereka menggambarkan kartun itu sebagai sosok Nabi Muhammad.
Setelah gambar itu, mulailah kutip-mengutip Al-Quran yang diawali dengan surat Al-Anfaal ayat 60, yang isinya dicuplik setengah: ”Prepare for them whatever force and cavalry ye are able of gathering. To strike terror. To strike terror into the hearts of the enemies, of Allah and your enemies.” Untuk versi bahasa Inggris, ada beberapa terjemahan Al-Quran, di antaranya versi M.H. Shakir, Abdullah Yusuf Ali, dan Marmaduke Pickthall.
Fitna memilih terjemahan M.H. Shakir, versi yang banyak mengundang kontroversi karena diduga sebagai karya plagiat. Di sini Wilders sama sekali tak menyebutkan bahwa kalimat yang dikutipnya adalah bagian dari sebuah kisah panjang 10 halaman tentang kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Wilders justru mengulang kata ”to strike terror” dua kali.
Lalu Wilders memasukkan gambar pesawat terbang menghantam Menara Kembar pada tragedi 11 September, tujuh tahun lalu, dilengkapi rekaman telepon para korban. Juga peristiwa pengeboman di stasiun kereta Atocha, Madrid, Spanyol, pada 11 Maret 2004. Gambar-gambar orang terbakar, berteriak, dan wajah-wajah panik berseliweran dilengkapi musik yang menambah syahdu. Bagian ini ditutup dengan potongan khotbah yang entah diambil dari mana: ”Allah is happy when non-muslims get killed.”
Ada empat potongan ayat dari berbagai surat yang dicomot Wilders. Selain mencuplik surat Al-Anfaal, ia mengutip surat An-Nisaa ayat 56 dan 89 serta surat Muhammad ayat 4. Di sela adegan berdarah-darah sepanjang Fitna, Wilders memasukkan sebuah wawancara dengan seorang gadis kecil yang seperti diarahkan untuk mengatakan orang Yahudi adalah monyet dan babi. Pada bagian terakhir, anggota parlemen dari kelompok ultrakanan ini memberi semacam kesimpulan atau ”ramalan” bahwa jika aktivitas muslim tak segera dihentikan, suatu saat negeri Belanda akan dijajah oleh muslim.
Kebencian Wilders terhadap ”Islam” dalam film propaganda itu ternyata tak ditanggapi dengan amarah oleh umat Islam Belanda. Organisasi muslim terbesar di Belanda, Contactorgaan Moslims en Overheid (The Contact Body for Muslims and Government), justru memilih menenangkan massanya. Abdullah Haselhoef, seorang imam asal Rotterdam, cuma menyebut, ”Jika orang buta mengatakan matahari itu gelap, mengapa kita harus repot?”
Fitna malah mendapat gugatan dari pihak yang tak diduga sebelumnya. Pertama, soal salah mengenali orang. Dalam adegan pembunuhan Theo van Gogh, Wilders salah menempatkan foto Mohammed Bouyeri dengan Salah Edin, rapper warga negara Belanda keturunan Maroko. Salah Edin adalah rapper terkenal di Belanda, yang albumnya, Nederlands Grootste Nachtmerrie (Netherlands Greatest Nightmare), dinobatkan sebagai album terbaik di BNN Urban Awards, November tahun lalu.
”Ini menunjukkan rendahnya mutu penelitian Wilders, hingga ia tak bisa membedakan foto a world-famous, convicted murderer dengan seorang rapper,” kata Edin seperti yang dilansir di situs pribadinya. ”Wilders tak punya hak untuk menggunakan foto saya tanpa permisi dari manajemen, perusahaan rekaman, dan saya sendiri. Dia harus berhenti memutar film ini atau akan berhadapan dengan hukum.”
Protes juga datang dari Robbie Muntz, yang musiknya dipakai tanpa permisi oleh Wilders, dan dari Kurt Westergaard, yang rupanya tak tahu gambarnya dipakai. Seperti dilansir koran Belgia, De Morgen, Westergaard menuding Wilders tak menghargai hak cipta dan karena itu penggunaan gambarnya dianggap sebagai pencurian. ”Saya mendukung kebebasan berbicara dan berekspresi, tapi saya tak mendukung pelanggaran hak cipta seperti yang dilakukannya,” ujar Westergaard.
Belum cukup sampai di situ, stasiun radio dan televisi Nederlandse Moslim Omroep (NMO) mengancam akan menuntut Wilders melalui jalur hukum jika tak memotong gambar yang digunakan tanpa izin dari arsip NMO. Wilders rupanya sibuk mencatut, mencuri, dan memotong milik orang sana-sini untuk membuat Fitna.
Asmayani Kusrini (Den Haag)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo