Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN kepala daerah secara langsung sudah dimulai 1 Juni lalu di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Daerah-daerah lain akan menyusul. Setelah pemilihan presiden langsung tahun lalu, pemilihan kepala daerah merupakan peristiwa historis bagi Indonesia karena sekarang untuk pertama kalinya penguasa daerah, seperti gubernur, bupati, wali kota, dipilih secara langsung. Sebelumnya, kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Seperti halnya pemilu nasional, pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam perspektif demokrasi adalah mekanisme untuk menghargai dan menghukum elite daerah. Seorang kepala daerah dihargai oleh rakyat dengan memilihnya kembali dalam pilkada. Sebaliknya, dia dihukum oleh publik dengan tidak dipilih ulang. Alasan untuk menghargai atau menghukum sederhana saja: dia dihargai jika dianggap bekerja relatif mendekati harapan pemilih, dia dihukum jika sebaliknya.
Harapan pemilih terhadap pemerintah daerah tentu saja sangat banyak, dan sering tidak realistis untuk semuanya dipenuhi. Namun, ada harapan elementer yang biasa menjadi harapan umum pemilih: keadaan ekonomi personal pemilih dan keadaan ekonomi daerah pada umumnya. Setiap pemilih dapat merasakan apakah keadaan ekonomi dirinya tahun ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Juga apakah keadaan ekonomi provinsi, kabupaten, atau kota tahun ini lebih baik atau lebih buruk dibandingkan dengan tahun lalu. Bila pemilih merasakan "lebih baik", mereka cenderung menghargai yang menjabat dengan memilihnya kembali. Sebaliknya, bila "lebih buruk", pemilih cenderung tidak akan memilihnya.
Apa urusannya seorang pemilih menyalahkan pemerintah daerah ketika ia merasakan keadaan ekonomi dirinya, atau daerah di tempatnya, tahun ini lebih buruk dibanding tahun lalu? Seperti halnya elite politik, massa pemilih juga punya perhitungan.
Suara yang diberikan pemilih kepada seorang calon bukan sedekah atau tanpa pamrih. Seorang pemilih memberikan suaranya kepada si calon dengan harapan ia akan mendapat sesuatu jika calon itu menang nanti, yakni keadaan ekonomi daerah dan ekonomi personal yang lebih baik.
Apa urusan kemenangan sang calon dengan perbaikan ekonomi daerah dan ekonomi pribadi personal? Tentu saja ada hubungan tidak langsung melalui serangkaian mekanisme antara keduanya.
Pemerintah adalah aktor yang punya wewenang dan tanggung jawab bagi tersedianya, setidaknya, prasyarat non-ekonomi untuk perbaikan ekonomi daerah dan warganya. Pemerintah harus menciptakan iklim yang kondusif bagi perbaikan ekonomi daerah, misalnya penegakan hukum, pelayanan birokrasi yang cepat dan murah, dan tersedianya infrastruktur daerah seperti jalan, irigasi, listrik, dan telepon. Jika ini terpenuhi, kegiatan usaha, investasi, dan lapangan kerja juga bakal tumbuh.
Hasil akhir dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat. Pemilih menilai seorang kandidat pada hasil akhirnya. Terlalu rumit bagi mereka untuk tahu secara rinci proses yang membantu perbaikan ekonomi. Terlalu ruwet bagi pemilih untuk memahami hubungan antara korupsi dan penegakan hukum bagi perbaikan ekonomi daerah.
Dalam konteks itu, tidak mengherankan kalau dalam berbagai survei pilkada calon pemilih menyebut hal-hal yang terkait dengan kesejahteraan sebagai masalah utama mereka. Mereka mengeluh tentang harga kebutuhan pokok yang tak terjangkau, susah mencari kerja, harga-harga hasil tani dan nelayan yang rendah, harga obat-obatan yang tak terjangkau, dan pendidikan yang mahal. Tidak banyak yang menyebut persoalan penegakan hukum seperti korupsi di pemerintahan, pelayanan birokrasi yang lambat, buruknya infrastruktur, dan lain sebagainya sebagai persoalan daerah yang mendesak untuk diselesaikan. Pemilih pada umumnya tidak melihat masalah-masalah di balik buruknya kesejahteraan warga di daerah.
Dalam pemilihan kepala daerah, mekanisme menghargai dan menghukum calon kepala daerah kemungkinan besar akan berjalan dengan kejam. Dalam pemilihan presiden, mekanisme tersebut berjalan secara moderat. Pemilih yang merasakan kondisi ekonomi 2004 lebih buruk dibandingkan dengan tahun sebelumnya memilih kandidat selain Megawati. Tapi hal itu tidak cukup membuat penantang Megawati mendapat suara lebih banyak dari Megawati sendiri. Wiranto dan Amien Rais dalam putaran pertama pemilu presiden terbukti mendapat suara lebih sedikit dibanding Megawati. Faktor-faktor non-ekonomi juga banyak menentukan. Faktor televisi, yang jangkauannya sangat luas, memberikan gambaran positif terhadap SBY terutama ketika ia mundur dari pemerintahan Megawati dan mendapat simpati pemilih.
Dalam pemilihan kepala daerah, pertarungan citra calon lewat media massa yang berjangkauan luas, seperti TV, kurang kuat. Masyarakat umumnya lebih banyak menonton TV nasional, dan calon kepala daerah yang berkampanye di TV nasional jarang sekali. Kalaupun menggunakan media TV, para calon itu kebanyakan menggunakan TV lokal yang kurang banyak ditonton.
Faktor-faktor non-ekonomi lainnya yang mungkin berpengaruh dalam pemilihan kepala daerah adalah perbedaan primordial, terutama etnik dan suku. Dalam pilkada di tingkat provinsi, keragaman suku dan etnik cukup besar, namun secara umum biasanya ada etnik dominan di provinsi tersebut. Tidak jarang pula dua pesaing utama dalam pilkada datang dari etnik yang sama. Karena itu, masalah etnik bukan faktor umum yang akan mengganggu mekanisme penghargaan dan hukuman dalam pilkadakecuali pada daerah tertentu yang heterogenitas penduduknya sangat tinggi.
Dalam pilkada daerah tingkat dua, homogenitas primordial ini kemungkinannya lebih kuat lagi sehingga calon-calon yang bersaing dalam pilkada kemungkinan banyak yang berasal dari kelompok etnik yang sama. Karena itu, etnik mungkin bukan faktor umum yang paling menentukan.
Sebaliknya, faktor ekonomi mungkin paling banyak menentukan pilihan dalam pilkada tingkat kabupaten/kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten dan keadaan ekonomi lebih mudah dipahami. Pemilih yang ekonominya kurang baikdi antaranya infrastruktur yang rusak, keamanan kurang terjamintidak akan mengeluh kepada gubernur, apalagi presiden. Mereka akan mengeluh kepada lurah atau kepala desa, camat, bupati, atau wali kota. Jarak fisik antara warga dan bupati atau wali kota jauh lebih pendek dibandingkan dengan gubernur atau presiden. Kelompok-kelompok aktivis lokal lebih mudah memobilisasi massa untuk menuntut bupati ketimbang presiden.
Transaksi politik antara pemilih dan calon bupati lebih mungkin dilakukan. Keinginan warga kampung untuk perbaikan jalan dapat disalurkan secara langsung kepada calon-calon bupati yang sedang bersaing: siapa di antara calon yang dapat memperbaiki jalan tersebut? Kontrak politik bisa dibuat dengan calon: rakyat mendapat jalan aspal, calon bupati mendapat kursi bupati. Kontrak demikian sangat dimungkinkan karena, di zaman otonomi daerah ini, kepala daerah tingkat dua punya otoritas sangat luas untuk pembangunan daerah, dan warga punya jarak cukup dekat dengan bupati untuk menagih janji-janji.
Sayangnya, perilaku rasional pemilih seperti itu belum disertai perilaku rasional politisi daerah. Para calon kepala daerah umumnya mengeluarkan biaya sangat besar, hingga miliaran rupiah, untuk melakukan serangan fajarmembagi-bagikan uang atau barang kepada calon pemilih. Calon lawan pun melakukan hal yang sama. Dengan logika yang lineal saja, mudah diterka, ketika menang, kandidat akan mencari kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah mereka keluarkan plus labanya.
Persoalannya: mungkinkah gaji seorang gubernur, bupati, atau wali kota mencapai miliaran rupiah dalam lima tahun sehingga modal pilkada dan labanya dapat diraih? Tentu tidak, dan karena itu korupsi adalah satu-satunya cara mengembalikan modal tersebut.
Kita berharap para kandidat akan takut melakukan korupsi mengingat banyaknya pejabat daerah yang masuk penjara karena menilap uang negara. Kalau ini terjadi, menggelontorkan uang dalam serangan fajar menjadi tindakan yang tidak rasional karena tidak ada kesempatan bagi kandidat untuk mengembalikan modal mereka. Jadi, tidak banyak pilihan buat kandidat pilkada. Tinggalkan politik uang dan berpikirlah rasional seperti calon pemilih mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo