Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Sentuh Penguatan Mahkamah

Revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi semestinya menambahkan kewenangan menerima aduan konstitusional.

2 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana sidang permohonan uji materi undang-undang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 31 Agustus 2020. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK), yang hanya berfokus pada perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi, menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tak berniat menguatkan lembaga tinggi negara ini. Revisi Undang-Undang MK yang disahkan DPR bersama pemerintah, kemarin, tak menyentuh penguatan lembaga, terutama aspek pengawasan dan penambahan kewenangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan penambahan masa jabatan hakim konstitusi tanpa ada penguatan aspek lain hanya akan membuka ruang konflik kepentingan. Menurut dia, perpanjangan masa jabatan perlu disertai dengan penguatan pengawasan. Tanpa ada pengawasan secara independen, perpanjangan jabatan bisa membuka peluang pelanggaran, misalnya korupsi. "Terlalu absolut kekuasaan bisa membuat MK menyimpang," kata Feri kepada Tempo, kemarin.

Perubahan menonjol dalam revisi Undang-Undang MK hanya terletak pada syarat minimal menjadi calon hakim konstitusional dan penambahan masa jabatan hakim selama 15 tahun. Pasal peralihan Undang-Undang MK teranyar itu menjelaskan bahwa perpanjangan masa jabatan berlaku untuk hakim yang saat ini menduduki jabatan.

Feri mengatakan selama ini pengawasan terhadap hakim konstitusi hanya dilakukan majelis kehormatan di bawah MK. Menurut dia, keberadaan majelis kehormatan tidak terlalu kuat karena tidak mandiri. Majelis itu pun hanya bekerja ketika mendapat laporan.

Semestinya, kata Feri, hakim konstitusi ikut diawasi lembaga, seperti Komisi Yudisial yang mengawasi hakim di Mahkamah Agung secara independen. "Dalam masa jabatan yang panjang itu, harus ada mekanisme pengawasan yang kuat sehingga ada proses pemberhentian hakim ketika melanggar etik. Ini yang tidak dimiliki MK," kata Feri.

Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Agil Oktaryal, mempertanyakan tak adanya penambahan kewenangan MK sebagai bentuk perbaikan lembaga dalam revisi ini. Menurut Agil, kewenangan MK saat ini sangat terbatas.

Selama ini, kewenangan MK adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan menangani perselisihan hasil pemilu. Selain itu, MK berwenang memutus sengketa antarlembaga negara, pembubaran partai, dan memberi putusan impeachment kepada presiden atas usul DPR.

Seharusnya, kata Agil, wewenang MK bertambah, yaitu menerima aduan konstitusional warga. Meski selama ini bisa ditampung di Pengadilan Tata Usaha Negara, akan lebih baik jika MK menyelesaikan aduan pelanggaran hak konstitusional warga agar tidak memakan waktu lama. "MK tidak hanya mengadili kebijakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Tapi, kalau ada kebijakan yang dirasa melanggar hak konstitusional, seperti penggusuran, warga bisa mengadu ke MK. Itu yang dibutuhkan," katanya. Menurut dia, MK perlu diberi wewenang untuk memberi masukan apakah kebijakan yang dibuat pemerintah melanggar hak warga atau tidak.

Aspek lain yang luput dalam pembahasan perubahan Undang-Undang MK adalah pengujian satu atap di MK. Selain MK, Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan, yakni peraturan di bawah undang-undang. Hukum acara di MA sangat tertutup dan banyak keputusan MA yang bertentangan dengan MK. Keputusan yang bertentangan, kata Agil, kerap mengakibatkan ketidakpastian hukum. "Pengujian produk hukum yang bersifat regulasi diserahkan saja ke MK agar ada kepastian hukum."

Agil menegaskan, perubahan Undang-Undang MK mestinya dimanfaatkan untuk membuat standar rekrutmen hakim konstitusi yang berasal dari DPR, presiden, dan MA. Selama ini, seleksi para hakim konstitusi diserahkan ke masing-masing lembaga sehingga tidak ada standar baku. Seleksi hakim konstitusi dari presiden melalui panitia seleksi. Seleksi hakim MK wakil DPR hanya menghadirkan ahli panel, tapi keputusan ada di tangan Dewan. Sedangkan seleksi hakim MK dari MA berlangsung tertutup.

Tingkat kepatuhan terhadap putusan MK juga seharusnya bisa diperbaiki melalui revisi tersebut. Menurut Agil, saat ini belum ada sanksi bilamana putusan MK tidak dilaksanakan. Akibatnya, banyak putusan MK yang dikangkangi oleh peraturan DPR. "Warga sudah lelah bertarung di MK, dan dikabulkan. Tapi DPR bikin lagi undang-undang yang mirip," ujar dia.

MAYA AYU PUSPITASARI


4

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus