RENCANA APBD DKI Jakarta baru disahkan Sabtu pekan lalu. Tak
seperti kebanyakan daerah yang umumnya mengesahkan anggaran
lebih cepat, hampir sudah menjadi kebiasaan di DKI pengesahan
itu tertunda beberapa bulan.
Hal ini dimungkinkan oleh Undang-undang No. 5/1974 tentang
pokok-pokok pemerintahan di daerah yang memberi kelonggaran
waktu 3 bulan bagi suatu daerah untuk mengesahkan RAPBD-nya
setelah pengundangan APBN (1 April). Dalam RAPBD DKI 1979/1980
itu ditetapkan sebesar Rp 120 milyar lebih -- satu kenaikan
hampir 11% dibanding anggaran tahun sebelumnya.
Membagi-bagi angka anggaran itu tampaknya tak begitu banyak
menarik kalangan fraksi di DPRD DKI menjelang pengesahannya.
Sebab pada umumnya pembahasan mereka lebih banyak menyinggung
masalah pengadaan tanah yang semakin langka di DKI dalam
beberapa tahun belakangan ini. Berbagai persengketaan tanah
juga tak lupa disinggung. Khususnya yang berkaitan dengan tata
guna dan sistim pemilikan tanah. Malahan Fraksi ABRI meminta
sikap lebih terbuka dari pihak eksekutif akan masalah planologi
kota yang dikatakannya berkaitan erat dengan peruntukan tanah.
Fraksi Karya menyinggung masalah tanah partikelir. Di Jakarta,
seperti di kawasan Cempaka Putih, Sentiong dan Tanah Abang, tak
sedikit tanah negara yang dipakai oleh swasta. Tahun 1980 tak
sedikit di antara tanah-tanah tersebut yang harus dikembalikan
kepada negara, yaitu Pemda DKI. Fraksi Karya meminta agar
segera dilakukan inventarisasi tanah-tanah partikelir serupa itu
untuk dimanfaatkan.
Usul itu tentu saja bertolak dari pengalanlan selama ini bahwa
kesulitan mendapatkan tanah telah menghambat beberapa proyek
pembangunan di DKI. Seperti disinggung beberapa fraksi, selama
Triwulan III tahun anggaran 1978/1979 tidak seluruh anggaran
terserap karena kesulitan mendapatkan tanah untuk lokasi
pembangunan. Yang dimaksud tentulah tertunda atau batalnya
pembangunan beberapa Pasar Inpres atau gedung sekolah karena
belum tersedianya tanah untuk itu. Karena itu Fraksi PDI meminta
perencanaan yang matang dengan survai dan penelitian mendalam
sebelum suatu rencana pembangunan dimajukan.
Pihak Pemda DKI Jakarta rupanya mengakui keadaan itu.
"Kesulitan-kesulitan di lapangan selalu saja ditemukan, karena
masalahnya memang menyangkut berbagai segi kemasyarakatan,
terutama di daerah padat," kata Gubernur Tjokropranolo dalam
jawabannya.
Sedang Diproses
Meskipun RAPBD DKI 1979/1980 sudah disahkan, namun dalam
keterangannya Gubernur Tjokro masih meminta waktu untuk
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran tahun sebelumnya.
"Sedang diproses," katanya. Seperti diketahui RAPBD DKI tahun
lalu berjumlah Rp 113 milyar lebih. Sekitar Rp 57,6 milyar di
antaranya untuk anggaran pembangunan.
Mengingat kesulitan mendapatkan lokasi beberapa sektor
pembangunan, kalangan DPRD-DKI memperkirakan tak seluruh
anggaran pembangunan 1978/1979 itu terpakai. Bahkan
disebut-sebut, anggaran pembangunan tahun lalu sampai Triwulan
III hanya terpakai sekitar Rp 17,06 milyar. Ini terlihat pada
Triwulan I terpakai Rp 1,6 milyar, Triwulan II Rp 7,28 milyar
dan Triwulan III sebanyak Rp 8,18 milyar -- belum didapat angka
untuk Triwulan IV.
Tapi dengan berbagai saran untuk mengatasi kerumitan mendapatkan
tanah dari fraksi-fraksi DPRD DKI, tampaknya penggunaan anggaran
tahun ini akan lebih galak. Lebih-lebih karena Gubernur
Tjokropranolo sendiri mempunyai minat besar untuk membereskan
berbagai urusan yang menyangkut masalah tanah ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini