SEPERTI juga kantor Camat dan Koramil Sipahutar bahkan DPRD
Kabupaten Tapanuli Utara 6 dan 12 April sebelumnya, kantor
polisi tingkat kecamatan tersebut hari itu tak luput dari arus
demonstran. Hanya pada aksi-aksi sebelumnya yang aktip laki-laki
dan perempuan, sekali ini inang-inang alias kaum ibu melulu.
Dengan jumlah sekitar 200 orang.
Namun demikian persoalannya sama saja. Datang dari desa-desa
Sosor Siamporik, Sosor Purbatua dan Huta Mamungka, mereka
berusaha membebaskan salah seorang di antara keluarga atau kawan
sekampung mereka yang tengah berurusan dengan pihak berwajib.
Persoalan yang mengawalinya pun tidak beda. Yakni adanya
sengketa antara penduduk dengan Dinas Kehutanan seperti halnya
dialami penduduk Desa Simarhompa (TEMPO, 28 April '79, Desa)
Semula Dinas Kehutanan melaksanakan reboisasi. Tanah-tanah yang
sebelumnya digarap rakyat tidak sedikit yang terjangkau proyek
penanaman pohon kehutanan tersebut. Padahal yang bersangkutan
merasa belum merelakannya. Itulah sebabnya terjadi sengketa.
Pengaduan yang menurut penduduk disampaikan sampai 3 kali kepada
berbagai instansi dikatakan tidak mendapat jawaban. Karena
jengkelnya, mereka membakar 3 gubuk petugas reboisasi di
lapangan, sekaligus mencabuti sejumlah pohon pinus berumur 3
bulan dari areal reboisasi tadi.
Polisi tentu saja tidak berpangku tangan. Paian Simanjuntak,
salah seorang yang dituduh melakukan perbuatan kriminil tadi
diciduk.
Penduduk Sosor Siamporik, Sosor Purbatua dan Huta Mamungka
nampaknya tidak ingin salah seorang di antara mereka ditahan
pihak berwajib. Itu sebabnya setelah awal bulan yang sama
penduduk desa lain dari Kecamatan Sipahutar "hunjuk perasaan"
mereka pun tidak mau ketinggalan. Sekalipun beberapa di antara
inang-inang itu menyebut aksi mereka dilakukan semata-mata
karena terpaksa setelah sebelumnya ada seorang penduduk
melakukan penganiayaan terhadap penduduk lain ternyata tidak
diapa-apakan oleh pihak berwajib. Sedangkan penyebab terjadinya
penganiayaan tersebut hanya karena si teraniaya berusaha
mencegah petugas kehutanan melakukan reboisasi di atas
tanah-tanah penduduk.
Ketiban Pulung
Namun apabila benar alasan inang-inang berdemonstrasi itu
demikian, ada yang berpendapat polisi semata-mata ketiban
pulung. Sebab Besran Panjaitan yang menganiaya Rellus
Simanjuntak yang mencegah petugas kehutanan menanami tanah
penduduk, berupa penusukan pisau Pebruari lalu, sudah ditindak
oleh polisi dan kemudian diserahkan ke Kejaksaan.
Seorang pejabat kehutanan membantah instansinya tidak lebih dulu
mengadakan musyawarah dengan berbagai pihak dalam soal reboisasi
itu. Tapi barangkali karena penduduk pun dianggap punya alasan
untuk protes, 3 hari sesudah inang-inang berdemonstrasi penduduk
Sosor Siamprik, Sosor Purbatua dan Huta Mamungka mendapatkan
kembali tanah-tanah yang menjadi bahan persengketaan. Sementara
Paian Simanjuntak bahkan telah pula dibebaskan polisi beberapa
saat setelah adanya aksi tadi. Sekalipun polisi sempat melakukan
11 kali tembakan peringatan.
Tak urung ada pihak-pihak yang malah menyayangkan tindakan
pemerintah yang "memenangkan" penduduk tersebut. "Kalau
masalahnya diselesaikan tidak melalui saluran hukum, penduduk
bisa menjadi manja," kata pihak-pihak tadi. Bagaimana pun
masalah pertanahan di daerah Sumatera Utara memang peka. Sebab
adanya perkampungan atau desa-desa dimulai oleh pembukaan hutan
oleh kalangan penduduk sendiri. Akibatnya status pemilikan tanah
tersebut seringkali menyebabkan kerusuhan. Tak heran setelah
adanya aksi inang-inang di Tapanuli Utara akhir April, Rabu
pekan lalu ada pula delegasi petani Kabupaten Deli Serdang
berusaha menemui Bupati dan pimpinan DPRD di daerahnya.
Jumlahnya 45 orang, dipimpin oleh Sahri dan Gumantang Manurung
dua petani Gunung Bokor yang sampai saat ini masih berurusan
dengan Pengadilan Negeri setempat sehubungan dengan dakwaan
mendalangi berbagai kerusuhan berkaitan dengan sengketa tanah.
(TEMPO, 28 Oktober dan 2 Desember 1978).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini