Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tarik Ulur Cara Irlandia

Dua jenderal serta seorang diplomat senior menjadi tulang punggung proses pemusnahan senjata di Irlandia Utara. Jalannya masih tersendat walau milisi pemberontak Irish Republic Army (IRA) telah mengibarkan bendera putih.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jenderal John de Chastelain mendarat di Belfast pada akhir Agustus lalu. Dia menyusul dua koleganya yang lebih dulu tiba di ibu kota daerah otonomi Irlandia Utara itu, Brigadir Jenderal Tauno Nieminem dari Finlandia dan diplomat senior Andrew Sens dari Amerika Serikat. Belfast ”hangat betul” menyambut kedatangan mereka. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, kerusuhan warga Protestan versus Katolik ini sampai membikin 2.000-an polisi tunggang-langgang mengamankan situasi. Kaum Protestan marah besar karena dilarang menggelar pawai Orde Oranye di wilayah orang-orang Katolik di sebelah barat kota.

Baku hajar gaya bebas pun memenuhi di beberapa ruas jalan, seolah-olah sedang ada latihan bela diri massal. Belfast memang bukan kota yang ramah, tapi tugas tetaplah tugas bagi Chastelain, Nieminem, dan Sens. Tiga orang ini adalah pejabat Independent International Commission on Decommissioning (selanjutnya disebut Komisi—Red). Komisi yang mereka pimpin bermarkas di Rosepark House, Upper Newtownards, Belfast. Lembaga ini berwenang mengawasi pemusnahan senjata Irlandia Utara—proses yang penuh tarik-ulur dan belum tuntas selama bertahun-tahun.

Akhir Juli 2005, angin segar bertiup di seantero Irlandia setelah faksi politik IRA, Sinn Fein, berjanji meninggalkan perjuangan bersenjata. ”Pemimpin Oglaigh na hEireann (sebutan IRA di kalangan internal—Red.) memerintahkan penghentian semua aksi bersenjata,” begitu bunyi siaran resmi IRA. Pemerintah Inggris langsung merespons secara positif. Kepada kantor berita Reuters, Perdana Menteri Inggris Tony Blair memuji langkah itu. ”Inilah hari ketika perdamaian menggantikan perang, politik menggantikan teror,” ujarnya. London merestui pembongkaran beberapa pos militer Inggris di Irlandia Utara.

Harus diakui, janji Sinn Fein adalah babak baru proses perdamaian di Irlandia Utara. Banyak yang riang gembira mendengarnya, termasuk dunia internasional, walau sebagian orang tetap waswas. Maklumlah, IRA sudah terkenal mahir mengumandangkan janji surga. Sejak 1994 mereka mengaku siap meletakkan senjata, tapi setiap perundingan selalu gagal karena IRA tak mau memusnahkan senjata. ”Sinn Fein hanya menjejali kita dengan kata-kata,” ujar David Lidington, politisi Protestan, seperti dikutip The Belfast Telegraph.

Toh, tiga pejabat teras Komisi tetap datang ke Belfast untuk mengatur langkah-langkah konkret selanjutnya. Bermodal jam terbang yang tinggi di bidang diplomasi maupun negosiasi konflik, tiga orang ini masuk ke kancah perundingan Irlandia yang berduri.

Jenderal de Chastelain adalah mantan Duta Besar Kanada di Washington yang sarat pengalaman militer. Jenderal Nieminem pernah mendamaikan konflik di Balkan. Dua sekawan ini pernah bertugas dalam sejumlah misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Adapun Sens adalah bekas diplomat senior Amerika.

Pekerjaan Komisi dimulai pada 1997. Harapan sempat bersemi saat Perjanjian Jumat Agung diteken pada 10 April 1998. Dalam kesepakatan itu, pemerintahan Inggris, Republik Irlandia, serta partai-partai politik lokal di Utara sepakat membagi rata kekuasaan melalui majelis bersama. Dalam referendum nasional sebulan kemudian, rakyat Irlandia—Utara dan Selatan—menyatakan setuju. Walau begitu, serangan bom dan pembunuhan tak juga padam. Situs berita CNN mencatat, ribuan pucuk senjata dan amunisi serta berton-ton bahan peledak masih bertebaran di labirin-labirin rahasia di berbagai wilayah Irlandia Utara.

Menyusul Perjanjian Jumat Agung, promotor perdamaian Senator George Mitchell dari Amerika merekomendasikan Independent International Commission on Decommissioning sebagai prasyarat mutlak perundingan damai. Pemerintahan Inggris dan Republik Irlandia sepakat menunjuk Amerika Serikat, Kanada, dan Finlandia sebagai penengah.

Komposisi tiga negara penengah itu punya cerita sendiri. Kanada mewakili Persemakmuran Inggris; Finlandia sebagai pihak netral mewakili Uni Eropa; Amerika Serikat dipilih karena kedekatan kultural dengan Irlandia. Banyak keturunan imigran Irlandia yang sukses di tanah Abang Sam. ”Mereka memainkan peran penting dalam dunia politik Amerika,” tulis pejabat pers Komisi, Aaro Suonio, kepada wartawan Tempo Kurie Suditomo via surat elektronik.

Sejauh ini, 15 laporan pemusnahan senjata sudah dihasilkan, tapi dalam prakteknya, eksekusi penyerahan senjata amat tersendat-sendat karena kelompok yang berseteru serba ogah-ogahan. Sejak periode Oktober 2001 sampai 2003, IRA sempat tiga kali memasrahkan sebagian senjatanya. Proses ini terhenti pada Desember 2003 karena IRA marah. Mereka protes karena ada kamera yang merekam proses penyerahan tersebut.

Di lain pihak, pihak Protestan memberlakukan kebijakan ”no gun, no government.” IRA harus memusnahkan semua senjata sebelum menuntut hak politik lebih lanjut. IRA menyatakan tak sudi memusnahkan senjata bila demiliterisasi tak dilakukan dulu. Alhasil, perundingan mandek. Korban jiwa terus bertambah. Majelis Irlandia Utara juga tak kunjung terbentuk.

Milisi pemberontak IRA terbentuk pada 1969 karena ingin menuntut keadilan. Pada 1921, Inggris memerdekakan 26 county (pada masa itu—1921—setara dengan wilayah provinsi di Indonesia) di Irlandia Selatan. Mereka memproklamasikan diri sebagai Republik Irlandia, tapi Inggris mempertahankan kekuasaannya di enam county di wilayah utara. Maka, pecahlah konflik panjang sampai saat ini.

Di enam county hiduplah 55 persen kaum Protestan yang loyal kepada Inggris dan mendukung penyatuan Irlandia Utara dengan Inggris Raya. Sisanya, 45 persen, adalah warga Katolik yang merasa terpinggirkan secara politik, ekonomi, dan kultural. Mereka ingin melepaskan diri dari Inggris dan bersatu di bawah bendera Republik Irlandia yang mayoritas Katolik.

Gesekan demi gesekan timbul dan memuncak pada akhir 1960-an seiring dengan maraknya aksi massa menuntut hak-hak sipil. Tentara Inggris yang berupaya memulihkan keamanan bertindak represif. Ganti IRA yang melancarkan teror penembak jitu dan mengebom tempat-tempat publik pada awal 1970. Inggris lalu mengambil alih pemerintahan Irlandia Utara.

Pertikaian mulai berlumur darah. Apalagi, IRA bukan satu-satunya kelompok paramiliter pro-Republik (Irlandia—Red.) Setidaknya ada empat kelompok sempalan dengan garis politik lebih radikal. Warga Protestan pun punya kelompok paramiliter tandingan. Peneliti Malcolm Sutton di situs Data Konflik Irlandia Utara (CAIN) mencatat, sejak 1969 hingga Desember 2001, konflik Irlandia Utara menelan 3.523 korban jiwa. Ini jumlah yang berarti apabila dihitung dengan populasi total Irlandia Utara yang 1,6 juta jiwa.

Kini, perdamaian di Irlandia Utara diharapkan dapat memasuki babak baru. Rosepark House yang sepi sejak Desember 2003 mulai berbenah sejak de Chastelain, Nieminem, dan Sens kembali ke Belfast. Gerry Adams, pemimpin Sinn Feinn, menyatakan, ”Waktu untuk membangun negeri telah tiba.” Semuanya menanti dengan penuh harap.

Lalu, rentetan bom meledak di Belfast dua pekan lalu saat Orde Oranye berpawai. Orang pun seolah diingatkan bahwa perdamaian sejati boleh jadi masih teramat jauh.


Berseteru Berabad-abad

Abad ke-16 Akta Pemukiman Ulster: gesekan warga Protestan dan Katolik mulai terjadi di Irlandia Utara.

1919 Irlandia Utara (IRA) terbentuk.

1921 Inggris memerdekakan 26 distrik di Irlandia Selatan. Enam distrik di Utara tetap di bawah kekuasaan London.

1969 IRA pecah dua.

1994 Pengumuman gencatan senjata IRA pertama kalinya.

1997 Pembentukan Independent International Commission on Decommissioning (IICD).

22 Mei 1998 Referendum Perjanjian Jumat Agung.

14 September 1998 Pertemuan pertama Majelis Irlandia Utara

30 Mei 2000 Majelis Irlandia Utara berkuasa, mengakhiri pemerintahan London.

2000 Pemusnahan senjata IRA pertama.

2001 Pemusnahan senjata IRA kedua.

2002 Pemusnahan senjata IRA ketiga.

Juli 2005 Sinn Fein (sayap militer IRA) berjanji meninggalkan perjuangan bersenjata. Inggris membongkar beberapa pos militer.

Pangkal Sengketa

Warga Protestan (55%):

  • Loyal dan mendukung unifikasi dengan Inggris.
  • Menolak ide penyatuan Irlandia.
  • Aman dari aksi teror kelompok paramiliter IRA dan sempalannya.

Warga Katolik (45%):

  • Merdeka dari pemerintahan Inggris.
  • Penyatuan Irlandia Utara dan Selatan.
  • Peningkatan kesejahteraan warga Katolik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus