Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juru Damai dari Utara

Konflik Aceh, satu dari 19 besar konflik bersenjata paling awet dan mematikan di dunia, berakhir sudah. Dialog damai di Helsinki pada Agustus 2005 itu dipandu Crisis Management Initiative. Digerakkan hanya oleh segelintir staf dan mengandalkan strategi diplomasi ”jalur satu setengah”, lembaga itu membuat Gerakan Aceh Merdeka setuju memusnahkan senjata—bagian tersulit dalam setiap dialog damai. Wartawan Tempo Nezar Patria mengamati ihwal peran juru damai itu saat melawat ke Helsinki bulan lalu. Raihul Fadjri dan Kurie Suditomo melengkapi laporan Helsinki dengan kasus-kasus ”serupa tapi tak sama” di Irlandia Utara dan Sri Lanka.

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERING telepon pada Sabtu akhir tahun lalu dikenang Martti Ahtisaari, bekas Presiden Finlandia itu, sebagai panggilan yang mengganggu jadwal rehat. Lelaki 68 tahun itu sebetulnya tak mau hari libur direcoki persoalan politik. Dia beringsut dari kamarnya, lalu dengan malas mengangkat telepon di atas meja. Saat itu, angin musim dingin di Helsinki seperti meremas tulang rusuk.

Kalau bukan Tapani Ruokanen, pemimpin redaksi majalah mingguan berita terkenal Finlandia Suomen Kuvalehti, mungkin lelaki itu enggan mengacuhkan panggilan telepon itu.

Tapani membawa berita penting dari Indonesia. Dia meminta Martti bertemu dengan seorang kawan, Juha Christensen. ”Baik, kita mengobrol sambil minum kopi,” Martti menuturkan percakapan itu kepada Tempo.

Apa boleh buat, demi rekan karibnya itu, Martti melanggar pantangannya: bicara politik pada hari libur. Pada awalnya dia tak begitu antusias dengan problem Aceh karena kesibukan luar biasa menangani krisis kemanusiaan di Eropa Timur dan Afrika. Toh, dia tak ingin membuat seorang sobat kentalnya kecewa. Mereka pun bertemu sambil meneguk kahvi, kopi olahan khas Finlandia. Juha ternyata membawa rekan yang lain, dr Farid Husain.

Juha adalah seorang ahli linguistik dan kini menekuni bisnis juga. Dia lama menetap di Sulawesi pada 1980-an dan meneliti bahasa Rampi di Universitas Hasanuddin, Makassar. Sedangkan dr Farid Husain adalah salah satu kepercayaan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam upaya merintis dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Keduanya memikul misi khusus itu dari Jakarta.

Mereka hendak membujuk Martti agar mau terlibat sebagai mediator perundingan damai pemerintah Indonesia dengan GAM. Saat itu, perang sedang meletup garang di daerah ujung barat Pulau Sumatera itu. Pemerintah melakukan dua strategi bagi Aceh: darurat militer sambil mencari celah perdamaian yang langgeng. Martti mendengar riwayat konflik Aceh itu dengan takzim. Dia mulai tertarik karena merasa ada potensi perdamaian di sana. Seperti diungkapkan Juha kepada Martti, dia sudah bertemu pemimpin GAM di Swedia. Para pemimpin pemberontak yang angkat senjata sejak 1976 itu rupanya memberi lampu hijau untuk membahas jalan keluar bagi konflik Aceh. Martti pun mengerti dialog damai di Aceh jatuh bangun selama lima tahun terakhir (lihat Bara yang Padam di Helsinki). Setelah bertanya ihwal proses yang sebelumnya gagal, dia pun mengangguk setuju.

* * *

SESUDAH itu, tinggal kesibukan di satu kantor di Jalan Pieni Roobertinkatu yang lengang meski dekat pusat kota Helsinki. Dari lantai tiga gedung tua itu, berbagai rencana pertemuan, lobi tertutup dan terbuka antardelegasi pemerintah Indonesia dan GAM, mulai digagas. Inilah kantor Crisis Management Initiative (CMI), satu lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang keamanan dan konflik internasional.

Kantor itu sungguh sederhana, disewa sekitar tiga tahun lalu. Bangunan sekarang lebih jembar dibandingkan kantor sebelumnya yang jaraknya satu blok dari jalan itu. ”Kami tumbuh dengan cepat,” ujar Direktur Eksekutif CMI, Pauliina Arola, kepada Tempo.

Berdiri lima tahun silam, saat Martti turun dari kursi presiden, lembaga itu lahir dengan niat membantu masyarakat internasional dalam menangani krisis. Isu yang ditangani beragam, dari krisis kemanusiaan di Eropa dan Afrika sampai soal keamanan dan pembangunan.

Seperti diungkapkan Pauliina, pada awalnya wadah itu dibentuk sebagai pendukung langkah politik global Martti. Ternyata, di luar dugaan, CMI berkembang cepat. Sejumlah program, misalnya, diperoleh bukan lagi karena wibawa politik Martti, melainkan sepenuhnya hasil lobi para staf. Mereka juga punya kantor di Brussels, Belgia. Di kota pusat diplomasi dunia itu, CMI hanya dijalankan tiga pegawai.

Alhasil, kendati jaringan kian merebak, postur lembaga itu tetap singset. Pusat kegiatan masih di Helsinki. ”Di sini, kami cuma punya 13 staf,” ujarnya. Dengan jumlah personel tersebut, mereka ternyata efektif menggarap program di pelbagai belahan dunia. Pauliina mencontohkan, sepanjang 2005 CMI mengerjakan proyek senilai 3,5 juta euro (setara dengan Rp 35 miliar lebih). Mereka mengelola program Uni Eropa, Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai program pembangunan komunikasi yang berguna bagi pemulihan pascakonflik di Bosnia Herzegovina.

Yang menarik, CMI tetap menempelkan merek ”Office of President Ahtisaari”. ”Posisi politik Martti amat membantu langkah diplomasi kami,” ujar Pauliina. Artinya, sebagai bekas Menteri Luar Negeri dan Presiden Finlandia, Martti punya pergaulan luas di kancah politik antarbangsa. Bermodal kapasitas itu, mudah baginya menembus para pemimpin dunia dan menjalankan apa yang disebutnya ”diplomasi jalur pertama”.

CMI, karena karakternya lebih dekat dengan organisasi masyarakat sipil, membangun jaringan yang disebutnya ”jalur kedua”. Justru dengan kelebihan kapasitas Martti, gendang yang ditabuh justru berada di ”jalur satu setengah”. ”Martti bisa bergerak ulang-alik,” Pauliina menjelaskan. Maksudnya, setelah menembus diplomasi tingkat atas, dia gampang meluncur turun ke jalur kedua dan balik lagi ke atas.

Gendang ”jalur satu setengah” terbukti berhasil dimainkan dalam proses mendamaikan Aceh. Salah satu contohnya adalah, Martti melobi pemimpin Uni Eropa agar terlibat dalam proses pemantauan perdamaian di Aceh. Jadilah sejumlah negara Uni Eropa terlibat bersama negara-negara dari Asia Tenggara. Yang terakhir harus disebut berhasil karena kekuatan lobi pemerintah Indonesia.

Pemantauan adalah bagian paling kritis dari proses perdamaian. Menurut Martti, dalam konteks Aceh, pemusnahan senjata, partai lokal, dan kembalinya bekas gerilyawan GAM ke masyarakat adalah isu yang peka. Ada banyak kasus perdamaian bubar gara-gara proses pemusnahan senjata tak berjalan mulus. Setidaknya, pelajaran perlucutan senjata di Irlandia Utara bisa dipetik dengan menimbang baik dan buruknya (lihat Tarik Ulur Cara Irlandia).

Strategi Martti bermain di jalur satu setengah tampaknya juga paling aman bagi pemerintah Finlandia. Dia berhasil meminta bantuan pemerintahnya untuk mendukung penuh proses perdamaian Aceh. Terlebih setelah Bumi Serambi Mekah tumpas digulung tsunami. Rekonstruksi dan perdamaian di Aceh pun menjadi perhatian dunia. ”Jika usaha damai itu gagal, ongkos politik ditanggung CMI, bukan pemerintah,” ujar Pauliina. Sebaliknya, jika berhasil, nama pemerintah Finlandia turut wangi semerbak.

* * *

TERJUNNYA lembaga asing sebetulnya bukan hal baru bagi konflik internal suatu negara. Dalam konteks Aceh, misalnya, tiga tahun silam, proses damai pernah dirintis lembaga asal Swiss, Henry Dunant Center (HDC), yang belakangan mengubah namanya menjadi Center for Humanitarian Dialogue. Sayang, proses itu akhirnya bangkrut. Pemerintah dan GAM masih saling tak percaya. Jakarta akhirnya menutup dialog dan menerapkan darurat militer. Jalan politik kekerasan pun kembali lagi.

Kegagalan HDC boleh jadi karena semata-mata bermain di ”jalur kedua” dengan otoritas politik pas-pasan. Padahal, konflik di Aceh termasuk pertikaian bersenjata yang panjang. Laporan tahunan Stockholm International Peace Research Foundation 2004 menyebutkan, saat ini ada 19 konflik bersenjata besar di seluruh dunia. Salah satu yang paling awet dan mematikan adalah Aceh. Dengan belajar dari jatuh-bangun proses perdamaian di Aceh, CMI mengambil posisi lebih tegas. Martti meracik resep dialog itu dengan satu prinsip ”tak ada kesepakatan sebelum semua butir disetujui”. Dengan begitu, dia bisa mengarahkan dialog meruncing ke arah penyelesaian. Hasil akhirnya, pilihan akan mengarah ke jalan tengah yang lebih menyentuh inti persoalan dan disepakati kedua pihak. Misalnya, GAM tak bicara lagi merdeka, melainkan bersedia berada di bawah Republik Indonesia, sementara Indonesia mengizinkan gerakan itu berkompetisi lewat partai dan pemilu lokal.

Yang menarik, semangat menjadi juru damai umumnya dijalankan oleh negeri-negeri Eropa Utara atau Skandinavia. Sebut saja, misalnya, selain Finlandia yang secara tak langsung menyelesaikan konflik Aceh, ada juga Norwegia yang menjadi penengah dalam konflik Macan Tamil dan pemerintah Sri Lanka (lihat Tersandung Mak Comblang). Norwegia boleh dibilang negeri yang paling aktif. Negeri itu juga menjadi juru damai di Guatemala, Mali, dan Palestina.

Mengapa negara itu begitu terlibat di kancah konflik? Alasan Menteri Luar Negeri Norwegia Vidar Helgesen saat berkunjung ke Indonesia beberapa waktu silam barangkali menarik disimak. Pertama, kata Vidar, perdamaian di negeri-negeri jauh seperti di Asia, Afrika, dan Amerika akan mendukung gerak ekonomi dunia. Kedua, ”Kestabilan di kawasan itu juga akan mengurangi pengungsi di perbatasan kami.”

Negeri Skandinavia yang relatif kaya memang menjadi sasaran serbuan para pengungsi. Misalnya saja, ketika konflik meletus di Eropa Timur, puluhan ribu pengungsi Yugoslavia bergerak menerobos perbatasan Norwegia. Bukan cuma pengungsi biasa, tapi juga pencari suaka dari berbagai negeri. Data dari Dewan Pengungsi Norwegia mencatat sekitar 18 ribu orang pencari suaka berlindung di negeri mereka. Itu belum terhitung yang di Denmark dan Swedia.

Di Helsinki, misalnya, ada Teungku Rasyid, 39 tahun. Lelaki asal Aceh Utara itu adalah satu-satunya pelarian Aceh yang menetap di sana. Sejumlah rekannya tinggal tersebar di kota-kota kecil Finlandia. Rasyid mendapat suaka enam tahun lalu setelah terdampar di Malaysia di bawah perlindungan badan pengungsi dunia UNHCR. ”Di sini saya bisa hidup lebih tenang,” ujarnya.

Entah dari Aceh atau Bosnia, dalam jejaring politik antarbangsa saat ini, dunia tampaknya kian mengecil sehingga cekcok di satu negeri terpaksa menjadi urusan negeri lainnya. Kadang kala, urusan itu tak perlu lagi merepotkan negara. Cukup sebuah kantor dari tepi utara benua Eropa.


Bara yang Padam di Helsinki

Riwayat Aceh pekat diwarnai pergolakan, dari pertempuran lokal, operasi militer, hingga penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Puluhan ribu rakyat sipil mati. Korban juga jatuh di pihak militer. Setelah membara selama 3,5 dekade lebih, pergolakan itu meredup dan padam di meja perundingan. Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka meneken perdamaian di Helsinki pada Agustus 2005.

Berikut ini kronologinya.

21 September 1953 Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Daud Beureueh.

1953-1962 Operasi Penumpasan DI/TII.

Desember 1976 Hasan Tiro memulai Gerakan Aceh Merdeka.

1989-1998 Operasi Jaring Merah dan Daerah Operasi Militer.

7 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie menghentikan Daerah Operasi Militer .

7 Januari 1999 Dialog pemerintah Indonesia-GAM dimulai di Swedia.

November 1999 Sentra Informasi Referendum Aceh menggelar aksi. Ratusan ribu orang di Banda Aceh menuntut referendum.

4 Desember 1999 GAM merayakan hari ulang tahun ke-23 secara terbuka.

Mei 2000 Nota Kesepahaman Bersama tentang Jeda Kemanusiaan diteken atas sponsor The Henry Dunant Center.

Maret 2001 Presiden Abdurrahman Wahid merumuskan langkah-langkah penyelesaian Aceh melalui 12 poin Instruksi Presiden No. 4 /2001.

Februari 2002 Perundingan dilanjutkan. Indonesia menegaskan pembicaraan lanjutan akan berdasarkan kerangka otonomi khusus Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Mei 2002 Perundingan diselenggarakan di Chateau de Bavois, satu setengah jam ke utara Jenewa. Undang-undang NAD disepakati menjadi pijakan awal perundingan.

Desember 2002 Kesepakatan Penghentian Permusuhan (Cessation of Hostilities Agreement/CoHA) ditandatangani di Jenewa.

Mei 2003 Perundingan Tokyo atas prakarsa Japan International Cooperation Agency. Perundingan gagal karena GAM kembali mengajukan tuntutan merdeka.

19 Mei 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri memberlakukan darurat militer selama dua kali enam bulan.

19 Mei 2004 Darurat militer dihentikan dan digantikan dengan darurat sipil.

Januari 2005 Proses perundingan Helsinki diulang atas prakarsa Crisis Management Initiative, yang diketuai mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.

Februari-Juli 2005 GAM menarik tuntutan merdeka dan menerima otonomi khusus.

19 Mei 2005 Status darurat sipil diubah menjadi tertib sipil.

15 Agustus 2005 Nota kesepahaman ditandatangani.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus