Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tsunami di Sri Lanka melahirkan dua hal besar: kedukaan mendalam karena kehilangan nyawa 30 ribu penduduk, dan "perdamaian" antara gerilya-wan Pembebasan Macan Tamil Eelam (LTTE) de-ngan pemerintah Sri Lanka. Dua musuh bebuyut-an ini dipaksa melupakan dendam dan permusuhan setelah tsunami menggulung ne-geri itu pada Desember 2004. Bahu-membahu, gerilya-wan Macan Tamil dan pemerintah membantu korban tsunami. Tapi bulan madu itu tak berlangsung lama-lama.
Dua penembak gelap memuntahkan peluru ke tubuh Menteri Luar Negeri Sri Lanka, Lakshman Kadirgamar, 73 tahun, pada 12 Agustus lalu. Kadirgamar baru saja keluar dari kolam renang di rumah-nya yang dijaga ketat 100 pengawal khusus pada pe-tang hari itu. Peluru menerjang dada dan kepalanya. Ia tewas di rumah sakit 70 menit kemudian. Tu--ding-an- mengarah ke arah Macan Tamil. "Teleskop senjata sniper adalah jenis yang biasa digunakan LTTE," ujar Inspektur Jenderal Chandra Fernando, sebagaimana dikutip kantor berita Reuters.
Yang dituduh Macan Tamil, yang puyeng malah Vilja Kutvonen. Wanita ini ini juru bicara Misi Monitoring Norwegia untuk Konflik di Sri Lanka. Sejak tahun 2000, Norwegia menjadi "pialang perdamaian" antara kedua seteru. Menurut Kutvonen, konsekuensi- penembakan Kadirgamar adalah gencatan senjata yang disepakati antara Macan Tamil dan pemerintah Kolombo pada Februari 2002 terancam buyar.
Etnis Tamil menempati Provinsi Jaffna di wilayah utara Sri Lanka. Dari sini pula mendiang Lakshman Kadirgamar berasal. Tapi dia dibenci oleh puak Tamil karena doktor lulusan Universitas Oxford ini getol melabrak Macan Tamil-organisasi ini terbentuk pada 1976. Dia memimpin kampanye internasional yang memberi label organisasi teroris pada LTTE. Alhasil, dia dianggap pengkhianat yang perlu didor.
Salah satu inti perjuangan Macan Tamil adalah melepaskan wilayah Jaffna dari jangkauan Kolombo. Tapi pemerintah Sri Lanka mana mau terima. Maka pecahlah konflik berdarah. Militer Sri Lanka sibuk menggelar perang di Jaffna, bahkan mengundang campur tangan militer India segala.
Alih-alih mengkeret, Macam Tamil kian ganas bak macan terluka. Mereka meladeni tentara Sri Lanka dari Jaffna hingga ke jantung Kota Kolombo. Bom adalah senjata andalannya yang memakan korban warga sipil hingga Presiden Premadasa. Dia tewas pada 1993. Keterlibatan militer India menumpas kelompok ini juga harus dibayar mahal sekali: Perdana Menteri Rajiv Gandhi mati oleh bom bunuh diri pada 1991. Pelakunya diyakini gerilyawan Macan Tamil.
Dikenal ganas, tanpa kompromi, Macan Tamil- -ak-hirnya duduk di meja perundingan pada 1994, ketika Presiden Chandrika Kumaratunga berkuasa. Celaka- dua belas, Macan Tamil memperlakukan meja perundingan seperti hutan belukar tempat dia berge-rilya. Bila naik darah, dengan mudah mereka mencabut pistol di tengah rapat dan menembak ke sana-kemari. Presiden Kumaratunga mengalami luka-luka karena serangan bom Macan Tamil pada 1999, akibat perundingan yang gagal.
Kumaratunga tidak kapok. Padahal dia mengha-dapi dua "geng" yang sama edannya. Macan Tamil- yang gemar main dar-der-dor. Dan kelompok nasio-nalis radikal Sinhala yang menentang habis-habisan perundingan damai. Konflik ini juga telah mela-yangkan 64 ribu nyawa dan menguras kas pemerintah-. Alhasil, di mata Kumaratunga, perundingan damai adalah satu-satunya jalan untuk menghentikan perang-. Dia ingin kembali berunding.
Tapi kali ini Ibu Presiden ogah sendirian menghadapi Macan Tamil. Ia menggandeng pemerintah Norwegia sebagai penengah. Diplomat Norwegia memang pernah aktif sebagai utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam pembicaraan damai konflik Sri Lanka di Oslo. Tim mediator Norwegia dipimpin langsung Menteri Luar Negeri Jan Petersen dan wakilnya, Vidar Helgesen. Mereka berhasil membujuk Macan Tamil dan pemerintah Sri Lanka meneken gencatan senjata permanen pada Februari 2002.
Gencatan senjata itu memudahkan Petersen dan timnya mencairkan sikap ngotot di kedua belah pihak. Dalam perundingan ronde kedua di Thailand pada Desember 2002, pemerintah Kolombo setuju memberikan konsesi bagi etnis Tamil membentuk pemerintah otonomi di Provinsi Jaffna. Imbalannya? Macan Tamil membatalkan tuntutan pemisahan diri dari Kolombo.
Pada April 2003, di Berlin, perundingan berikutnya digelar, dan mandek. Petersen kehilangan Macan Tamil-yang mundur karena merasa dipinggirkan dalam proses perundingan. Keadaan memburuk ketika pemerintah Kumaratunga yang properdamaian pun menghadapi krisis politik di parlemen oleh pihak yang menentang damai. Perundingan terhenti.
Situasi kian sulit bagi Petersen karena gerilyawan Macan Tamil meledakkan lagi bom bunuh diri di Ibu Kota Kolombo pada Juli 2004. Tapi Presiden Kumaratunga, lagi-lagi, tak mau mundur dari jalan damai. "Saya minta Macan Tamil menyiapkan pembicaraan damai. Saya tak akan kembali berperang," katanya. Kumaratunga bahkan rela membagi bantuan internasional US$ 3 miliar (Rp 3 triliun) bagi korban tsunami dari etnis Sinhala, Tamil, dan komunitas muslim.
Saat kedua pihak siap lagi untuk berunding, ganjalan justru datang dari Norwegia, si mak comblang. Kolombo menuduh Norwegia memasok peralatan komunikasi dan melatih gerilyawan Macan Tamil. -Repotnya, semua bantuan itu digunakan Macan Tamil- dalam kegiatan terorisme. Kumaratunga meminta Norwegia menarik komandan misi gencatan senjata Jenderal Tryggve Tellefsen, yang diduga membocor-kan informasi militer Sri Lanka kepada Macan Tamil-.
Di Kolombo, tuduhan itu mengobarkan demon-stra-si besar pada akhir November 2004. Massa memprotes peran ganda Norwegia: sebagai penengah perun-dingan damai sekaligus pendukung Macan Tamil. Tuduhan itu membuat pemerintah Norwegia ter-pojok. "Norwegia berperan aktif dalam pro-ses perdamaian di Sri Lanka. Tapi tendensi keterlibatannya dilihat secara negatif ," kata Jan Peterson kepada kantor berita AFP.
Dalam suratnya kepada Presiden Kumaratunga, Peterson berjanji mengusut tuduhan itu. "Pemerintah Norwegia masih bertekad menengahi proses perdamaian di Sri Lanka atas permintaan kedua belah pihak," tulis Peterson, seperti yang disiarkan kantor berita BBC. Belakangan, Norwegia menarik pulang Jenderal Tellefsen.
Jika peran Norwegia tak dicemari insiden Jenderal Tellefsen, Peterson akan lebih mulus membawa perdamaian di Sri Lanka karena kedua belah pihak punya faktor yang membuat mereka harus berdamai: pemerintah Kolombo kehabisan amunisi untuk berperang; Macan Tamil sudah babak-belur menghadapi gelombang antiterorisme di seluruh dunia.
Kerikil tajam yang masih harus dihadapi di meja perundingan kelak adalah faksi militan Macan Ta-mil yang menolak jalan damai. Mereka ini yang diduga mendalangi pembunuhan Menteri Luar Negeri Laksh-man Kadirgamar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo