Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tata niaga ala bppc

Tata niaga cengkeh sudah ambruk. selain merepotkan petani, juga sangat menyulitkan produsen rokok. harga yang dipatok bppc kelewat mahal. meskipun di dukung fasilitas, bppc gagal sebagai penyangga.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) baru saja berumur 14 bulan. Tapi, sejak berdiri hingga kini, nama itu sudah menjadi buah bibir di seantero negeri. Apalagi Tommy Soeharto, yang adalah Ketua Umum BPPC, pernah bilang bahwa badan yang dipimpinnya sanggup menyerap panen cengkeh petani dalam jumlah berapa pun. Ketika itu Tommy malah menyebutkan bahwa BPPC sudah siap dengan modal lebih dari Rp 1 trilyun. Entah apa yang terjadi, BPPC akhirnya mengandalkan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang jumlahnya tak kurang dari Rp 759 milyar. Mendengar ini, petani cengkeh bersuka-cita, bahkan sempat berangan-angan. Soalnya, cengkeh yang selama ini menumpuk di gudang, bisa dijual dengan harga bagus (harga patokan BPPC Rp 7.000-Rp 8.500 per kg). Angan-angan petani itu segera terempas cerai-berai. Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa harga realisasi cengkeh berada di bawah harga patokan. Harga beli yang dipatok KUD-KUD kepada para petani belum pernah lebih dari Rp 5.500 sekilo. Segalanya kian runyam karena pembayaran cengkeh yang sudah disetor ke KUD sangat sering tertunda. Alasan KUD selalu sama: belum menerima dropping uang dari BPPC. Yang lebih buruk ialah, BPPC menolak membeli cengkeh. Alasannya, cengkeh terlalu muda, terlalu banyak kadar airnya, ataupun masih banyak kotorannya. Sebegitu jauh, performance BPPC yang demikian -- di samping mutu cengkeh dari petani yang memang perlu dipertanyakan -- belum pernah dipermasalahkan oleh unsur-unsur lain dalam Badan Cengkeh Nasional. Juga belum pernah disinggung oleh Menteri Perdagangan. Kalau tiba-tiba Ketua BPPC Tommy Soeharto menyatakan bahwa di Indonesia terjadi oversupply cengkeh, hal itu tentu mengejutkan. Apalagi di bawah bayang-bayang kelebihan pasok, ia sekaligus mengusulkan agar 30% tanaman petani cengkeh dikonversikan, sedangkan 50% panen cengkeh harus dibakar. Dalam pandangan Tommy, hanya dua tindakan itulah yang membuat harga cengkeh bisa stabil. Menteri Koperasi merangkap Kabulog, Bustanil Arifin, sebelum ini kalau tak salah pernah menganjurkan agar para petani tidak lagi menanam pohon cengkeh yang baru. Memang dia tidak bicara tentang kelebihan pasok, konon pula mengusulkan separuh dari panen cengkeh harus dibakar. Menteri Pertanian Wardoyo juga penuh pertimbangan menanggapi usul Tommy. "Masalah itu perlu dipecahkan secara hati-hati, karena berkaitan dengan banyak instansi," katanya. Sepintas, baik Bustanil -- yang sangat paham soal sangga-menyangga harga -- maupun Menteri Wardoyo tidak membantah adanya kelebihan pasok cengkeh. Tapi Tommy Soehartolah yang mencuatkan masalah itu ke permukaan -- mungkin sekali karena BPPC merasa tak lagi mampu menampung seluruh cengkeh yang kini masih bertebaran di tangan petani dan KUD. Bila seluruh pasokan cengkeh dijumlahkan dengan produksi tahun ini, pada akhir 1992 BPPC memperkirakan akan terjadi kelebihan stok 171 ribu ton. Jumlah ini sama dengan total kebutuhan pabrik rokok selama dua tahun. Dalam kondisi melimpah ruah seperti itu, jika sepanjang tahun 1993 tak ada pabrik rokok yang membeli cengkeh (karena sudah membeli tahun ini), BPPC -- dipastikan Tommy -- akan kolaps dan tak mampu menyerap produksi cengkeh petani. Kalau hal ini sampai terjadi, tata niaga cengkeh yang mendapat dukungan penuh dari Pemerintah -- melalui Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan -- bisa dianggap gagal. Untuk menangkal "bencana" itu, Tommy mengusulkan, lahan cengkeh diciutkan, minimal meliputi lahan seluas 250 ribu ha atau 34% dari kebun cengkeh yang kini ada. Petani lalu dianjurkan agar mengganti pohon cengkeh dengan tembakau, vanili, cokelat, atau palawija. Menurut Tommy, dana untuk konversi bisa diambil dari dana SRC (sumbangan rehabilitasi cengkeh), yang selama ini mengendap di kaskas pemerintah daerah. Dan sebagai langkah pertama, program tersebut bisa dimulai dari kebun cengkeh milik negara, yang luasnya diperkirakan 4.700 ha. Mengenai pembakaran cengkeh yang diusulkan meliputi 40-50% hasil panen cengkeh itu, Tommy mendesak agar dilakukan sesegera mungkin. Ini perlu, mengingat stok BPPC kini tak kurang dari 170.000 ton. "Jumlah stok sebesar ini akhirnya akan merugikan konsumen, karena BPPC akan menjual dengan harga yang lebih mahal, disebabkan oleh mahalnya biaya penyanggaan," Tommy menegaskan. Apa kata pihak industriawan rokok yang adalah konsumen utama komoditi cengkeh? Menurut Putera Sampoerna, bos PT HM Sampoerna, sistem tata niaga cengkeh sudah ambruk. Ia juga mengingatkan, alternatif yang diajukan Tommy untuk membakar 50% hasil panen tidaklah tepat. Sebaiknya, selain dibicarakan oleh departemen yang berkepentingan (Perdagangan, Pertanian, Perindustrian, Koperasi, Keuangan, dan Bank Indonesia), cengkeh dijual secara transparan di bursa komoditi. Menurut Putera, di sanalah harga riil yang berdasarkan permintaan dan penawaran akan terjadi. Dengan kata lain, Putera menganggap tata niaga cengkeh yang berlaku saat ini tak lagi relevan dengan keadaan. "Malah menimbulkan biaya tinggi," ujarnya lagi. Dulu harga cengkeh hanya dibebani dua macam biaya, yakni SRC, dan penalti yang dikenakan jika ada pedagang yang membeli langsung dari petani. Kini, kedua komponen beban tersebut bertambah dengan munculnya biaya pengemasan yang Rp 50/kg dan imbal jasa untuk BPPC Rp 500/kg. Selain itu, pabrik rokok sebagai konsumen juga harus menanggung sepenuhnya biaya penyanggaan yang dikeluarkan BPPC berupa sewa gudang, penyusutan, asuransi, dan bunga bank. Bahkan pihak BPPC pernah menyatakan, harga jual setiap kilo cengkeh yang disangganya akan dinaikkan Rp 50 setiap hari. Kalangan petani sebagai produsen cengkeh mungkin adalh pihak yang "tertawa duluan dan menangis belakangan" dalam kaitannya dengan tata niaga cengkeh ala BPPC. Seperti disebut di atas, bukan hanya cengkeh mereka tertunda pembayarannya, tapi harga patokan juga tak sempat mereka nikmati -- kecuali oleh sejumlah kecil petani di Sulawesi Utara. Harga yang kebanyakan terjadi selama adanya tata niaga baru adalah Rp 3.000 sampai Rp 4.000 per kg. Atau, paling banter, si emas cokelat dihargai Rp 5.500, masih Rp 1.500 di bawah harga patokan minimal yang Rp 7.000. Semua itu terjadi karena BPPC belum mampu mengontrol mekanisme pembelian. Di beberapa sentra produksi cengkeh, seperti di Sulawesi Utara dan Ambon, banyak KUD yang membeli cengkeh bukan langsung dari petani, tapi dari para pedagang pengumpul. Begitupun cengkeh yang dijual kepada BPPC, boleh dibilang sebagian besar merupakan cengkeh para pedagang itu. Akan halnya peran KUD di sini, selain bertindak sebagai makelar, juga berlaku sebagai "penjual cap" agar cengkeh para pedagang itu mudah masuk ke gudang BPPC. Lantas cengkeh dari petani? Simak saja pengalaman seorang petani dari Minahasa. Ia kesal karena berulang kali cengkeh yang ditawarkannya ditolak KUD. Alasannya, tidak memenuhi standar kualitas. "Aneh, sudah mengalami masa pengeringan yang cukup panjang dan berulang kali, tapi masih tetap dianggap tidak memenuhi standar," katanya mengeluh. Agaknya, tata niaga cengkeh yang baru ini tidak saja merepotkan petani, tapi seperti yang acapkali diberitakan sebelumnya, juga sangat menyulitkan produsen rokok. Belakangan ini, pabrik rokok semakin enggan membeli cengkeh, lantaran harga yang dipatok BPPC kelewat mahal (Rp 12.000-Rp 15.000 per kg). Memang, ada kewajiban terselubung dalam kaitan antara pembelian pita cukai dan tanda bukti pembelian cengkeh dari BPPC. Tapi hasilnya belum begitu nyata, karena selama 14 bulan beroperasi, BPPC baru bisa menjual 37.000 ton saja. Yang menjadi pertanyaan, kenapa stok BPPC begitu banyak (per 31 Desember 1991 tercatat 169 ribu ton atau sama dengan kebutuhan seluruh pabrik rokok selama dua tahun). Angka yang besar ini ternyata berasal dari stok unsur-unsur BPPC sebelum BPPC resmi berdiri -- yang membawa stok cengkehnya 89.000 ton. Angka stok tersebut dicantumkan dalam makalah yang disajikan Tommy Soeharto dalam Seminar Cengkeh Nasional yang berlangsung di Manado, pekan silam. Dari 89.000 ton sudah terjual 24.000 ton, sedangkan dari cengkeh pembelian BPPC, baru terjual 13.000 ton. Berarti, dalam stok yang sekarang, masih tersisa stok lama milik unsur-unsur BPPC itu sebanyak 65.000 ton. Melihat angka tersebut, beberapa pedagang yang menghadiri acara seminar itu langsung memainkan kalkulatornya. Katakanlah paling mahal stok lama itu dibeli dengan harga Rp 5.000 per kg. Maka, BPPC masih akan meraih keuntungan sedikitnya Rp 10.000 dari setiap kilogram, alias Rp 650 milyar untuk penjualan cengkeh yang 65.000 ton itu. Kalau benar demikian, tentu Tommy tidak begitu sulit untuk membayar kembali KLBI yang sudah jatuh tempo Januari silam. Masalahnya jadi lain karena kebutuhan cengkeh pabrik rokok tak seberapa, sedangkan stok cengkeh bawaan masih menggunung. Lalu, BPPC harus membayar berbagai beban biaya seperti sewa gudang, penyusutan, dan biaya bunga. "Ya, tapi kan keuntungannya tetap saja ratusan milyar," cetus seorang produsen rokok dari Jawa Timur. Maksudnya? "Keuntungan itu sudah di depan mata, karena penjualan cengkeh stok lama selalu didahulukan." Benar tidaknya sinyalemen itu, entahlah. Tapi yang pasti, BPPC, yang baru berusia setahun lebih, rupanya masih belum mampu berjalan sendiri. Budi Kusumah dan Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus