Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tentang klbi yang macet itu

Bppc belum mampu membayar klbi (kredit likuiditas-bank indonesia), jika terpaksa akan dibayar cengkeh. sebelum dilunasi, bi tak akan memberikan pinjaman lagi.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Tentang klbi yang macet itu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KE mana uang BPPC? Pertanyaan ini tak hanya menggayut di benak petani cengkeh, tapi juga di kepala pengusaha dan para ekonom. Seperti diketahui, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang dipimpin Tommy Soeharto, akhir Oktober 1991 menerima KLBI (kredit likuiditas Bank Indonesia) Rp 759 milyar. Hanya saja, biarpun ada KLBI, cengkeh tetap tidak tersangga dan menukik jauh di bawah harga minimal yang ditetapkan Badan Cengkeh Nasional (BCN) Rp 7.200 per kg. Petani pun berkeluh-kesah. Mendadak, pekan lalu, di depan Komisi VII DPR, Tommy bicara tentang kelebihan pasok cengkeh. Pemuda yang baru saja memenangkan reli mobil ini dengan tenang mengusulkan dua hal: 30% tanaman cengkeh dikonversikan ke tanaman lain dan 50% dari hasil cengkeh petani dibakar. Usul itu sungguh mengejutkan. Tommy bahkan "menggertak", jika usulnya tidak diterima, BPPC bubar saja. Ia memang tidak mengatakan BPPC sudah tidak mampu menyerap cengkeh dari seluruh Indonesia. Tapi pihak-pihak yang sedikit banyak memahami peta percengkehan lantas memperoleh kesan KLBI Rp 759 milyar itu ternyata tidak cukup. Padahal, kredit sebesar itu dimintakan Tommy kepada Pemerintah atas dasar kalkulasi panen cengkeh yang dihitung sendiri oleh BPPC. Lalu, apa yang terjadi? Salah hitung? Apakah Rp 759 milyar tidak cukup untuk menyerap seluruh panen tahun 1991 yang 84.000 ton itu? Jika cengkeh itu dibeli Rp 10.840 per kg -- ini sudah termasuk biaya kemasan, sumbangan rehabilitasi, imbal jasa BPPC, biaya penyangga -- berarti BPPC harus membelanjakan Rp 910 milyar. Tapi pada tahun 1991 ada pemasukan dari penjualan 36.000 ton cengkeh kepada pabrik rokok sebesar Rp 540 milyar. Bila jumlah ini ditambah dengan KLBI yang cair sejak Juni 1991, seharusnya BPPC masih mengantungi Rp 389 milyar. Ternyata, kalkulasi itu tidak seluruhnya benar. Selain hasil panen 1991, masih banyak cengkeh yang berada di gudang KUD, petani, dan pedagang. Jika ditotal, pembelian cengkeh yang harus dilakukan BPPC hingga Desember 1991 seluruhnya mencapai 117 ribu ton. Dana yang tersedot untuk ini akan mencapai Rp 1,3 trilyun. Kalau ini benar, tentu tak ada lagi uang yang tersisa di kocek BPPC. Mungkin karena tidak ada jalan keluar yang lain, Tommy menyatakan, BPPC belum mampu mengembalikan KLBI dalam waktu dekat. "Jika Pemerintah -- memaksa untuk menarik pinjaman itu, yang bisa dilakukan BPPC menyerahkan cengkeh," ujar Tommy. Tak jelas bagaimana reaksi Pemerintah khususnya bank yang menyalurkan KLBI, BBD dan BRI -- terhadap niat Tommy yang ingin menyetor cengkeh ke loket mereka. Seperti diketahui, April tahun lalu BPPC telah menerima kucuran KLBI Rp 269 milyar dengan bunga 17% setahun, lebih murah 9% dibandingkan bunga komersial. BRI dan BBD, yang diberi tugas untuk menyalurkannya, harus menyertakan dana Rp 90 milyar. Namun, uang sejumlah itu rupanya masih belum cukup untuk menampung panen cengkeh tahun 1991. Tanpa kesulitan, setengah tahun kemudian, tepatnya Oktober 1991, BPPC kembali menerima kucuran KLBI Rp 300 milyar dengan bunga 19% setahun. BBD dan BRI, yang ditunjuk lagi sebagai penyalur, harus menyertakan dana Rp 100 milyar. Berbeda dengan KLBI tahap I, pinjaman tahap II diambil dari jatah KLBI yang belum terpakai, yang sedianya dialokasikan untuk mendukung kegiatan investasi dan KUD. Karena dimaksudkan sebagai talangan (pinjaman sementara), KLBI tahap II harus dikembalikan Januari lalu. Namun, hingga jatuh tempo, BPPC belum juga mengembalikannya. "Setahu saya, kedua bank pelaksana belum menerima pelunasan KLBI itu," ujar seorang direktur BBD. Kalau begitu, bagaimana usaha KUD dan investasi yang sedianya menerima KLBI itu? Ini pun belum jelas. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, yang ditanyai, tampak enggan menjawab. "Saya belum mau berkomentar tetang KLBI. Pokoknya masih dipelajari," ujarnya. Menurut seorang pejabat moneter, Pemerintah tak punya pilihan selain menunda masa jatuh tempo KLBI-nya BBPC itu. Kalau benar, berarti BPPC tidak akan menerima KLBI baru. "Sebelum pinjaman tersebut dilunasi, BI tidak akan memberikan pinjaman lagi," ujarnya. Padahal, untuk tahun anggaran 1992/1993, Pemerintah akan menambah KLBI sekitar Rp 1,25 trilyun. Angka ini merupakan selisih rencana tambahan KLBI Rp 3,5 trilyun dikurangi KLBI yang jatuh tempo, yang jumlahnya Rp 2,25 trilyun. Terlepas dari KUD yang tidak kebagian KLBI, nasib BBD dan BRI juga tidak lebih baik. Dengan macetnya KLBI di BPPC, Rp 190 milyar uang milik BBD dan BRI kini berubah menjadi piutang jangka panjang. Dalam situasi uang ketat seperti sekarang, hal ini akan mengganggu likuiditas BBD dan BRI. Dan juga menambah beban biaya uang. Masalahnya kini, kapan BPPC bisa mengembalikan pinjaman tersebut. Tidak pada tahun ini, agaknya. Mungkin baru dua atau tiga tahun lagi. Sebab, untuk menyangga panen cengkeh tahun 1992 yang diperkirakan 170 ribu ton, BPPC masih memerlukan dana Rp 1,7 trilyun. Meskipun kreditnya terancam macet, Direktur Utama BBD tampak tenang. "Soal perpanjangan kredit itu kan biasa. BPPC selama ini belum pernah menunggak pembayaran bunga," ujarnya. Surasa juga yakin, uang BBD di BPPC tidak akan menguap karena ada jaminannya, yakni cadangan cengkeh. Tapi kalau cengkeh itu dibakar, bagaimana? Bambang Aji, Iwan Qodar, dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus