BERDIRI di depan pintu rumahnya, Jumat malam pekan lalu, Ismijati Foead agak gugup. Sepintas saja, wanita setengah baya ini melirik fotokopi dokumen dana bantuan presiden (banpres) yang disodorkan wartawan TEMPO. Dia tidak mau memberikan komentar apakah laporan penggunaan dana banpres di era Presiden Abdurrahman Wahid itu asli atau palsu. ”Yang pasti, laporan dari saya tidak terpisah begitu, tapi mencakup semua periode,” ujarnya. Kepala Biro Pengelolaan Bantuan Presiden itu lalu buru-buru masuk rumahnya, yang cukup asri, di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.
Nama Ismijati akhir-akhir ini melejit seiring dengan beredarnya fotokopi laporan dana banpres tadi di gedung parlemen Senayan pekan lalu. Dokumen itu segera menyedot perhatian masyarakat karena soal banpres tengah menjadi sorotan. Ini berkaitan dengan penggunaan dana itu oleh Presiden Megawati sebesar Rp 30 miliar untuk perbaikan asrama TNI/Polri beberapa waktu silam. Sejumlah politisi di Senayan telah bersiap menggunakan hak interpelasi untuk menyidik kasus itu.
Tapi laporan Ismijati itu memang cuma sepenggal. Penggunaan dana banpres di era Megawati tidak disentuh. Laporan itu hanya meliputi periode Februari-Agustus 2001, ujung masa Presiden Abdurrahman. Setebal 17 halaman, data keuangan yang diteken oleh Ismijati itu meliputi mutasi rekening, neraca, dan rincian pengeluaran dana banpres. Tercatat pada 31 Januari 2001 jumlah dana banpres yang ada Rp 314 miliar plus US$ 10,5 juta. Pengeluaran sampai Agustus 2001 sebesar Rp 25 miliar plus US$ 502 ribu. Karena ada pemasukan, termasuk dari bunga deposito, jumlahnya pada 31 Agustus 2001 malah bertambah sedikit, menjadi Rp 318 miliar plus US$ 10,5 juta.
Pengeluaran dana banpres di era Presiden Abdurrahman dilakukan sebanyak 119 kali, disalurkan ke yayasan-yaya-san, perorangan, ataupun buat ongkos operasional Sekretariat Negara sendiri. Jumlahnya pun bervariasi, dari puluhan juta sampai puluhan miliar. Selain berbagai bantuan buat pembangunan masjid dan panti asuhan di berbagai daerah, tercatat juga mantan wakil presiden Sudharmono pernah mendapatkan bantuan Rp 16 juta.
Dari laporan itu, tampak juga orang-orang sekretariat presiden ikut mencicipinya. Mereka mengambil dana banpres sebesar Rp 2,4 miliar untuk membeli 18 unit mobil Kijang operasional. Selain itu, setiap bulan sekretariat kepresidenan mengambil antara Rp 150 juta dan Rp 200 juta buat makan siang karyawannya.
Dokumen Ismijati tampaknya sengaja disebar di ruang wartawan di Senayan saat anggota parlemen sedang reses. Para wartawan gampang sekali mendapatkannya, semudah memperoleh pernyataan pers. ”Ini amat tidak biasa. Dokumen penting lazimnya tidak di-tabur begitu saja, tapi cuma diberikan ke beberapa wartawan dari media berpengaruh,” ujar seorang jurnalis yang sehari-hari meliput di DPR.
Pesan yang akan disampaikan lewat dokumen tersebut amat jelas: di era Presiden Abdurrahman Wahid pun terjadi penghamburan dana warisan Orde Baru itu. ”Kalau kasus asrama TNI/Polri disorot, penggunaan dana di masa Gus Dur pun harus dipersoalkan. Kira-kira begitu pesannya,” kata Hakam Naja, politisi Partai Amanat Nasional.
Penggunaan dana banpres, baik di era Abdurrahman maupun Megawati, memang bisa dipersoalkan. Sebelumnya, pada 1999, Presiden Habibie telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 9 yang menginstruksikan agar semua dana nonbujeter di-setor ke Menteri Keuangan. Dengan kata lain, tidak boleh lagi ada penggunaan dana di luar anggaran.
Munculnya dokumen itu bisa membuat persoalan banpres melebar. Karena itulah Djamal Doa, anggota DPR dari PPP yang memprakarsai usul pengajuan interpelasi parlemen untuk kasus asrama, merasa tertohok. ”Ada kelompok yang menginginkan agar usulan interpelasi itu terganjal,” katanya.
Lalu siapa yang menebar dokumen itu? Ismijati pun tidak tahu. Dia cuma menegaskan bahwa semua laporan soal penggunaan dana banpres sudah ia serahkan ke Sekretariat Negara. Tapi Bambang Sutanto, pejabat Sekretariat Negara yang biasa menangani banpres, juga mengaku tidak tahu-menahu. ”Saya cuma menangani sampai 1999. Agar jelas, sebaiknya tunggu keterangan Menteri-Sekretaris Negara (Bambang Kesowo),” ujar Sutanto.
Karena penjelasan Bambang Kesowo tidak kunjung datang, berkembanglah prasangka lain. Ada kemungkinan dokumen itu disebar oleh orang-orang PDIP yang mempunyai akses ke Sekretariat Negara. Partai inilah yang berkepentingan agar kasus asrama tidak bergulir. Tapi, semudah melemparnya, kecurigaan ini juga gampang dielakkan. ”Kalaupun kami berkepentingan,” kata Latifa, Wakil Ketua Fraksi PDIP di parlemen, ”kami tidak menempuh cara-cara seperti itu.”
Memang, banyak cara untuk mengganjal bergulirnya kasus asrama. Tapi, sejauh ini, pembocoran dokumen Ismijati baru berhasil melambungkan nama Ismijati sendiri. Selain dari Bambang Kesowo, pen-jelasan dari Megawati sendiri tetap dinanti-nanti.
Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini