Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dana Gelap di Istana Negara

Penggunaan dana bantuan presiden senilai Rp 140 miliar masih menjadi misteri. Bisakah Sekretaris Negara Bambang Kesowo menjelaskannya?

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebiasaan buruk zaman Soeharto tidak mudah mati. Di era reformasi sekarang, penggudana rakyat secara gelap—tidak transparan—masih terus berlangsung. Dugaan penyelewengan dana non-neraca Bulog telah ikut men-jatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid sekaligus menghantui Ketua DPR Akbar Tandjung dari Partai Golkar kini. Tapi belum semua reda, dugaan serupa muncul dan menohok langsung Istana Negara, tempat Presiden Megawati Sukarnoputri dari PDI Perjuangan kini berkantor. Kali ini menyangkut dugaan penyelewengan dana bantuan presiden (banpres)—dana non-neraca juga. Ketika Presiden Megawati melawat ke luar negeri tempo hari, soal ini telah menjadi bahan pergunjingan: layakkah Presiden mengeluarkan dana Rp 30 miliar untuk pem-bangunan asrama TNI/Polri? Setelah Presiden pulang, soal itu tidak reda, bahkan menjadi-jadi. Tak hanya menyangkut dana asrama, politisi di parlemen kini mempertanyakan semua penggunaan dana banpres, dan bahkan menggugat keabsahan hukum penyimpanan dana itu di Istana Negara. Kecurigaan muncul mengingat jumlah dana itu sekarang, seperti dilaporkan Sekretaris Negara Bambang Kesowo beberapa waktu lalu, hanya tinggal Rp 330 miliar. Padahal, ketika Megawati menggantikan Abdurrahman Wahid, kas banpres masih Rp 507 miliar (lihat tabel). Di luar itu, Bambang, yang sebelumnya menjadi Sekretaris Wakil Presiden, juga diperkirakan masih menyimpan Rp 100 miliar dana yang nasibnya belum jelas. Februari lalu, ketika Presiden Megawati mengumumkan bantuan pembangunan asrama, banyak orang memujinya sebagai tindakan yang peka terhadap nasib para prajurit. Tapi, ketika anggota Panitia Anggaran DPR RI Djamal Doa mempertanyakan asal-muasal bantuan tersebut, barulah banyak pihak teringat pada dana banpres itu. Dana banpres ternyata masih ada di Istana Negara dan belum diserahkan ke Departemen Keuangan sebagaimana dana-dana nonbujeter yang lain. Yang lebih mengejutkan, setelah dicocok-cocokkan, jumlahnya ternyata berkurang banyak sekali. Kalaupun bantuan asrama senilai Rp 30 miliar itu dimasukkan, tetap saja bolongnya sangat besar, yakni Rp 140 miliar. Masalah kemudian bergeser lebih luas, dari semula mengapa dana banpres belum disetor ke Departemen Keuangan menjadi siapa yang memakai dana banpres sehingga berkurang begitu besar. Dan tiba-tiba muncul dokumen misterius itu. Di ruang wartawan Gedung DPR Senayan pekan lalu, beredar sebundel fotokopi 17 halaman tebalnya. Dokumen yang tampaknya sengaja dibocorkan kepada wartawan itu mengarahkan tuduhan kepada bekas presiden Abdurrahman Wahid dan para pembantu dekatnya. Salah alamat. Berisi rincian penggunaan dana banpres semasa Presiden Abdurrahman, fotokopi yang kemudian dikenal sebagai dokumen Ismijati itu—di situ tertera tanda tangan Ismijati Foead, Kepala Biro Pengelolaan Banpres—justru membersihkan nama Abdurrahman dan para pembantunya. Sebab, di luar pengeluaran Rp 2,4 miliar untuk pembelian 18 unit Toyota Kijang, hampir tak ada pengeluaran yang aneh-aneh. Total jenderal, pengeluaran dana banpres selama kurun waktu Februari-Agustus 2001 hanya Rp 20 miliar. Mantan presiden Abdurrahman sendiri memang telah menolak mentah tudingan bahwa dialah yang menghabiskan dana banpres. Dia juga punya senjata penangkis, yakni Abdul Mujib Manan. Sebagai orang terakhir di zaman Abdurrahman yang memegang kas banpres, mantan Sekretaris Presiden ini mengungkapkan bahwa pada 18 Agustus 2002 dia sudah menyerahkan dana banpres sebesar Rp 507 miliar kepada Sekretaris Presiden Megawati, Kemal Munawar. Ini dilakukan bersamaan dengan pergantian pe-jabat-pejabat Setneg. Serah terima ini dikukuhkan dalam dua lembar surat di atas meterai, satu dipegang Mujib, satu lagi di tangan Kemal. Itulah data terakhir banpres sebelum Abdurrahman Wahid kembali menjadi orang biasa. Dari sini sebetulnya sudah jelas bahwa susutnya dana itu terjadi pada zaman Megawati. Sayangnya, tak satu pun pe-jabat di lingkungan Sekretariat Negara bersedia memberikan penjelasan mengenai penggunaan dana banpres sebesar Rp 170 miliar hanya dalam kurun sembilan bulan pemerintahan Megawati. Hanya bantuan senilai Rp 30 miliar untuk asrama prajurit itu yang terungkap. Itu pun karena Megawati memang menyebut dalam pidatonya ketika menyerahkan bantuan. Dan bom lain juga dilontarkan ke Istana Negara oleh bekas Sekretaris Negara Djohan Effendi. Menurut Djohan, atas permintaan Wakil Presiden Megawati, Abdurrahman mengalihkan dana banpres ke kantor wapres untuk dipakai sebagai dana cadangan. Berkali-kali, kata Djohan, Bambang Kesowo mendesak pengalihan dana itu. “Gus Dur akhirnya setuju dan kita pindahkan Rp 100 miliar ke kantor Wapres pada akhir tahun 2000,” kata Djohan. Setelah itu, Djohan sendiri tidak mengurus dana banpres, yang pengelolaannya sejak Februari 2001 dialihkan kepada Mujib. Kepada wartawan TEMPO Adi Mawardi, Mujib mengonfirmasi bahwa Rp 100 miliar itu di luar dana yang diserahterimakan ketika Abdurrahman keluar dari Istana. Dengan kata lain, total uang yang harus dipertanggungjawabkan kantor Megawati, baik sebagai wapres maupun presiden, berjumlah Rp 607 miliar. Dana Wapres sebesar Rp 100 miliar itu pun tak jelas, baik jumlah maupun siapa yang mendapat kucuran. Menurut Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, dana Rp 100 miliar itu masih di kantor Wapres (Hamzah Haz) dan tak mengikuti perginya Bambang Kesowo. Tapi Sutjipto mengaku tak tahu persis soal dana tersebut. Yang pasti, berbagai masalah ini menunjukkan betapa dana banpres kembali penuh misteri seperti yang terjadi pada zaman Soeharto dan B.J. Habibie. Sampai 1999, dana banpres tak pernah diaudit, sehingga penerimaan dan penggunaannya tak pernah diketahui publik. Baru pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid, semasa Bondan Gunawan menjadi Sekretaris Negara, BPK bisa masuk mengaudit dana itu, termasuk peng-gunaannya di masa silam. Hasilnya sudah bisa diduga: banyak penyelewengan dilakukan dan sebagian dana banpres ternyata dipakai oleh kalangan dekat Soeharto. Dari dana yang diperiksa sebesar Rp 1,6 triliun, yang diselewengkan mencapai Rp 670 miliar (41,8 persen). Penyelewengan ini konsekuensi logis dari ketertutupan dalam pengelolaan dana banpres. Di masa lampau, dana banpres yang dikumpulkan sejak 1970-an memang sangat misterius. Bisa dibilang hanya beberapa orang yang tahu persis soal ini, yakni Presiden, Sekretaris Negara, dan Sekretaris Pengendalian Operasi dan Pembangunan (Sesdalopbang). Tak mengherankan jika penyimpangan tumbuh subur. Salah satu yang terbongkar dalam audit BPK adalah penyimpanan dana banpres dalam rekening atas nama pribadi Bambang Sutanto, saat itu menjadi Asisten Umum Mensesneg. Dari 22 rekening giro banpres sebesar Rp 120 miliar dan US$ 4 juta, 15 rekening atas nama Bambang Sutanto (Rp 60,5 miliar dan US$ 4 juta). Sedangkan dari deposito senilai Rp 271,7 miliar dan US$ 10 juta, Rp 143,5 miliar di antaranya atas nama Bambang Sutanto. Ketika pemerintahan berpindah ke Abdurrahman Wahid pada Oktober 1999, pengelolaan dana banpres masih tetap misterius. Seorang pejabat Setneg mengungkapkan bahwa Sekretaris Presiden Ratih Hardjono, yang ketika itu mendapat mandat untuk mengurus dana banpres, tak pernah bisa mendapatkan angka yang pasti dari Bambang Sutanto. Tiap hari ditagih, tiap kali pula Bambang menyatakan belum siap. “Sampai mengundurkan diri, saya tidak pernah tahu dana banpres,” kata Ratih. Rekening atas nama pribadi itu pun baru bisa dipindahkan ke rekening Setneg pada zaman Djohan, masih di era Abdurrahman. Dan kini, kembali muncul indikasi bahwa ada sebagian dana banpres tak jelas penggunaannya. Semua ini buntut dari kebandelan pemerintah yang tak kunjung menyerahkan dana banpres ke Departemen Keuangan. Padahal, Presiden B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid sudah mengeluarkan keputusan yang meminta agar seluruh dana non-bujeter dimasukkan ke kas negara. Oleh Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah memang diwajibkan membereskan sejumlah rekening non-neraca yang tersebar di departemen-departemen, seperti dana reboisasi, sebagai bagian dari transparansi dan pelaksanaan pemerintahan yang bersih. Tapi dua keppres ini tak digubris. Menurut Bondan dan Djohan, sebetulnya mereka sudah berniat memasukkan dana ini ke Departemen Keuangan. Tapi, sampai keduanya berhenti, dana banpres masih tetap bercokol di Istana Negara. Bahkan sampai kini. Memang, soal banpres masih menjadi perdebatan, apakah sama saja dengan dana nonbujeter di departemen-departemen atau berbeda. Yang jelas, banpres punya dasar hukum sendiri, yakni Keppres No. 4/1989 tentang pembentukan dana banpres, yang sampai kini belum dicabut. Namun, kata Paskah Suzetta dari Panitia Anggaran DPR RI, parlemen telah dua kali membuat komitmen dengan pemerintah mengenai pentingnya memasukkan dana nonbujeter seperti banpres dan dana lain yang terparkir di beberapa departemen ke APBN tahun ini. “Saya ingat,” kata Suzetta, “komitmen pertama, sekitar September 2001 lalu, saat membahas APBN Tambahan dan Perubahan 2001. Lalu pada Desember 2001, ketika membahas RAPBN 2002, seluruh dana nonbujeter akan dimasukkan dalam pos penerimaan negara bukan pajak tahun anggaran 2002. Jadi, kalau ternyata Presiden masih memakai dana Banpres, ya, itu pelanggaran. Kita akan mempertanyakan.” Bambang Kesowo sendiri dalam wawancara dengan TEMPO pernah mengungkapkan bahwa dana banpres sudah diserahkan ke Departemen Keuangan pada Januari lalu. Jumlahnya Rp 330 miliar. Tapi hal ini dibantah oleh Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Anshari Ritonga. “Sampai kini dana banpres belum dipindahkan,” katanya. Jadi, pekerjaan rumah Bambang Ke-sowo akan sangat banyak, mulai dari menjawab pertanyaan soal penggunaan Rp 140 miliar, dana taktis wapres sebesar Rp 100 miliar, dan keharusan menyerahkan dana banpres ke Lapangan Banteng—markas Departemen Keuangan. Sedianya, Bambang hendak menjawab pertanyaan itu Kamis dua pekan lalu. Tapi ternyata janji itu dibatalkan tiba-tiba. Pekan lalu Kesowo juga menjanjikan wawancara. Lagi-lagi, janji itu dibatalkan karena Kesowo mesti terbang ke Singapura. Jadi, sampai pekan lalu, misteri dana banpres masih tetap gelap. M. Taufiqurohman, Adi Prasetya, Dwi Arjanto, Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus