Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Akurasi data masih menghambat penyaluran bansos.
BPK menemukan empat masalah signifikan dalam penyaluran bansos pada 2022.
Kementerian Sosial menyatakan sudah membersihkan 65 juta data.
JAKARTA – Persoalan akurasi data dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) masih menjadi tantangan utama Kementerian Sosial setiap tahun. Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2021, contohnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Sembako/Bantuan Pangan Non-Tunai, serta Bantuan Sosial Tunai tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 6,93 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan yang sama masih terlihat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Sosial Penanganan Covid-19 Lanjutan 2022 hingga triwulan III pada Kementerian Sosial serta instansi terkait di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Nominal penyimpangan jauh menyusut, tapi kualitas data masih menjadi persoalan utama dalam upaya penyaluran bansos secara efektif dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan audit tersebut, lembaga auditor negara mengungkap 21 masalah, dari perencanaan, penyaluran, pelaporan, hingga monitoring dan evaluasi penyaluran bansos Covid-19. Empat masalah di antaranya dinilai signifikan. Dalam penanganan Covid-19, Kementerian Sosial menjalankan program perlindungan sosial berupa bansos PKH, Program Sembako, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng, dan BLT Bahan Bakar Minyak.
Baca juga: Banjir Subsidi di Tahun Politik
Sudah Terealisasi 71,82 Persen
Berdasarkan laporan BPK, pada 2022, Direktorat Jenderal Jaminan Sosial Kementerian Sosial mengalokasikan bansos PKH untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan nilai anggaran sebesar Rp 28,7 triliun. Hingga 30 September 2022, nilai bansos PKH telah terealisasi sebesar Rp 21,35 triliun atau sekitar 75 persen dari target yang ditetapkan.
Berikutnya adalah Program Sembako dengan kuota penerima sebanyak 18,8 juta KPM, dengan nilai bansos Rp 200 ribu per KPM per bulan. BLT Minyak Goreng ditujukan bagi 20,41 juta KPM dengan nilai Rp 100 ribu per bulan per KPM untuk periode penyaluran April-Juni. Sedangkan BLT BBM diberikan pada September-Desember 2022 sebesar Rp 150 ribu per KPM per bulan.
Secara keseluruhan, Kementerian Sosial mendapat alokasi anggaran belanja bansos penanganan Covid-19 sepanjang 2022 sebesar Rp 92,23 triliun, dengan realisasi hingga triwulan III 2022 sebesar Rp 66,24 triliun atau 71,82 persen. Realisasi paling besar terdapat pada bansos BLT Minyak Goreng sebesar 99,69 persen dan realisasi paling rendah pada BLT BBM sebesar 50 persen.
Warga mencairkan Bantuan Sosial Tunai di Kantor Pos Bandung, Jawa Barat, 2022. TEMPO/Prima Mulia
BPK membagi pemeriksaan dalam empat aspek, yakni perencanaan, penyaluran, pertanggungjawaban dan pelaporan, serta monitoring dan evaluasi. Pada aspek perencanaan, BPK menemukan bahwa penentuan kuota, jumlah KPM, lokasi, serta anggaran PKH dan Program Sembako yang dilakukan Kementerian Sosial belum memadai.
Hal itu terutama disebabkan oleh minimnya keterlibatan dinas sosial provinsi/kota/kabupaten dalam menentukan kuota dan jumlah KPM serta sebaran lokasinya. Menurut BPK, Kementerian Sosial tidak melibatkan dinas sosial dalam penentuan kuota KPK. Dinas sosial, kata lembaga itu, hanya dilibatkan dalam hal koordinasi perencanaan dan pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Dinas sosial terlibat dalam proses usulan data serta verifikasi dan validasi, pengendalian atau penjaminan kualitas, penetapan, serta penggunaan,” tulis BPK, sebagaimana dikutip pada Ahad, 9 Juli 2023.
Baca juga: Tersebab Bansos Salah Sasaran
Temuan BPK ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Sosial Jawa Barat, Dodo Suhendar. Ia mengatakan Kementerian Sosial tidak melibatkan dinas sosial setempat dalam hal penyaluran bansos. “Pemerintah daerah hanya menyampaikan usulan calon KPM PKH yang telah divalidasi atau hasil verifikasi dan pemutakhiran data melalui SIKS-NG (Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation),” kata dia kepada Tempo, Sabtu lalu.
Dodo berujar, data yang disodorkan pemerintah daerah sebatas usulan. Keputusan akhir ada pada Kementerian Sosial sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 Tahun 2018. Ia menuturkan warga bisa mengusulkan dirinya menjadi calon penerima bansos dengan mendaftarkan diri di kantor desa atau kelurahan, atau melalui usulan RT/RW.
Ia mengimbuhkan, tidak dilibatkannya pemerintah daerah dalam penyaluran bansos menyulitkan petugas untuk menindaklanjuti keluhan warga. “Ketika ada keluhan, kami tidak bisa tindak lanjuti karena data BNBA (by name by address) sasaran di Pusdatin Kemensos tidak bisa kami akses. Biasanya keluhan diteruskan ke Pusdatin,” kata dia.
Empat Masalah Bernilai Rp 350 Miliar
Warga mencairkan Bantuan Sosial Tunai di Kantor Pos Bandung, Jawa Barat, 2022. TEMPO/Prima Mulia
Selanjutnya, pada aspek penyaluran, auditor menemukan empat masalah signifikan yang bernilai total Rp 350 miliar. Pertama, terdapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi serta KPM tidak bertransaksi bansos PKH dan Program Sembako dengan nilai saldo yang belum ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 165,03 miliar.
Kegagalan pendistribusian KKS dan banyaknya KPM yang tidak mencairkan bantuannya, menurut BPK, membuat penyaluran bansos PKH dan Program Sembako tidak optimal. Tak hanya itu, terjadi kekurangan penerimaan negara dari nilai saldo bansos PKH dan Program Sembako yang belum ditindaklanjuti sebesar Rp 165,03 miliar. Dalam penjelasannya kepada BPK, Kementerian Sosial menyatakan telah menyetorkan dana bansos PKH kepada negara sebesar Rp 76,4 miliar dan sedang menindaklanjuti sisanya.
Masalah signifikan kedua adalah adanya penetapan dan penyaluran bansos untuk Program Bantuan Sembako yang tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 88,03 miliar. Beberapa penyebabnya ialah terdapat 14.253 KPM yang terindikasi merupakan aparatur sipil negara (ASN) dan 30.837 KPM yang terindikasi merupakan tenaga kerja dengan upah di atas UMP/UMK. "Masalah tersebut menyebabkan penyaluran bansos Program Sembako tidak tepat sasaran."
Masalah ketiga adalah penetapan dan penyaluran bansos PKH tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 52,76 miliar. Masalah ini, antara lain, dipicu oleh masih masuknya KPM PKH bermasalah dengan status KKS tidak terdistribusi pada tahun sebelumnya sebagai KPM PKH, serta KPM PKH yang terindikasi ASN. Adapun masalah keempat adalah penetapan dan penyaluran BLT Minyak Goreng serta BBM sebesar Rp 44,44 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan dengan persoalan yang kurang-lebih sama.
Baca juga: Jenis-jenis Perlindungan Sosial di Indonesia
Sederet penyebab kesemrawutan data penyaluran bansos itu pun mengemuka. BPK menilai penyebab utamanya adalah validasi data yang kurang cermat, DTKS yang belum mumpuni dan mutakhir, tidak adanya prosedur operasional standar yang mengatur mekanisme umpan balik atau koreksi data penyaluran di lingkup internal Kementerian Sosial, hingga tidak adanya mekanisme kontrol berupa penyampaian data penyaluran KPM penerima bansos yang ditetapkan kepada dinas sosial kabupaten/kota.
Atas berbagai temuan tersebut, Kementerian Sosial pun memberikan penjelasan kepada BPK, seperti adanya error pada data dalam mendeteksi KPM yang sesuai dengan kriteria serta keterlambatan pengiriman pelaporan dari pihak penyalur bansos, dalam hal ini PT Pos Indonesia (Persero), yang membuat Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial masih menggunakan data periode sebelumnya sebagai data salur.
Berikutnya, data gagal salur itu akan diteruskan kepada Pusat Data dan Informasi untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan. Sementara itu, BPK di antaranya merekomendasikan kepada Kementerian Sosial untuk meningkatkan koordinasi internal, serta kepada dinas sosial kabupaten/kota untuk memverifikasi dan memvalidasi kelayakan atas data KPM yang terindikasi bermasalah.
Membersihkan 65 Juta Data
Menanggapi hasil pemeriksaan BPK tersebut, Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media Massa, Don Rozano Sigit Prakoeswa, menyebutkan pemerintah daerah senantiasa dilibatkan dalam upaya perbaikan DTKS. Sebagai contoh, sejak April 2021 hingga Juni 2023, sebanyak 65.228.196 data dibersihkan, dengan jumlah data yang dikoreksi bersama sebanyak 40.255.866 data.
“Memang pemerintah daerah hanya mengusulkan siapa saja yang masuk DTKS. Sementara untuk kuota disesuaikan dengan anggaran dan RPJMN,” ucap Don kepada Tempo. Ia menambahkan, usulan yang masuk kemudian diproses kembali oleh Kementerian Sosial. "Untuk yang tidak bisa diproses akan keluar alasannya, misalnya apakah karena KTP nonaktif, tidak layak, data tidak lengkap, atau telah menerima bansos lain.”
Dia mengungkapkan, dalam proses penentuan kuota, Kementerian Sosial juga menyesuaikan dengan proporsi angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik, pemerataan atau distribusi berdasarkan jumlah penduduk miskin di masing-masing daerah, serta status penerima bansos existing. DTKS pun senantiasa menjadi acuan basis data.
“Ihwal adanya temuan penerima bansos yang tidak layak, seharusnya daerah yang menidaklayakkan itu, melakukan update kepada kami, mengusulkan mana yang masuk dan mana yang dihapus,” tuturnya. Termasuk mengusulkan penidaklayakan penerima bansos uang sudah menjadi ASN. Sebab, ujar dia, proses pemadanan data DTKS dengan data Badan Kepegawaian Negara tidak dilakukan setiap hari.
Perbedaan Tingkat Kemiskinan
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali sistem dan mekanisme pembaruan DTKS yang lebih akurat dan mumpuni berdasarkan sumber data yang valid dan kredibel. “Penting untuk melibatkan pemerintah daerah. Begitu juga pengetatan transparansi, monitoring, dan evaluasi penyaluran bansos supaya pengusulan dan penetapan calon penerima bansos tidak asal-asalan,” ucapnya.
Berikutnya, persoalan sebaran penerima bansos juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri sebagai salah satu titik kritis dalam penyaluran bansos. “Selama ini anggaran dibagikan secara rata nominalnya kepada penduduk yang membutuhkan di tiap daerah. Padahal tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan antara satu dan yang lain itu berbeda,” kata Yusuf.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, berpendapat, pada praktiknya, implementasi kebijakan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dilakukan menggunakan basis data kemiskinan mikro, yang berbeda dengan angka kemiskinan makro dari BPS.
“DTKS berisi data sekitar 35 persen keluarga termiskin. Angka ini kurang-lebih setara dengan 95 juta penduduk, atau sekitar empat kali lipat dari angka kemiskinan resmi BPS,” ucapnya.
Menurut dia, pada kenyataannya, jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bansos dan dientaskan dari kemiskinan sebesar 35 persen atau jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan resmi Indonesia yang berada di kisaran 10 persen. Apalagi kemiskinan ekstrem yang berada di kisaran 2 persen.
“Data yang ada harus mampu menggambarkan realitas kemiskinan itu agar bisa benar-benar melindungi penduduk miskin yang berada di lapis terbawah. Jangan dilakukan asal-asalan hanya untuk mengejar target penyaluran, sehingga kesannya sekadar bagi-bagi uang,” kata Yusuf.
VINDRY FLORENTIN | GHOIDA RAHMAH | AHMAD FIKRI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo