Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ballroom Hotel Sultan pada Jumat malam pekan lalu….
Empat ratus pasang mata terisap ke atas podium. Jenderal (Purnawirawan) Agum Gumelar tegak di sana, tersenyum ke seantero ruangan. Lalu dia menuturkan beberapa episode puncak hidupnya. Suaranya empuk, memudahkan pendengar membayang-bayangkan tiga bintang yang dipetiknya dari dunia militer. Di latar birokrasi, dia pernah mengisi kursi eksekutif dua kabinet.
Hingga tahun 2007, Agum, kini 61 tahun, memimpin Komite Olahraga Nasional Indonesia. Pernikahannya dengan Linda Amaliasari, putri mantan Menteri Pariwisata dan Postel Achmad Tahir, membuahkan sepasang putra-putri, Khaseli dan Ami. Kariernya sukses, keluarganya makmur. Dan dia bisa leyeh-leyeh di masa pensiun.
Keliru! Agum tak sudi termenung di hari tua. Justru ia tengah mengincar jabatan yang bisa membikin iri anggota kabinet: Gubernur DKI Jakarta Raya (Jaya). Dan, siapa yang tidak? Gubernur Jakarta adalah janji tentang kekuasaan—inilah etalase Republik Indonesia dengan 11 juta lebih penduduk. Duitnya menggiurkan. Tunjangan jabatannya bisa menembus Rp 13 miliar per tahun.
Ruangan Ballroom tiba-tiba pecah oleh tepuk tangan hadirin. Ada pengurus Partai Demokrat wilayah DKI Jakarta. Ada drummer Jelly Tobing yang didatangkan untuk menggebuk drum. Ada penyanyi dangdut yang ditugasi menghangatkan malam. Semuanya berkeplok tatkala Agum berkata: ”Saya tahu Jakarta dari sajadah sampai haram jadahnya.”
Seorang pengurus Partai Demokrat menanyakan komitmennya jika terpilih. ”Tentu saya tidak akan mengecewakan Partai Demokrat. Silakan artikan dalam arti luas, ya,” sahutnya. Keplok riuh terdengar kembali. Agum turun panggung. Pesta di Sultan—dulu Hotel Hilton—usai. Tapi ”pesta” merebut DKI-1 alias Gubernur Jakarta Raya sesungguhnya baru dimulai….
Pendaftaran resmi calon Gubernur Jakarta akan dibuka lima bulan lagi. Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta bakal menampung para peminat yang ingin masuk bursa. Pemilihan, jika tak ada aral, dijadwalkan pada Agustus 2007. Untuk pertama kalinya warga DKI Jaya akan memilih pemimpinnya secara langsung.
Bursa diramalkan bakal ramai, walau hingga laporan ini diturunkan baru enam sosok yang muncul ke permukaan secara tegas maupun malu-malu. Agum Gumelar. Sarwono Kusumaatmadja, mantan menteri. Keduanya ”bersosialisasi” melalui Partai Demokrat.
Ekonom Faisal Basri serta Letnan Jenderal (Purn.) Bibit Waluyo mendaftar lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ada Komisaris Jenderal (Pol.) Adang Daradjatun, kini Wakil Kepala Polisi RI, yang berpaut dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Lalu, Fauzi Bowo—doktor lulusan Jerman, Wakil Gubernur DKI Jaya.
Kampanye resmi belum dimulai. Tapi bukankah selalu ada jalan ke kursi gubernur? Maka, aneka atraksi untuk memikat hati warga Ibu Kota mulai digelar para calon. Dari kompetisi sepak bola hingga lomba catur di berbagai kampung. Poster-poster berpesan menyucikan Jakarta dari narkoba merangsek hingga ke gang-gang (lihat Ribuan Poster, Jutaan Hadiah).
Tentu saja tak ada yang mengaku dengan tegas bahwa ini kampanye awal. Fauzi Bowo, misalnya. Penggagas poster antinarkoba itu bilang: ”Itu kan salah satu tugas fungsional saya.” Dia Ketua Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta.
Tapi Bibit Waluyo berani mengakui bahwa lomba memancing—dengan sejumlah hadiah—yang dibikinnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Agustus lalu, berkaitan dengan soal pencalonan. ”Mau disebut mau curi start kampanye, ya silakan. Mau didiskualifikasi, ya silakan,” ujarnya dengan santai kepada Tempo.
Kampanye tentu perlu uang. Uang bahkan diperlukan sejak pagi-pagi saat si calon mulai berlirikan dengan partai. Santer terdengar, fulus untuk ”tanda jadi” antara calon dan partai bisa menumbuk angka puluhan miliar rupiah. Adang, misalnya, disebut-sebut menghantarkan angpau senilai Rp 20 miliar ke kas PKS sebagai mahar (lihat Mahar Dipancang, Abang Dipinang).
Dalam perbincangan dengan wartawan mingguan ini, Adang maupun Ketua Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta, Triwisaksana, sama-sama membantah perihal itu. ”Tidak ada. Kami hanya punya idealisme yang sama,” kata Adang. Lalu Triwisaksana, ”Akad belum terjadi. Jadi bagaimana bisa ada mahar?”
Seorang politisi yang paham betul peta pemilihan Gubernur Jakarta membisikkan, fulus adalah tulang punggung. Karena selain mahar ke partai, seluruh biaya kampanye juga mesti ditanggung oleh si calon. ”Partai kan harus menggerakkan mesin politiknya,” ujarnya.
Uang sebesar itu, si politisi tadi menambahkan sembari terbahak, belum seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan menjadi gubernur. Apalagi di Jakarta. Wah, ini dia. Coba kita lihat.
Gubernur Jakarta adalah sosok yang paling banyak mendapat sorotan media dibanding koleganya se-Indonesia. Jabatan ini bisa menjadi gerbang ke puncak klasemen birokrasi tinggi: kursi presiden. Bila sanggup menata Jakarta—salah satu kota paling macet dan polutif di dunia—dia cukup berwibawa untuk menjajal perjalanan ke kursi presiden.
Dia memegang kunci gerbang Ibu Kota, tempat pusat pemerintahan negara berkedudukan. Lobi dan jaringannya paling luas dibanding gubernur lain. Secara tak langsung, dia menjadi tuan rumah kunjungan setiap pemimpin negeri-negeri asing.
Soal uang? Gubernur DKI Jaya adalah kursi yang subur. Gaji resmi gubernur hanya Rp 3 juta—Rp 1 juta lebih tinggi dari gaji sopir busway. Angka ini terpatok dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2000. Yang membedakan derajat kemakmurannya dengan sopir busway adalah tunjangan gubernur. Resmi tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109, total tunjangan bisa mencapai Rp 13 miliar per tahun.
Dana sebesar ini diperuntukkan bagi rupa-rupa hal, mulai dari ongkos untuk pakaian dinas, pengobatan, berlangganan koran, hingga biaya listrik. Untuk penyusunan naskah pidato dan jadwal acara saja anggarannya lebih dari Rp 1 miliar (lihat infografik, Dari Rambut Sampai Kaki).
Gubernur juga mendapat biaya penunjang operasional yang angkanya bergantung pada kas daerah. Umpama, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta tahun 2006 besarnya Rp 17,99 triliun. Nah, dari angka itu jatah biaya penunjang operasional gubernur mencapai Rp 10 miliar setiap tahun. Lalu ada ”uang pungut”. Jangan terburu curiga. Ini sah bin legal, sebuah hak yang diberikan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri kepada pimpinan pemerintah daerah.
Slamet Nurdin, anggota Komisi B DPR Daerah DKI Jakarta yang membawahkan perekonomian, menjelaskan saat ini Jakarta hanya mengambil 3,75 persen dari jatah maksimal lima persen dari pajak tahunan. Dan inilah pajak Jakarta pada 2005: Rp 10 triliun. ”Berarti ada Rp 375 miliar yang bisa dibagi-bagi di antara pimpinan pemerintah provinsi,” katanya. Soal berapa pembagiannya, ya, terserah Pak Gubernur. Lumayan….
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, lembaga swadaya pemerhati anggaran, menyelesaikan kajian APBD DKI Jakarta 2006 pada Agustus lalu. Menurut Arif Nur Alam, sekretaris jenderal lembaga ini, Gubernur Jakarta juga mendapat bagian dari perolehan pajak parkir, reklame, dan tempat hiburan di Ibu Kota.
Semua menyetor ke pemerintah daerah. ”Tapi tidak semuanya tercatat,” katanya. Arif yakin anggaran yang masuk ke kas daerah hanya 60 persen dari total setoran. Hah? Terus ke mana sisanya? ”Ini yang rawan disalahgunakan,” kata Arif.
Alhasil, kursi Gubernur DKI—tanpa penyalahgunaan apa pun—cukup empuk oleh fulus. Walau keenam calon yang diwawancarai Tempo tak satu pun mengaku menjadikan uang sebagai motif.
Adang Daradjatun, misalnya. Pekan lalu dia menerima Tempo di rumahnya yang megah di kawasan Cipete Raya, Jakarta Selatan. Beberapa kavling tanah, mobil mewah, dan rumah megah itu, menurut Adang, sebagian besar hasil usaha istrinya sebagai pengusaha.
Kekayaannya sebagai pejabat publik (data tahun 2002) yang tercatat di Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) adalah Rp 11,6 miliar (lihat infografik).
Dengan nilai harta yang ”cuma” Rp 11,6 miliar—data 2002—tentu sulit bagi Adang untuk mengisi mimpinya menjadi gubernur. Dengan catatan, itu tadi, bila partai-partai ternyata ”menagihkan” mahar bernilai puluhan miliar.
Tahun 2005, nama Adang sempat populer karena perihal uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ada 15 perwira polisi yang memiliki rekening tidak wajar. Kabar beredar, salah satu perwira adalah Adang dengan rekening sedikit di atas Rp 1 triliun.
Kabar itu tak pernah bisa dibuktikan. Dan bagi Adang, kabar itu adalah tudingan paling sadistis dalam hidupnya. ”Saya berani sumpah itu sama sekali tidak benar,” dia menegaskan. Dia juga menjelaskan, niatnya menjadi gubernur bukan demi uang. ”Uang bukan motivasi saya,” ujarnya kepada Tempo.
Satu hal, Adang menegaskan bahwa meskipun partai yang mengusungnya berbasis religiositas, dia akan mempertahankan fasilitas hiburan di Jakarta, sebagai kelengkapan ibu kota—minus perjudian.
Sikap Adang serupa dengan gagasan Agum Gumelar. Bagi Agum, pembangunan Jakarta membutuhkan investasi yang cukup besar. Nah, kedatangan para pemilik modal ke Jakarta tentu membutuhkan tempat-tempat hiburan. Dalam soal perjudian, dia masih membuka kesempatan dialog dengan masyarakat. Soal kesemrawutan Jakarta, menurut Agum, bersumber pada menyusutnya ruang-ruang publik dan taman-taman kota. Untuk itu, tata ruang Jakarta akan menjadi prioritas pembenahan dia.
Dari kalangan militer, masih ada Bibit Waluyo. Lulusan Akabri 1972 ini menilai Jakarta sebagai barometer atau miniatur Indonesia, sehingga harus dipimpin oleh seseorang yang punya komitmen utuh. ”Kalau nanti saya korupsi, gantung saja,” ujarnya dengan gagah.
Kita mengenal Sarwono Kusumaatmadja dan Faisal Basri—dua nama dari wilayah sipil. Keduanya kurang kaya dibanding para jenderal di atas. Suatu kondisi yang, lagi-lagi, tidak mudah karena—tanpa mahar ke partai sekalipun—mereka harus menyiapkan ongkos besar untuk kampanye resmi.
Faisal, anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), misalnya, mengaku kini hanya punya simpanan Rp 10,5 juta. Rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ia beli seharga Rp 2 miliar empat tahun lalu. ”Sebagian besar pinjaman superlunak dari seorang teman dan keluarga,” kata salah satu pendiri Partai Amanat Nasional ini.
Adapun Sarwono, dari awal sudah berterus-terang dia maju tanpa pundi-pundi uang. Saat berpidato di Hotel Sultan pada Jumat malam lalu—dalam acara yang sama dengan Agum—dia berkata: ”Kalau yang dimaksud kontribusi (ke Partai Demokrat) adalah berapa puluh miliar yang bisa disetor ke kas partai, silakan cari orang lain saja deh..!” kata Sarwono.
Di antara semua nama yang beredar, hanya Fauzi Bowo yang masih malu-malu. Wajar, karena dia harus mundur dari jabatannya saat ini jika mencalonkan diri. ”Saya belum bisa berkomentar karena belum resmi,” katanya.
Tetapi diam-diam Fauzi sudah gencar mempopulerkan diri. Hampir di semua penjuru Jakarta bisa ditemui billboard berisi pesan tentang bahaya narkoba. Di sampingnya terpampang foto Fauzi. Dia berkilah, sebagai Wakil Gubernur sekaligus Ketua Badan Narkotika Provinsi DKI Jakarta, sudah sepatutnya dia berperang melawan barang haram itu.
Masih terlalu pagi meramalkan pemenang. Tapi gelanggang pertarungan mulai panas. Saat berjumpa Fauzi Bowo, pekan lalu, Tempo menyampaikan ada yang melihat aksinya menebar ribuan poster antinarkoba ke seluruh Ibu Kota—sebagai kampanye lunak ke kantor DKI-1.
Jawab Fauzi: ”Mereka yang protes itu cuma dua, pengedar atau pemakai (narkoba).”
Astaga!
Agung Rulianto, Nurlis E. Meuko, Budi Setyarso, Kurie Suditomo, Wahyu Dhyatmika, HYK
CALON PENUMPANG B-1 DKI
Enam kandidat berupaya mencuri perhatian warga DKI Jakarta. Mereka: Adang Daradjatun, Agum Gumelar, Bibit Waluyo, Fauzi Bowo, Faisal Basri, Sarwono Kusumaatmadja. Belum semua partai politik mengelus jago, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrat. Tapi keenam tokoh ini diperkirakan menjadi calon kuat kontestan yang merebut mobil B-1 DKI pada 2007.
Wahyu Dhyatmika
Agum Gumelar
Lahir: Tasikmalaya, 17 Desember 1945
Jabatan terakhir: Menteri Perhubungan (2001-2004)
Pangkat: Jenderal (Purn.)
Pendidikan: Akademi Militer Nasional (1968), master dari American World University (1998)
Klaim kekayaan: Sekitar Rp 11, 05 miliar dan US$ 370 ribu (setara Rp 2,73 miliar) termasuk tanah dan bangunan senilai Rp 8,5 miliar dan 6 mobil senilai Rp 1,1 miliar (data kekayaan 2005).
Dr Ing H. Fauzi Bowo
Lahir: Jakarta, 10 April 1948
Jabatan terakhir: Wakil Gubernur DKI Jakarta (2002-2007)
Pendidikan: Doktor Ingenieur dari Fachbereich Architektur/Raum Und Umweltplanung-Baungenieurwesen Universitat Kaiserlautern Republik Federasi Jerman (2000)
Klaim kekayaan: Sekitar Rp 15,13 miliar dan US$ 167 ribu (sekitar Rp 1.503 miliar), termasuk tanah dan bangunan senilai Rp 11,2 miliar, 2 mobil dan 4 motor Harley Davidson Rp 720 juta, logam mulia, barang seni, dan antik Rp 1,6 miliar (data 2001).
Sarwono Kusumaatmadja
Lahir: Jakarta, 24 Juli 1943
Jabatan terakhir: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI)
Pendidikan: Jurusan Sipil ITB, Bandung (1974)
Klaim kekayaan: Sekitar Rp 5,49 miliar dan US$ 67 ribu (setara Rp 630 juta), termasuk tanah dan bangunan Rp 4,2 miliar, giro serta surat berharga lain Rp 870 juta (data 2005).
Bibit Waluyo
Lahir: Klaten, 5 Agustus 1949
Jabatan terakhir: Panglima Kostrad (2002-2004)
Pangkat:Letnan Jenderal (Purn.)
Pendidikan: Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (1972)
Klaim kekayaan: Sekitar Rp 2 miliar, termasuk tanah Rp 573 juta, mobil Rp 390 juta, dan giro Rp 902 juta (data kekayaan 2001).
Adang Daradjatun
Lahir: Bogor, 13 Mei 1949
Jabatan terakhir: Wakil Kepala Polri (2005)
Pangkat: Komisaris Jenderal Polisi
Pendidikan: Akademi Kepolisian (1971)
Klaim kekayaan: Rp 9,3 miliar dan US$ 266 ribu (setara dengan Rp 2,39 miliar pada kurs Rp 9.000)—termasuk tanah dan bangunan senilai Rp 6,1 miliar dan 7 mobil senilai Rp 1,32 miliar (data kekayaan 2002).
Faisal Basri
Lahir: Bandung, 6 November 1959
Jabatan terakhir: Dosen FE UI
Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) (1985), master of arts (MA) ekonomi di Vanderbilt University, Amerika (1988)
Kekayaan: Tidak ada data di Komisi Pemberantasan Korupsi karena Faisal tidak pernah menjadi pejabat publik.
DARI RAMBUT SAMPAI KAKI
Tahun 2006, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta Raya Rp 17,99 triliun. Lebih dari separuhnya (52,7 persen) dibelanjakan untuk upah aparat pemerintah daerah. Belanja gubernur paling menonjol dan terus meningkat. Pada 2002, misalnya, mencapai Rp 7,8 miliar dan meningkat menjadi Rp 9 miliar pada 2003.
Rumah Dinas Rp 1,28 miliar
- Pemeliharaan rumah Rp 350 juta
- Televisi kabel Rp 50 juta
- Koran dan majalah Rp 90 juta
- Barang kebudayaan Rp 50 juta
- Belanja alat rumah tangga Rp 150 juta
- Pemeliharaan alat komunikasi Rp 120 juta
- Listrik Rp 92 juta
- Konsumsi Rp 288 juta
- Coffee morning Rp 90 juta
Pungutan pajak Rp 176,25 miliar
Data 2003. Nilai ini 3,75 persen dari total pajak dan retribusi di Ibu Kota, seperti diatur surat keputusan Menteri Dalam Negeri yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengambil maksimal 5 persen dari total pendapatan pajak dan retribusi daerahnya.
Setoran Perusahaan Daerah Rp 100 miliar
n Data 2005. Gubernur adalah komisaris di salah satu dari 33 badan usaha milik daerah namun ikut menentukan komisaris di perusahaan daerah sisanya.
Pajak Bilboard Rp 14 miliar
n Data 2002. Hanya dari melego sembilan titik iklan luar ruang/billboard ketika membiayai renovasi Bundaran Hotel Indonesia. Adalah wewenang Gubernur untuk menunjuk lokasi yang bisa dipasangi iklan/billboard.
Gaji Rp 3 juta per bulan
Perjalanan Rp 411,93 juta
- Pemeliharaan kendaraan dinas Rp 51,93 juta
- Penginapan Rp 10 juta
- Perjalanan dinas luar negeri Rp 350 juta
Kesehatan Rp 100 juta
Pakaian dinas Rp 65 juta
Ajudan RP 977,7 juta
- Penyusunan naskah pidato Rp 887,7 juta
- Penyusunan jadwal acara Rp 90 juta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo