Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata-kata pujian berhamburan dari mulut Komisaris Jenderal Polisi Adang Daradjatun. Ia seperti anak muda yang sedang jatuh cinta. ”Getaran-getaran yang sama membuat kami sering bertemu,” kata Adang, 57 tahun, kini Wakil Kepala Kepolisian Nasional Republik Indonesia.
Hati Adang sedang mekar. Partai Keadilan Sejahtera telah memilihnya sebagai calon partai untuk Gubernur DKI. Masa pacaran mereka berjalan mulus. Pekan lalu, Ketua Wilayah Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta, Triwisaksana, berucap: ”Pak Adang dan PKS saling mendekati, kami lalu bertemu di tengah-tengah.”
PKS, partai peraih suara terbanyak di Ibu Kota pada Pemilihan Umum 2004, baru ”mengungkapkan cintanya” dua pekan lalu. ”Perkawinan” memang belum dilangsungkan karena, menurut Presiden PKS Tiffatul Sembiring, Adang baru resmi menjadi calon setelah jenderal bintang tiga itu mundur dari jabatan Wakil Kepala Polri.
Pencarian calon yang berujung pada pemilihan Adang itu dimulai sejak akhir 2004. Kala itu, PKS membentuk Tim Pengkajian Pemilihan 2007 yang dipimpin Slamet Nurdin, kini Ketua Fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI. Tim itu menetapkan lima kriteria untuk menjaring calon, di antaranya pengalaman kepemimpinan, dan yang juga penting, kekuatan sumber daya jaringan dan dana.
Tim awalnya memperoleh 12 nama, di antaranya Fauzi Bowo, Letjen (Purn.) Agus Widjojo, Letjen (Purn.) Bibit Waluyo, Rano Karno, dan Adang Daradjatun. Setelah dilakukan verifikasi, jumlah calon mengecil menjadi tujuh orang. Mereka diajukan ke Dewan Pimpinan Pusat PKS. Dua orang terpilih dengan skor tertinggi: Adang dan Fauzi Bowo.
Dua nama itu pun dikocok oleh sebuah tim yang diberi nama Tim Optimalisasi Pilkada. Tim ini berunding dengan Adang dan Fauzi, termasuk membahas rancangan kontrak politik. Anggota tim itu antara lain Triwisaksana dan Anis Matta, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Jakarta.
Menurut Tiffatul, negosiasi dengan Fauzi Bowo belakangan gagal. Alasannya, Wakil Gubernur DKI itu juga ingin maju sebagai calon gubernur dari Partai Golkar. ”Padahal itu tidak mungkin,” katanya, ”kami kan pemenang pemilu lalu, masak mereka ingin dapat posisi yang nomor satu.” Alhasil, tim memilih Adang.
Adang sebenarnya kalah populer dibandingkan kandidat lain. Mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat itu bahkan tidak masuk dalam hasil survei awal yang dilakukan PKS. Namun, menurut Triwisaksana, Adang memenuhi kriteria yang ditetapkan partainya.
Adang dinilai memiliki jaringan pendukung yang dibutuhkan saat pemilihan. Misalnya: ia memiliki kedekatan dengan generasi muda di Kebayoran dan Penjaringan, Jakarta, tempatnya dulu menjadi Kepala Kepolisian Sektor, jaringan alumni SMA Boedi Oetomo 1, tempatnya bersekolah, serta keluarga besar kepolisian.
Yang paling menonjol dari Adang sebenarnya sumber daya lainnya: dana. Lihatlah tempat tinggalnya di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan. Terletak di tepi jalan raya, dua rumah mewah Adang yang saling berhadapan, berdiri di atas tanah hampir 2.000 meter persegi.
Pilar-pilar besar menyangga satu rumah yang ditempati Adang. Di garasinya berderet tujuh mobil, di antaranya mobil sport serta dua motor besar. Lapangan tenis terhampar di halaman. Satu set peralatan band dipajang di satu sisi ruang tempat menerima tamu. Di sisi lainnya, kolam renang seukuran tiga kali lapangan bulu tangkis menyejukkan mata.
Kekuatan dana itulah yang membuat sejumlah politikus berbisik-bisik: telah terjadi barter antara Adang dan PKS. Seorang politikus mengaku mendengar informasi bahwa Adang menyetor ”mahar” senilai Rp 20 miliar untuk memuluskan pencalonannya.
Adang membantah informasi itu. ”Kami hanya berada dalam satu idealisme yang sama, ndak adalah mahar itu,” katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Adapun Triwisaksana menyatakan, akad politik antara PKS dan Adang yang masih berstatus perwira aktif belum terjadi. ”Jadi, bagaimana ada mahar?” katanya.
Bisik-bisik di kalangan politikus itu bukan tanpa sebab. Pengalaman di daerah lain dijadikan rujukan. Sejumlah barter terjadi pada pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota di beberapa daerah. Praktek itu terjadi umumnya jika kader PKS hanya menjadi calon wakil, seperti yang terjadi di Batam, awal tahun ini.
Seorang petinggi Partai Golkar menuturkan, partainya mengajukan Ahmad Dahlan, mantan Kepala Biro Humas Otorita Batam, sebagai calon wali kota. Untuk memperbesar basis dukungan, Ahmad dipasangkan dengan Ria Saptarika, Ketua PKS Kepulauan Riau. ”Perjodohan” ini diikat dengan setoran Dahlan sebesar Rp 4 miliar ke PKS. ”Mereka bilang untuk biaya kampanye,” kata politikus yang enggan disebutkan namanya itu.
Tiffatul menolak tuduhan adanya mahar untuk PKS dalam pemilihan kepala daerah. Yang terjadi di Batam, menurut dia, PKS dan kandidat wali kota berbagi rata biaya kampanye. Ahmad Dahlan pun ia sebut bukan anggota Golkar. ”Dia hanya seorang pengusaha yang diajukan Golkar,” katanya.
Namun, Tiffatul mengakui, negosiasi pembagian beban biaya kampanye selalu dilakukan partainya dengan kandidat yang akan diajukan. ”Tentu saja kandidat tidak bisa gratisan: kami yang bekerja, lalu mereka enak-enak jadi pengantin,” katanya.
Menurut Tiffatul, pembahasan dana kampanye—PKS menyebutnya ”dana perjuangan pemenangan pemilu”—harus dilakukan demi transparansi. Itu bukan berarti semua biaya dikeluarkan dari kocek para kandidat sendiri. Kandidat harus mampu mengumpulkan dana sesuai aturan, katanya.
Triwisaksana menyatakan partainya belum sampai membicarakan hal-hal teknis seperti biaya kampanye. Yang pasti, dana cuap-cuap dan pemenangan pemilihan ini tak sedikit. Ia memberi ilustrasi, untuk biaya saksi di tempat-tempat pemungutan suara saja dibutuhkan Rp 2,9 miliar, yaitu 29 ribu tempat dikalikan Rp 100 ribu. Kampanye dari rumah ke rumah, yang dilakukan oleh koordinator PKS tingkat RW diperlukan Rp 520 juta, yaitu 2.600 RW dikalikan Rp 20 ribu.
Biaya mobilisasi massa jauh lebih besar. Untuk satu kali penyelenggara kampanye akbar di Gelora Bung Karno perlu minimal Rp 2 miliar. ”Belum biaya iklan di media massa, yang pasti sangat besar,” kata Triwisaksana.
Apa pun, PKS adalah partai pertama yang mengumumkan kandidatnya untuk pemilihan Gubernur DKI, Agustus tahun depan. Dua partai yang berhak mengajukan calon tanpa berkoalisi dengan partai lain berdasarkan perolehan suara Pemilu 2004, yaitu Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, baru menyeleksi jagoannya.
Ada empat orang yang bersaing di PDIP, yaitu Faisal Basri, Letjen (Purn.) Agum Gumelar, Letjen (Purn.) Bibit Waluyo, dan Sarwono Kusumaatmadja. Mereka kini rajin mendekati para pengurus PDIP se-Ibu Kota. Tapi, yang lebih penting, merebut hati Megawati Soekarnoputri, ketua umum partai itu.
Sang Ibu adalah faktor terpenting dalam pemilihan calon gubernur dari PDIP. Dialah penentu akhir yang akan memilih satu dari sejumlah calon yang diputuskan Rapat Kerja Daerah Khusus. Maka, pertemuan dengan Mega adalah pintu utama. Simaklah pengakuan keempat kandidat:
Sarwono: ”Saya tiga kali bertemu Ibu, dan akan ketemu lagi setelah beliau pulang dari Inggris. Ada standar-standar keakraban Ibu kepada saya yang tak diberikan kepada orang lain, misalnya ada kursi kosong di sampingnya, dia mencari saya. ’Mana Pak Sarwono? Mbok duduk sini.’”
Bibit Waluyo: ”Saya sudah menghadap Ibu. Beliau senang dan setuju dengan komitmen saya soal keutuhan bangsa. Ketika beliau presiden, saya Pangkostrad. Jadi, hubungannya sudah tegak lurus, beliau bisa setiap saat memanggil saya.”
Faisal Basri: ”Dua jam saya bertemu Mbak Mega. Dia menyatakan kepada saya: ’Jangan khawatir Mas Faisal, saya tidak mencari calon yang berkantong tebal.’”
Agum Gumelar: ”Saya belum ketemu Ibu Mega, mudah-mudahan segera bisa bertemu. Tapi saya memiliki hubungan historis dengan beliau, sejak 1993.”
Begitulah, mereka harus menanti titah Ibu. Keempatnya masih ”harap-harap cemas”, tak seperti Adang Daradjatun yang sudah riang dipinang PKS. ”Kami kini seperti orang pacaran,” kata Adang.
Budi Setyarso, Kurie Suditomo, Nurlis E. Meuko, Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo