Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mahar Diantar, Abang Dipinang

Isu ”mahar” mewarnai pemilihan Adang Dorodjatun sebagai calon Gubernur DKI dari PKS. Partai lain masih menyeleksi calon.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata-kata pujian berhamburan dari mulut Komisaris Jenderal Polisi Adang Daradjatun. Ia seperti anak muda yang sedang jatuh cinta. ”Getaran-getaran yang sama membuat kami sering bertemu,” kata Adang, 57 tahun, kini Wakil Kepala Kepolisian Nasional Republik Indonesia.

Hati Adang sedang mekar. Partai Keadilan Sejahtera telah memilihnya se­bagai calon partai untuk Gubernur DKI. Ma­sa pacaran mereka berjalan mulus. Pekan lalu, Ketua Wilayah Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta, Triwisaksana, berucap: ”Pak Adang dan PKS saling mendekati, kami lalu bertemu di tengah-tengah.”

PKS, partai peraih suara ter­banyak di Ibu Kota pada Pe­milihan Umum 2004, ba­ru ”mengungkapkan cin­ta­nya” dua pekan lalu. ”Per­ka­winan” memang belum di­langsungkan karena, me­nurut Presiden PKS Tif­fatul Sem­biring, Adang ba­ru resmi menjadi calon se­telah jen­­deral bintang tiga itu mundur dari ja­batan Wa­kil Kepala Polri.

Pencarian calon yang ber­ujung pada pe­milihan ­Adang itu dimulai sejak ­akhir 2004. Kala itu, PKS mem­bentuk Tim Pengka­ji­an Pemilihan 2007 yang di­pimpin Sla­met Nurdin, kini Ketua Fraksi PKS Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI. Tim itu menetapkan lima kriteria untuk menjaring calon, di antaranya peng­alam­an kepemimpinan, dan yang juga pen­ting, kekuatan sumber daya jaring­an dan dana.

Tim awalnya memperoleh 12 nama, di an­taranya Fauzi Bowo, Letjen (Purn.) Agus Widjojo, Letjen (Purn.) Bibit Wa­luyo, Rano Karno, dan Adang Daradjatun. Setelah dilakukan verifikasi, jumlah calon mengecil menjadi tujuh orang. Mereka diajukan ke Dewan Pimpinan Pusat PKS. Dua orang terpilih dengan skor tertinggi: Adang dan Fauzi Bowo.

Dua nama itu pun dikocok oleh sebuah tim yang diberi nama Tim Optimalisasi Pilkada. Tim ini berunding dengan ­Adang dan Fauzi, termasuk membahas rancangan kontrak politik. Anggota tim itu antara lain Triwisaksana dan Anis Matta, anggota Dewan Perwakilan Rak­yat dari daerah pemilihan Jakarta.

Menurut Tiffatul, negosiasi dengan Fauzi Bowo belakangan gagal. Alasannya, Wakil Gubernur DKI itu juga ingin ma­ju sebagai calon gubernur dari Partai Gol­kar. ”Padahal itu tidak mungkin,” katanya, ”kami kan pemenang pemilu lalu, masak mereka ingin dapat posisi yang nomor satu.” Alhasil, tim memilih Adang.

Adang sebenarnya kalah po­puler di­bandingkan kandi­dat lain. Mantan Ke­pa­la Kepolisian Daerah Jawa Ba­rat itu bahkan tidak masuk dalam hasil survei awal yang dilakukan PKS. Namun, menurut Triwisaksa­na, Adang memenuhi kri­te­ria yang ditetapkan par­tai­nya.

Adang dinilai memiliki jaringan pendukung yang dibutuhkan saat pemilih­an. Misalnya: ia memiliki kedekatan de­ngan generasi muda di Kebayoran dan Pen­jaringan, Jakarta, tempatnya dulu menjadi Kepala Kepolisian Sektor, ja­ringan alumni SMA Boedi Oetomo 1, tem­patnya bersekolah, serta keluarga besar kepolisian.

Yang paling menonjol dari Adang sebenarnya sumber daya lainnya: dana. Lihatlah tempat tinggalnya di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan. Terletak di tepi jalan raya, dua rumah mewah ­Adang yang saling berhadapan, berdiri di atas tanah hampir 2.000 meter per­segi.

Pilar-pilar besar menyangga satu ru­mah yang ditempati Adang. Di garasi­nya berderet tujuh mobil, di antara­nya mo­bil sport serta dua motor besar. Lapang­an tenis terhampar di halaman. Sa­tu set peralatan band dipajang di sa­tu sisi ruang tempat menerima tamu. Di sisi lainnya, kolam renang seukuran tiga kali lapangan bulu tangkis menyejukkan mata.

Kekuatan dana itulah yang membuat sejumlah politikus berbisik-bisik: telah terjadi barter antara Adang dan PKS. Seorang politikus mengaku mendengar informasi bahwa Adang menyetor ”mahar” senilai Rp 20 miliar untuk memuluskan pencalonannya.

Adang membantah informasi itu. ”Kami hanya berada dalam satu ideal­isme yang sama, ndak adalah mahar itu,” katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Adapun Triwisaksana menyatakan, akad politik antara PKS dan Adang yang masih berstatus perwira aktif belum terjadi. ”Jadi, bagaimana ada mahar?” katanya.

Bisik-bisik di kalangan politikus itu bukan tanpa sebab. Pengalaman di daerah lain dijadikan rujukan. Sejumlah barter terjadi pada pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota di beberapa daerah. Praktek itu terjadi umumnya jika kader PKS hanya menjadi calon wakil, seperti yang terjadi di Batam, awal tahun ini.

Seorang petinggi Partai Golkar menuturkan, partainya mengajukan Ahmad Dahlan, mantan Kepala Biro Humas Otorita Batam, sebagai calon wali kota. Untuk memperbesar basis dukung­an, Ahmad dipasangkan dengan Ria Saptarika, Ketua PKS Kepulauan Riau. ”Perjodohan” ini diikat dengan setoran Dahlan sebesar Rp 4 miliar ke PKS. ”Mereka bilang untuk biaya kampanye,” kata politikus yang enggan disebutkan namanya itu.

Tiffatul menolak tuduhan adanya mahar untuk PKS dalam pemilihan kepala daerah. Yang terjadi di Batam, menurut dia, PKS dan kandidat wali kota ber­bagi rata biaya kampanye. Ahmad Dahlan pun ia sebut bukan anggota Golkar. ”Dia hanya seorang pengusaha yang diajukan Golkar,” katanya.

Namun, Tiffatul mengakui, negosiasi pembagian beban biaya kampanye selalu dilakukan partainya dengan kandidat yang akan diajukan. ”Tentu saja kandidat tidak bisa gratisan: kami yang bekerja, lalu mereka enak-enak jadi pengantin,” katanya.

Menurut Tiffatul, pembahasan dana kampanye—PKS menyebutnya ”dana per­juangan pemenangan pemilu”—harus dilakukan demi transparansi. Itu bukan berarti semua biaya dikeluarkan dari kocek para kandidat sendiri. Kandidat harus mampu mengumpulkan dana sesuai aturan, katanya.

Triwisaksana menyatakan partai­nya belum sampai membicarakan hal-hal teknis seperti biaya kampanye. Yang pasti, dana cuap-cuap dan pemenangan pemilihan ini tak sedikit. Ia memberi ilustrasi, untuk biaya saksi di tempat-tempat pemungutan suara saja dibutuhkan Rp 2,9 miliar, yaitu 29 ribu tempat dikalikan Rp 100 ribu. Kampanye dari rumah ke rumah, yang dilakukan oleh koordinator PKS tingkat RW diperlukan Rp 520 juta, yaitu 2.600 RW di­kalikan Rp 20 ribu.

Biaya mobilisasi massa jauh lebih besar. Untuk satu kali penyelenggara kampanye akbar di Gelora Bung Karno perlu minimal Rp 2 miliar. ”Belum biaya iklan di media massa, yang pasti sangat besar,” kata Triwisaksana.

Apa pun, PKS adalah partai pertama yang mengumumkan kandidatnya untuk pemilihan Gubernur DKI, Agustus tahun depan. Dua partai yang berhak mengajukan calon tanpa berkoalisi dengan partai lain berdasarkan peroleh­an suara Pemilu 2004, yaitu Partai Demokrat dan PDI Perjuangan, baru menyeleksi jagoannya.

Ada empat orang yang bersaing di PDIP, yaitu Faisal Basri, Letjen (Purn.) Agum Gumelar, Letjen (Purn.) Bibit Wa­luyo, dan Sarwono Kusumaatmadja. Me­reka kini rajin mendekati para peng­urus PDIP se-Ibu Kota. Tapi, yang le­bih pen­ting, merebut hati Megawati Soe­karnoputri, ketua umum partai itu.

Sang Ibu adalah faktor terpenting da­­lam pemilihan calon gubernur dari PDIP. Dialah penentu akhir yang akan me­milih satu dari sejumlah calon yang diputuskan Rapat Kerja Daerah Khusus. Maka, pertemuan dengan Mega adalah pintu utama. Simaklah pengakuan keempat kandidat:

Sarwono: ”Saya tiga kali bertemu Ibu, dan akan ketemu lagi setelah beliau pulang dari Inggris. Ada standar-­standar keakraban Ibu kepada saya yang tak diberikan kepada orang lain, misalnya ada kursi kosong di sampingnya, dia mencari saya. ’Mana Pak Sarwono? Mbok duduk sini.’”

Bibit Waluyo: ”Saya sudah mengha­dap Ibu. Beliau senang dan setuju de­ngan komitmen saya soal keutuhan bangsa. Ketika beliau presiden, saya Pangko­strad. Jadi, hubungannya sudah tegak lu­rus, beliau bisa setiap saat memanggil saya.”

Faisal Basri: ”Dua jam saya bertemu Mbak Mega. Dia menyatakan kepada sa­ya: ’Jangan khawatir Mas Faisal, saya ­tidak mencari calon yang berkantong tebal.’”

Agum Gumelar: ”Saya belum ketemu Ibu Mega, mudah-mudahan segera bisa bertemu. Tapi saya memiliki hubungan historis dengan beliau, sejak 1993.”

Begitulah, mereka harus menanti titah Ibu. Keempatnya masih ”harap-harap cemas”, tak seperti Adang Daradjatun yang sudah riang dipinang PKS. ”Kami kini seperti orang pacaran,” kata Adang.

Budi Setyarso, Kurie Suditomo, Nurlis E. Meuko, Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus