Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terdakwa di Kursi Pengunjung

Majelis hakim memutuskan persidangan kasus pembunuhan di Timika bisa digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Antonius Wamang menyatakan tak akan hadir.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINGINAN Antonius Wamang agar persidangan kasus diri­nya digelar di Timika pupus sudah. Sela­­­sa pekan lalu, majelis h­akim Peng­­adil­an Negeri Jakarta Pusat me­ngeluar­kan putusan sela atas kasusnya. Isinya, ­Pengadilan Jakarta Pusat te­tap berwenang mengadili kasus pembunuh­an yang terjadi di penghujung 2002.

Begitu ketua majelis hakim Andria­ni Nurdin selesai membacakan putus­an itu, Wamang, 30 tahun, tampak tercenung. Enam rekannya, Pendeta Ishak Onawame, Agustinus Anggaibak, Yulia­nus Deikme, Esau Onawame, Hardi Sugumol, dan Yairus Kiwak juga terlihat diam. Seperti Wamang, selama persidangan mereka emoh duduk di kursi terdakwa. Ketujuh orang itu memilih duduk di kursi pengunjung. ”Saya tak mau diadili di sini,” kata Ishak.

Menurut Andriani, dengan putusan ini, maka kasus pembunuhan itu bisa dilanjutkan. Andriani juga merujuk kepada keputusan Ketua Mahkamah Agung pada 17 Februari 2006, saat Polisi Daerah Papua menyelidiki kasus tersebut. Keputusan itu mengenai persetujuan Mahkamah Agung memindahkan tempat persidangan Wamang dan rekan-rekannya ke Jakarta.

Ketujuh warga Papua itu didakwa melakukan pembunuhan berencana di Mile 62-63 Timika, Papua. Pembunuhan yang terjadi pada 31 Agustus 2002 itu menyebabkan dua warga Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia tewas. Selain itu, mereka juga didakwa meng­aniaya sejumlah orang.

Putusan sela pengadilan itu tetap ditolak Wamang. Ia dan keenam rekannya tetap menuntut sidang digelar di Pengadilan Negeri Timika. ”Kami sudah diperlakukan tidak adil sejak awal,” kata Ishak. Kepada Tempo, Wamang menyatakan semua saksi yang mengetahui kejadian itu juga tidak ada di Jakarta. ”Semua ada di Timika,” kata Wamang dalam bahasa Amungme yang diterjemahkan Ishak. Wamang menegaskan bahwa dia tak akan hadir dalam sidang yang rencananya akan digelar kembali mulai pekan ini.

Menurut Wamang, ada sejumlah fakta yang tak diungkapkan dalam surat dak­waan terhadap dirinya. Saat kejadian, misalnya, ia mendengar ada tembakan lain secara beruntun yang asalnya tak jauh dari lokasinya. ”Tembakannya dari arah atas gunung. Di atas persembunyi­an kami,” ujarnya. Fakta ini tak ada da­lam surat dakwaan.

Wamang dan Ishak juga menyatakan ditipu petugas Federal Bureau of Investigation (FBI) yang datang ke Pa­pua. Aparat dari Amerika ini, kata Ishak, menjanjikan akan memeriksa mereka di Amerika Serikat. ”Agar kami bebas berbicara,” ujar Ishak. Selain itu, ujar Ishak, mereka juga menjamin akan membiayai hidup keluarga mereka selama tiga bulan dengan cara memberi uang Rp 750 ribu per hari untuk setiap keluarga. Semuanya, kata Ishak, ternyata bohong. ”Kenyataannya, diam-diam mereka me­ngirim kami ke Jakarta,” ujarnya.

Pengacara Wamang, Janses Sihalolo, menilai hakim tak berlaku bijak dalam kasus ini. Menurut pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ini, ketujuh kliennya pada prinsipnya tak menolak diadili. ”Hanya mereka me­rasa lebih nyaman jika diadili di Timika,” ujarnya. Janses lantas menunjuk ada­nya peluang semacam itu yang diatur da­lam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Menurut Janses, sesuai dengan Pa­sal­ 85 KUHAP, Ketua Pengadilan Nege­ri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat me­ng­­­ajukan usul pemindahan tempat­ sidang kepada Menteri Kehakiman. Janes ju­ga mengkritik munculnya Surat Keputus­an Ketua Mahkamah Agung yang me­­mindah­kan lokasi sidang ke Jakar­ta. Pengacara ini melihat ada keganjil­an pa­da surat itu, karena tertulis status klien­­­nya tersangka. ”Padahal, ketika itu sta­­tus hukum mereka belum ada,” ujar Janses.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak akan memakai peluang yang diberikan KUHAP. ”Selama tidak ada keberatan yang disampaikan majelis, tempat sidang tidak akan dipindahkan,” ujar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Cicut Sutiarso. Menurut Cicut, jika Wamang atau pengacaranya merasa diperlakukan tak adil dalam sidang, mereka bisa melapor kepadanya.

Di mata pakar hukum acara pidana Andi Hamzah, jika Wamang menolak hadir di sidang, maka ini bisa disebut sebagai bukti rendahnya wibawa peng­adilan. Meski demikian, ujar Andi, sidang ini tetap sah. ”Hakim bisa memutuskan perkara ini berdasarkan ke­te­rangan saksi, ahli, dan surat-s­urat,” ujarnya. Di sini, kata Andi, yang rugi terdakwa sendiri. ”Karena ia tidak meng­gunakan haknya membela diri,” ujarnya.

Maria Hasugian, Tito Sianipar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus