Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEINGINAN Antonius Wamang agar persidangan kasus dirinya digelar di Timika pupus sudah. Selasa pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan sela atas kasusnya. Isinya, Pengadilan Jakarta Pusat tetap berwenang mengadili kasus pembunuhan yang terjadi di penghujung 2002.
Begitu ketua majelis hakim Andriani Nurdin selesai membacakan putusan itu, Wamang, 30 tahun, tampak tercenung. Enam rekannya, Pendeta Ishak Onawame, Agustinus Anggaibak, Yulianus Deikme, Esau Onawame, Hardi Sugumol, dan Yairus Kiwak juga terlihat diam. Seperti Wamang, selama persidangan mereka emoh duduk di kursi terdakwa. Ketujuh orang itu memilih duduk di kursi pengunjung. ”Saya tak mau diadili di sini,” kata Ishak.
Menurut Andriani, dengan putusan ini, maka kasus pembunuhan itu bisa dilanjutkan. Andriani juga merujuk kepada keputusan Ketua Mahkamah Agung pada 17 Februari 2006, saat Polisi Daerah Papua menyelidiki kasus tersebut. Keputusan itu mengenai persetujuan Mahkamah Agung memindahkan tempat persidangan Wamang dan rekan-rekannya ke Jakarta.
Ketujuh warga Papua itu didakwa melakukan pembunuhan berencana di Mile 62-63 Timika, Papua. Pembunuhan yang terjadi pada 31 Agustus 2002 itu menyebabkan dua warga Amerika Serikat dan seorang warga Indonesia tewas. Selain itu, mereka juga didakwa menganiaya sejumlah orang.
Putusan sela pengadilan itu tetap ditolak Wamang. Ia dan keenam rekannya tetap menuntut sidang digelar di Pengadilan Negeri Timika. ”Kami sudah diperlakukan tidak adil sejak awal,” kata Ishak. Kepada Tempo, Wamang menyatakan semua saksi yang mengetahui kejadian itu juga tidak ada di Jakarta. ”Semua ada di Timika,” kata Wamang dalam bahasa Amungme yang diterjemahkan Ishak. Wamang menegaskan bahwa dia tak akan hadir dalam sidang yang rencananya akan digelar kembali mulai pekan ini.
Menurut Wamang, ada sejumlah fakta yang tak diungkapkan dalam surat dakwaan terhadap dirinya. Saat kejadian, misalnya, ia mendengar ada tembakan lain secara beruntun yang asalnya tak jauh dari lokasinya. ”Tembakannya dari arah atas gunung. Di atas persembunyian kami,” ujarnya. Fakta ini tak ada dalam surat dakwaan.
Wamang dan Ishak juga menyatakan ditipu petugas Federal Bureau of Investigation (FBI) yang datang ke Papua. Aparat dari Amerika ini, kata Ishak, menjanjikan akan memeriksa mereka di Amerika Serikat. ”Agar kami bebas berbicara,” ujar Ishak. Selain itu, ujar Ishak, mereka juga menjamin akan membiayai hidup keluarga mereka selama tiga bulan dengan cara memberi uang Rp 750 ribu per hari untuk setiap keluarga. Semuanya, kata Ishak, ternyata bohong. ”Kenyataannya, diam-diam mereka mengirim kami ke Jakarta,” ujarnya.
Pengacara Wamang, Janses Sihalolo, menilai hakim tak berlaku bijak dalam kasus ini. Menurut pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) ini, ketujuh kliennya pada prinsipnya tak menolak diadili. ”Hanya mereka merasa lebih nyaman jika diadili di Timika,” ujarnya. Janses lantas menunjuk adanya peluang semacam itu yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Menurut Janses, sesuai dengan Pasal 85 KUHAP, Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat mengajukan usul pemindahan tempat sidang kepada Menteri Kehakiman. Janes juga mengkritik munculnya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung yang memindahkan lokasi sidang ke Jakarta. Pengacara ini melihat ada keganjilan pada surat itu, karena tertulis status kliennya tersangka. ”Padahal, ketika itu status hukum mereka belum ada,” ujar Janses.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tak akan memakai peluang yang diberikan KUHAP. ”Selama tidak ada keberatan yang disampaikan majelis, tempat sidang tidak akan dipindahkan,” ujar Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Cicut Sutiarso. Menurut Cicut, jika Wamang atau pengacaranya merasa diperlakukan tak adil dalam sidang, mereka bisa melapor kepadanya.
Di mata pakar hukum acara pidana Andi Hamzah, jika Wamang menolak hadir di sidang, maka ini bisa disebut sebagai bukti rendahnya wibawa pengadilan. Meski demikian, ujar Andi, sidang ini tetap sah. ”Hakim bisa memutuskan perkara ini berdasarkan keterangan saksi, ahli, dan surat-surat,” ujarnya. Di sini, kata Andi, yang rugi terdakwa sendiri. ”Karena ia tidak menggunakan haknya membela diri,” ujarnya.
Maria Hasugian, Tito Sianipar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo