JAKARTA – Lantai keramik berkelir cokelat seluas 2 x 3 meter masih tersisa di pinggir rel
kereta api di samping Jalan Pekojan 3, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, kemarin. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari Stasiun Angke. Adapun ujung terluar lantai keramik itu hanya berjarak sekitar 3 meter dari baja rel.
Menurut cerita warga sekitar, keramik itu sebelumnya merupakan bagian dari lantai bedeng atau bangunan semi-permanen yang digunakan sebagai kios dagangan. Namun pada pekan lalu bangunan tersebut dirobohkan oleh pemiliknya, dengan dibantu sejumlah petugas polisi pamong praja dan petugas PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasional 1 Jakarta. Pembongkaran tersebut merupakan bagian dari langkah penertiban yang dilakukan PT KAI Daop 1 di sepanjang lintasan kereta antara Stasiun Angke dan Stasiun Kampung Bandan yang berjarak sekitar 4,1 kilometer.
Menurut Sutris, pedagang bensin eceran yang membuka lapak di pinggir Jalan Pekojan 3, pembongkaran tersebut melibatkan satu rangkaian kereta api khusus. Kereta tersebut terdiri atas gerbong-gerbong kosong yang lebih banyak berhenti dan berjalan amat pelan. Para petugas dan warga menaruh reruntuhan serta bongkaran bangunan bedeng ke atas gerbong. "Kalau tidak salah, itu hari Kamis (pekan lalu). Warga bersedia ditertibkan karena sebelumnya sudah ada pengumuman dari PT KAI saat libur Imlek (tanggal 1 Februari lalu)," kata Sutris.
Menurut Sutris, tak ada upaya penolakan dari warga pengguna bedeng saat pemberitahuan dan eksekusi penertiban dilakukan. Sebab, menurut pria berusia 50 tahun itu, para warga sudah paham bahwa mereka salah karena telah menggunakan lahan milik PT KAI di samping
rel kereta.
Lagi pula, Sutris mengimbuhkan, sudah jarang bangunan liar di samping rel yang dijadikan tempat tinggal. "Kebanyakan cuma bedeng buat dagang atau buat menyimpan gerobak dagang dan sepeda motor," ujarnya.
Mahmud, 46 tahun, pedagang gorengan di sekitar lokasi, juga menyebutkan bangunan liar di samping rel kebanyakan hanya digunakan seperti gudang atau tempat menaruh barang-barang milik warga sekitar. Walhasil, ia melanjutkan, kini warga harus mencari lokasi lain untuk menaruh gerobak dagang, sepeda motor, dan barang-barang lain. "Ada yang dibawa pulang, ada gerobak yang jadi ditaruh di pinggir jalan, dan ada beberapa sepeda motor yang masih ditaruh di pinggir rel," kata dia.
Warga beraktivitas di pinggir rel kereta di kawasan Petamburan, Jakarta, 22 April 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.
Menurut Mahmud, tak ada bantuan yang diberikan oleh PT KAI Daop 1 kepada warga yang terkena dampak dalam penertiban bangunan liar di samping lintasan kereta. "Warga yang punya barang di pinggir rel juga enggak menuntut karena paham bahwa mereka salah," kata dia.
Kepala Humas PT KAI Daop 1, Eva Chairunisa, membenarkan bahwa KAI tak memberikan kompensasi dalam bentuk apa pun kepada masyarakat yang mendirikan bangunan liar di samping rel kereta di sepanjang Stasiun Angke-Kampung Bandan. Menurut Eva, PT KAI tak punya keharusan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada warga pengguna bangunan liar tersebut. "Secara undang-undang pun lokasi tersebut merupakan area yang dilarang bagi masyarakat mendirikan bangunan ataupun beraktivitas," kata dia ketika dihubungi, kemarin.
Eva mengatakan Pasal 178 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian melarang setiap orang membangun gedung, tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, bahkan menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api. Sebab, benda-benda tersebut dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
Sebelumnya, pada akhir 2021, PT KAI Daop 1
Jakarta telah menertibkan jalur kereta api di sepanjang Stasiun Tanah Abang-Duri serta Stasiun Pasar Senen-Gang Sentiong. Selanjutnya, Eva berharap warga patuh dan tak lagi berkegiatan di samping lintasan kereta api. "Demi keselamatan bersama, bukan hanya dari sisi perjalanan kereta api, tapi juga keselamatan masyarakat," ujarnya.
Pengamat tata kota Nirwono Joga berharap PT KAI Daop 1 dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih giat menertibkan bangunan liar di pinggir lintasan rel di Ibu Kota. Menurut Nirwono, bukan rahasia lagi bahwa warga kerap menggunakan lahan tidur di samping rel kereta sebagai tempat berdagang hingga hunian.
Meski begitu, Nirwono berharap pemerintah bisa lebih bijak ketika melakukan penertiban, terlebih terhadap bangunan liar yang digunakan sebagai tempat tinggal. "Penertiban dilakukan dengan manusiawi," kata dia, kemarin.
Selain itu, ada baiknya pemerintah ikut mencarikan tempat relokasi bagi warga yang tinggal di bedeng di samping rel kereta. Salah satunya adalah sejumlah rumah susun yang dimiliki Pemprov DKI
Jakarta. "Siapkan relokasi yang layak huni demi keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan warga tersebut," ucapnya.
INDRA WIJAYA