Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAIHATSU Ayla berpenumpang tiga orang itu membelah pagi dari sebuah kantor pos di Pondok Kopi menuju Jalan Bintara Jaya VIII, Bekasi, Sabtu dua pekan lalu. Di ujung gang perumahan, Dian Yulia Novi bergegas turun. Sembari memanggul sebuah ransel hitam, dia berjalan melewati parkiran dan pedagang bakso menuju kamar kontrakannya. "Ternyata bom itu berat, ya?" kata Dian kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Di kantor pos, sejumlah anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menyita paket yang hendak dikirim Dian. Isinya surat wasiat Dian untuk kedua orang tuanya di Cirebon. Anggota Densus berpencar. Sebagian memantau Dian di kontrakannya. Sebagian memang sudah membuntuti Daihatsu Ayla yang dikendarai Agus Supriyadi bersama Muhammad Nur Solihin sejak berangkat dari Solo.
Dari Bintara Jaya, Solihin dan Agus meluncur ke Masjid Istiqlal. Hari itu, mereka hendak mengecek dan menentukan lokasi peledakan bom. Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo, tokoh Negara Islam Irak dan Suriah asal Indonesia, meminta peledakan dilakukan saat pergantian Pasukan Pengamanan Presiden di Istana Negara. "Saya diberi komando, turunkan 'pengantin' di Masjid Istiqlal," ujar Solihin, Rabu pekan lalu.
Di Istiqlal, keduanya berputar-putar mencari lokasi keberangkatan sang "pengantin". Menurut Solihin, Bahrun Naim menyarankan "pengantin" berjalan kaki sejauh 500 meter untuk mengecoh petugas. Keduanya menemukan tempat yang cocok untuk menurunkan pembawa bom, yakni di dekat parkiran bus. Rampung dengan tujuan utama, Solihin pun melakukan salat. "Saya juga ambil foto, tapi tidak selfie," katanya.
Keduanya tak menyadari pergerakan mereka diawasi Densus Antiteror. Solihin dan Agus lalu meninggalkan Istiqlal dan hendak kembali ke kontrakan Dian di Bintara. Di bawah jalan layang Kalimalang, sejumlah petugas Densus merangsek dan meringkus keduanya. "Kami sempat maju-mundur, tangkap sekarang atau nanti," ujar seorang petugas.
Di Bintara Jaya, seorang anggota Densus mengetuk kamar 104, tempat tinggal Dian. Dian, yang sedang membaca Al-Quran, terkesiap. Saat membuka pintu dan melihat tamunya, dia langsung lemas. "Berarti perjuangan saya sudah ketahuan," katanya.
Bersamaan dengan penangkapan Solihin, Agus, dan Dian, polisi menangkap sejumlah teroris lain di beberapa tempat. Suyanto alias Abu Iza ditangkap di Karanganyar; Khafid Fathoni alias Abu Daroni di Ngawi; Arinda Putri Maharani, istri pertama Solihin, di Solo; dan Wawan Prasetyawan alias Abu Umar bin Sakiman ditangkap di Klaten. Juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, mengatakan tujuh tersangka ini merupakan anggota Jemaah Ansharut Daulah. "Mereka satu jaringan dengan Bahrun Naim," ujar Boy.
Di tengah kegiatan mengurus orang tua di sebuah panti jompo di Taiwan, Dian Yulia Novi berselancar di dunia maya. Topik yang dia minati adalah kajian Islam. Mula-mula dia penasaran, kenapa sampai muncul Islam garis keras. Dia membaca cerita-cerita pengeboman yang dilakukan umat Islam. Pencarian Dian berujung pada akun-akun jihadis di jejaring sosial Facebook. "Sebelumnya, saya menentang keras. Mengapa harus seperti itu jalannya?" kata Dian.
Akun Ulama Binti Gulam mengajaknya berkawan. Pemilik akun ini mengaku sebagai seorang perempuan dan sedang di Suriah. Akun-akun jihadis itu juga menyodori perempuan 27 tahun itu dengan kajian dan bacaan Islam radikal. Padahal anak pertama dari empat bersaudara ini sama sekali tidak memiliki sejarah garis keras. Sejak di sekolah dasar hingga sekolah menengah, hidup Dian layaknya remaja seusianya. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan BPPI Baleendah pada 2007, Dian tak kuliah. Dia merantau ke Bandung, lalu bekerja di perusahaan tekstil dan konfeksi. "Saya tak memiliki latar belakang pesantren, pernah satu-dua kali ikut kajian Islam," ujarnya.
Pada 2011, Dian mendaftar sebagai tenaga kerja ke Singapura. Di sana, perempuan kelahiran Cirebon ini bekerja sebagai pengasuh anak dengan gaji Rp 2 juta. Sebagian besar gajinya dia kirim ke Cirebon untuk orang tuanya. Setelah hampir satu setengah tahun dia bekerja, majikannya memutuskan pindah ke Cina. Dian memilih balik ke Indonesia. "Saya enggak ikut karena enggak kuat dingin," katanya.
Rupanya, Dian ketagihan bekerja di luar negeri. Pada awal 2013, dia kembali mendaftar sebagai tenaga kerja ke Taiwan. Gajinya empat kali lipat gaji di Singapura. Di tempat baru ini, Dian bebas memainkan telepon seluler. Waktu senggang dia pakai untuk mencari informasi tentang kajian Islam. Dari sinilah hidupnya berubah. Diskusi dengan akun jihadis makin intens. Sebelumnya hanya mengenakan hijab, sepulang dari Taiwan pada Maret lalu Dian mulai mengenakan cadar.
Berteman dengan akun jihadis di Facebook membuat Dian mengenal Tutin Sugiarti alias Ummu Absa. Keduanya bahkan sampai bertukar nomor telepon dan bercakap-cakap melalui Telegram Messenger. Kepada Tutin, Dian mengatakan niatnya melakukan amaliyah dan bersedia menjadi "pengantin" bom bunuh diri. Pada Kamis pekan lalu, Tutin ditangkap petugas Densus Antiteror di rumahnya di Tasikmalaya.
Tiga bulan lalu, Tutin dan Dian memutuskan "kopi darat" untuk pertama kali di Ciamis, Jawa Barat. Dian berangkat dari Cirebon menggunakan minibus. Di Ciamis, Dian tak diajak ke tempat tertentu, tapi hanya berkeliling dengan membonceng sepeda motor. "Beliau cuma tanya, niatnya bagaimana," ujar Dian. Setelah mendengar Dian bersedia melakukan amaliyah, Tutin pun memberi sebuah nomor. Nama pemiliknya Nur Solihin, laki-laki dari Solo.
Hampir setengah tahun Nur Solihin menunggu jawaban dari Bahrun Naim atas lamaran pekerjaannya. Setamat kuliah di Institut Agama Islam Negeri Surakarta, Solihin hendak melamar menjadi wartawan di media milik Bahrun, Independen Post. Enam bulan pria kelahiran Blora, Jawa Tengah, itu menunggu tanpa kabar. Untuk menyambung hidup, Solihin berjualan produk herbal dan batik via Internet. "Saya malah mendapat kabar Bahrun Naim sudah di Suriah," kata Solihin.
Di sela-sela kesibukan berjualan online, Solihin bergabung ke grup di aplikasi percakapan Telegram. Salah satunya Warkop. Diskusinya tak melulu tentang hal berat. Tak jarang, obrolan diisi pembicaraan yang Solihin sebut sebagai "cekakak-cekikik". Di grup itu, ada seseorang yang terus-menerus mengunggah topik diskusi tentang Suriah. Pada mulanya, Solihin tak menyadari yang menulis itu Bahrun Naim. "Lama-kelamaan saya menanggapi unggahannya," ujar Solihin.
Belakangan, dia tahu sosok tersebut adalah Bahrun Naim. Rasa penasaran membuat Solihin menghubungi Bahrun via jalur pribadi. Dia berbasa-basi, mengatakan pernah melamar ke Independen Post. Solihin pun menanyakan keberadaan Bahrun. Sang lawan bicara mengatakan sedang berada di Suriah dan sedang berperang. Setengah tahun terakhir, komunikasi keduanya makin intensif. Solihin menuturkan, "Saya memandang beliau sebagai guru."
Empat bulan lalu, Bahrun Naim meminta Solihin membangun sel jaringan Negara Islam Irak dan Suriah. Bahrun juga memerintahkannya mencari perempuan untuk dijadikan pelaku bom bunuh diri. Setelah ada perintah itu, Solihin mulai mencari target. Mulanya, dia mengenal seorang perempuan yang bersedia melakukan amaliyah. Perempuan ini aktif mendekati Solihin. Belakangan, si perempuan bergabung dengan jaringan Bahrun Naim yang lain.
Solihin pun mencari perempuan lain. Seorang kenalannya, Ummu Absa, mengabarinya ada perempuan yang bersedia melakukan amaliyah. Namanya Dian Yulia Novi. Ummu meminta Solihin menghubungi Dian. Keduanya berkomunikasi via aplikasi Telegram Messenger. Kepada Solihin, Dian menceritakan cita-citanya ingin melakukan amaliyah bersama suami. Solihin berterus terang bahwa Bahrun Naim hanya memerintahkannya mencari perempuan yang mau melakukan amaliyah. "Jadi tidak bisa amaliyah bareng," ujar Solihin.
Pada awalnya, Solihin tidak berpikir bakal menikahi Dian. Jangankan kenal, fotonya saja pun dia tak tahu. Di Telegram, keduanya memang tidak memasang foto masing-masing. Apalagi ketika itu dia sudah beristri, Arinda Putri Maharani, dengan anak berusia tujuh bulan. Solihin merenung. Setelah berbicara kepada istri pertamanya, pria kelahiran 1990 itu pun memutuskan menikahi Dian. "Kalau dinikahkan ke orang lain, nanti rencananya malah bocor," katanya.
Keduanya hanya sempat berjumpa tiga kali setelah pernikahan kilat tersebut. Selama tiga bulan menikah, Dian pernah menerima transfer uang sebesar Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta. Sebelum berangkat ke Jakarta, Solihin kembali memberi uang Rp 750 ribu. "Saya merasa itu uang dari suami, bukan dari Bahrun," ujar Dian. Belakangan, Dian tahu uang itu dikirim Bahrun.
Solihin pun memperkenalkannya dengan Bahrun Naim. Saat itu, kata Dian, Bahrun menanyakan kesiapannya melakukan amaliyah. Bahrun juga menjelaskan ada tim yang bakal mensurvei Istana Negara untuk menentukan lokasi. Perintah Bahrun, seperti ditirukan Dian, "Ledakkan pada Minggu jam tujuh pagi saat latihan Paspampres."
Sepekan sebelum ditangkap Densus Antiteror, Solihin dan Dian berangkat ke Jakarta untuk mempersiapkan bom bunuh diri. Solihin berangkat dari Solo, sementara Dian menunggu di Terminal Cirebon. Karena tiba terlalu malam, mereka menyewa penginapan di depan terminal. Keesokan harinya, mereka mencari rumah kos di Bintara dengan tarif Rp 750 ribu. "Saya bilang ke ibu kos, Dian sedang menunggu panggilan pekerjaan," kata Solihin. Di tempat kos tersebut, Solihin sempat menginap semalam. Keesokan harinya, setelah mengantar Dian ke pasar, dia kembali ke Solo. Dia menyiapkan bom panci dan membawanya ke Jakarta.
Perlu upaya ekstra bagi Solihin untuk meyakinkan adik kelasnya di kampus, Khafid Fathoni alias Toni bin Rifai. Bersamaan dengan perintah mencari perempuan yang mau melakukan amaliyah, Bahrun Naim memintanya mencari "koki", orang yang membuat bom. Orang pertama yang dia cari adalah Fathoni. "Awalnya dia tidak mau. Setelah saya bujuk tiga kali, dia bersedia," ujar Solihin.
Pelaku amaliyah di tangan, peracik bom pun sudah siap. Untuk memudahkan koordinasi, Bahrun Naim, Solihin, dan Fathoni membuat satu grup di Telegram. Namanya Kulak Tahu. Di grup itulah Bahrun menyampaikan tutorial pembuatan bom menggunakan panci kepada pria kelahiran 9 Juni 1994 tersebut. Selain merekrut Fathoni, Solihin mengajak Suyanto alias Abu Iza, petani di Karanganyar, Jawa Tengah, bergabung dengan sel jaringannya.
Pembelian bahan baku bom dicicil oleh Solihin dan Fathoni. Solihin, misalnya, membeli tiga kilogram paku di Solo pada 7 Desember lalu. Padahal saat itu Solihin tak sedang membangun rumah. Densus Antiteror hendak menangkap Solihin saat itu juga. "Tapi kan tidak ada larangan orang membeli paku," kata seorang anggota Densus.
Fathoni meracik bom di rumahnya di Desa Walikukun, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur. Dana pembuatan bom ditransfer Bahrun Naim melalui rekening istri pertama Solihin, Arinda Putri Maharani. Solihin mengatakan uang dikirim dua kali dengan total nilai Rp 5 juta. "Selain untuk bom, untuk membayar kontrakan," ujar Solihin.
Kamis dua pekan lalu, Solihin dan Fathoni berjanji bertemu di rumah Abu Iza di Matesih, Karanganyar. Tiba selepas salat magrib, ketiganya sempat makan ayam goreng lalapan. Di sekitar rumah Abu Iza sedang ramai anak-anak bermain. Mereka tak ingin menanggung risiko, maka lokasi perakitan bom dipindahkan ke rumah orang tua Abu Iza, tak jauh dari lokasi awal. "Bom sudah siap, tinggal dirakit dengan panci," kata Solihin.
Perakitan bom dimulai sekitar pukul sembilan malam. Solihin menyerahkan tiga kilogram paku, sebagai pengganti gotri. Fathoni pun mengotak-atik bom racikannya untuk ditempatkan di panci presto. Hampir tiga jam mereka berkutat dengan kegiatan ini, perakitan bom selesai tepat sebelum tengah malam. Solihin menyimpan bom panci tersebut dalam sebuah ransel hitam. Lewat tengah malam, ketiganya berpisah. Solihin kembali ke Solo, Fathoni kembali ke Ngawi.
Keesokan harinya, Solihin bersama Agus Supriyadi menemui Abu Iza, yang membawa bom tersebut ke sebuah pompa bensin. Ransel berisi bom dia taruh di jok belakang. Bom ini bakal diserahkan kepada Dian Yulia Novi, yang telah bersiaga di Bintara. Anggota Pusat Laboratorium Polri, Komisaris Jack, mengatakan bom panci itu menggunakan TaTp atau triacetone triperoxide. Bahan ini memiliki daya ledak hingga 5.300 meter per detik.
Di tengah perjalanan menuju Jakarta, Solihin sempat berpikir, bagaimana seandainya bom itu meledak karena guncangan. Solihin berkata, "Tapi saya sih tidak takut."
Wayan Agus Purnomo, Danang Firmanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo