Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Boed, Sang Bima dari Blitar

Dilahirkan dari sebuah keluarga sederhana, Boediono diasuh dengan cita-cita besar: sekolah tinggi di luar negeri. Ayahnya buta sejak paruh baya, telaten menemani anak-anaknya belajar.

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di lantai sebuah rumah tua di Blitar, Boediono melukiskan sebagian lamunan masa kanak-kanaknya. Dengan sebatang kapur di tangan, dia bergerak dari bidang ke bidang lantai, melukiskan apa yang terlintas di kepala.

Mula-mula Boed—begitu dia disapa—kerap mencoretkan spoor, kereta api. Beranjak remaja, obyek kegemarannya berganti ke wajah kepala suku Indian lengkap dengan mahkota berhiasan bulu. Tapi yang paling sering ia gambar adalah Bima, tokoh cerita wayang Pandawa lima bersaudara, yang perkasa, berani, dan teguh membela kebenaran. Ahmad Siswo Sardjono, ayahnya, kerap menuturkan tokoh ini kepada Boediono kecil.

Dan Boediono agaknya berhasil mewujudkan impian sang ayah: menjadi Bima bagi keluarga—seperti penuturan Tuti Iswari, adik perempuannya. ”Justru karena diamnya itu. Kalau cerewet, bukan Bima lagi namanya,” ujar Tuti sembari tertawa renyah.

Boediono adalah anak kedua dari Ahmad Siswo Sardjono. Meninggal pada 1974, Ahmad mewariskan keturunan dari dua istri. Sofiah, istri pertamanya, memberi dia seorang putra, Ahmad Kusyairi. ”Karena Bapak aktif dalam organisasi, jadi tidak klop. Keduanya pisah baik-baik,” tutur Tuti. Sebelas tahun kemudian, Ahmad Siswo menikah lagi dengan Samilah.

Dari istri kedua yang meninggal lima tahun lalu ini, Ahmad memperoleh empat anak. Boediono, kini 66 tahun, Sri Utami Indrayati yang meninggal pada usia 10 tahun, Tuti, 61 tahun. Dan, Jati Kuntjoro, 51 tahun.

Keluarga Ahmad Siswo berasal dari Yogyakarta. Turun-temurun mereka menekuni perdagangan batik. Ahmad Siswo hijrah ke Blitar, Jawa Timur. Dia mencari pasar baru karena pasar Yogya sudah riuh. Warga Blitar menjuluki mereka ”Keluarga Mataraman” karena berasal dari Yogya. ”Kami masih bersaudara dengan pemilik Toko Terang Bulan dan Toko Istana Batik di Malioboro, Yogya,” kata Jati Kuntjoro, yang mendampingi kakaknya menemui Tempo.

Kelima anak Ahmad Siswo lahir dan besar di sebuah rumah sederhana berukuran 200 meter persegi di Jalan Wahidin 6, Kelurahan Kepanjen Lor, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar. Beranda ruang tamu keluarga diubah menjadi toko batik. Seminggu sekali Samilah, istri Ahmad Siswo, ke Solo dan Yogya untuk mengambil kain batik. Samilah adalah anak ke-13 dari keluarga Padmowigeno.

Tuti mengenang ayahnya sebagai sosok amat intelek. Bahasa Inggris dan Belandanya istimewa. Ahmad juga pandai bermain biola. Foto ayah mereka semasa muda lebih mirip sarjana lulusan Belanda, bukan pedagang batik dari Blitar.

Ahmad Siswo aktif dalam Suryo Wirawan, organisasi pemuda kepanduan dari Partai Parindra-nya Bung Tomo. Organisasi pemuda nasionalis ini sempat dicap Hitler Jungen karena gaya salamnya mirip dengan Heil Hitler, gaya salam antar-sesama pengikut Hitler: mengangkat tangan kanan lurus ke depan. Karena sifatnya yang nasionalis, Suryo Wirawan dicap ilegal dan dilarang berkegiatan ketika Jepang masuk pada 1942.

Setelah perang usai, ketika belum lagi 40 tahun, ayah lima anak itu menderita glaukoma. Seorang dokter di Rumah Sakit Mata Dr. Yap, Yogyakarta, menyarankan operasi. ”Tapi Ayah menolak,” kata Tuti. Lama-kelamaan, ia kehilangan seluruh penglihatannya.

Hingga wafat akibat kanker paru-paru di usia 65 tahun, Ahmad Siswo tak bisa bepergian jauh. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Samilah mengambil alih tugas mencari nafkah keluarga. Nah, pada masa-masa itu, Boediono mendapat tugas membuka dan menutup toko batik di beranda rumah itu.

Kakak sulung mereka dari ibu pertama, Ahmad Kusyairi, meninggalkan rumah sejak mereka masih kecil. Selama belasan tahun, dia mengikuti sang paman, Profesor Dr H.M. Rasjidi— diplomat Indonesia pertama di Mesir. Alhasil, Boediono selalu bertiga dengan adik-adik perempuannya, Sri Utami dan Tuti.

Hubungan ketiga sekandung ini erat sekali. Pergi dan pulang sekolah di SD Muhammadiyah Blitar selalu bersama. Sekolah itu amat sederhana. ”Semua siswa tidak bersepatu, sandal pun tidak. Saya juga tidak,” kata Boediono kepada Tempo di Yogyakarta.

Sepatu bisa jadi tidak penting. Tapi sekolah adalah soal mahapenting. Setidaknya itu yang selalu dipesankan Ahmad dengan tidak bosan-bosannya. Semua anak dia pandu agar tekun belajar. Orientasi Ahmad adalah agar anak-anaknya bersekolah tinggi di luar negeri. ”Kalau pintar, bisa dapat beasiswa sekolah ke luar negeri,” katanya setiap kali kepada Boediono dan saudara-saudaranya.

Dan Ahmad serius betul mengawasi studi anak-anaknya. Setiap anak mesti melaporkan ponten yang mereka dapat untuk pelajaran hari itu, terutama mencongak. Mereka belajar bersama setiap malam di meja makan. Karena tak bisa melihat, Ahmad Siswo menggunakan kemoceng (bulu ayam) untuk mengontrol apakah kepala anak-anak masih tegak menatap buku. Kalau menunduk atau tertidur, kemoceng beralih jadi ”senjata”.

Boediono kecil bukannya tanpa kenakalan. Ia kerap membuat bingung pembantu yang diminta mencarinya agar segera pulang. ”Mboten kepanggih, Ndoro,” si pembantu melapor pada Ahmad dengan agak ketakutan karena majikan kecilnya tak ketemu. Ada pula masa-masa ketika Boed kecil gemar ikut bibinya ke pasar.

Di pasar itu dia berdiri di ketinggian dan menguliahi orang banyak, seperti berpidato. Padahal di rumah ia sering diganggu Harmani, sepupunya dari Tulungagung, dengan istilah Boed ngiler, karena sewaktu kecil Boediono sering mengeluarkan air liur. ”Jadi pidato, tapi masih ngiler,” kata Tuti. Harmani tujuh tahun lebih senior dari Boediono dan mereka kerap berlibur bersama di Blitar. Satu yang dia ingat dari masa kecil mereka: kemahiran Boediono membuat mercon.

Untuk mendisiplinkan anak-anaknya, Ahmad Siswo punya cara menghukum yang khas, yakni memasukkan mereka ke almari jati besar. ”Hayo, kapok enggak?” ayahnya berteriak dari luar. Kalau ada jawaban kapok, baru dia membuka pintu lemari.

Masing-masing juga diminta mengerjakan tugas rumah. Boediono menimba, mengisi bak mandi. Tuti dan Indrayati menyapu dan mencuci piring. Ketika Indrayati wafat pada usia 10 tahun setelah sakit tifus, adalah Boediono yang paling kehilangan, karena In—panggilan akrabnya—amat dekat dengannya.

Mereka kerap bermain layangan bersama. Boed menerbangkan, Indrayati menggulung benang. ”Kalian itu dari satu rahim, tapi pasti nasibnya tidak sama. Tak boleh saling iri, tak boleh benci. Harus saling membantu, tak boleh lapar, semua harus sekolah,” begitu Ahmad Siswo selalu berpesan.

Tuti teringat betapa Boediono kecil gemar makan sayur lodeh, rawon, dan pecel buatan ibunya. Kegemaran ini berlanjut terus hingga ia sekolah dan tinggal di Yogya. ”Kalau Mas Boed pulang ke Blitar, Ibu akan memasak otak goreng kesukaannya,” kata Tuti.

Seperti ayahnya, Boediono cenderung pendiam. Tapi temannya banyak. Seingat Tuti, rumah mereka di jalan besar itu sering dijadikan tempat nongkrong teman-teman sekolah Boed. Dan Samilah menyediakan jajan pasar. Boediono pandai bermain gitar dan menggambar. Tapi kepintaran dia paling menonjol adalah segala hal berbau angka. ”Pintar aljabar, keuangan, hukum dagang, pintar semuanya,” kata Dibyo Prabowo, 70 tahun, bekas teman sekelasnya sewaktu SMA.

Pada masa kecil, Boediono sempat bercita-cita jadi insinyur. Namun di SMA dia memilih jurusan C atau sosial ekonomi. Sang ayah melepasnya dengan bangga ketika ia berhasil masuk Jurusan Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Hanya setahun di situ, ia dapat beasiswa Colombo Plan untuk melanjutkan studi ke Australia dalam usia 19 tahun.

Sepeninggal Boed ke Yogya untuk kuliah, si bungsu Jati menjadi ”teman” Ahmad Siswo hingga akhir hayatnya. Dia tenang-tenang mendengarkan siaran radio Hilversum Belanda, Deutsche Welle dari Jerman, atau Voice of America. Jati duduk di sebelahnya memegang buku tulis dan pensil, siap mencatat apa yang diperintahkan ayahnya.

Menurut Jati, ayahnya gemar menyimak perkembangan politik luar negeri dan pelajaran bahasa. Sambil menirukan kata-kata dan pengucapannya, ia menyuruh Jati mengecek penulisannya di kamus. Ahmad sering mendiktekan surat kepada Jati untuk berkorespondensi dengan radio-radio tersebut. Di rumah mereka bertumpuk buku pelajaran yang dikirimkan dari luar negeri. ”Saya juga menuliskan surat Ayah untuk Mas Boed di Australia,” kata Jati.

Ketika Ahmad menutup mata pada 1974, impiannya tentang ”sekolah tinggi di luar negeri” telah dipenuhi Boediono dengan patut: dia master dari Monash University, Melbourne. Dan beberapa tahun kemudian, dia meraih gelar doktor The Wharton School of the University of Pennsylvania—salah satu sekolah ekonomi terbaik di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus