Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di SMA ia jarang bicara, tapi jago bermain gitar, menyanyikan lagu-lagu The Beatles bersama band sekolah. ”Orangnya mesam-mesem thok (senyum-senyum saja), tapi pintar sekali,” kata teman dekatnya, seorang rektor universitas swasta di Yogyakarta. ”Dari aljabar, keuangan, hukum dagang, sampai melodi lagu dia kuasai.”
Boediono, siswa SMA Blitar, Jawa Timur, dan kini kandidat wakil presiden 2009, sebenarnya tidak suka berorganisasi. Tapi hampir di sepanjang hidupnya selalu saja ada keadaan khusus yang mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pernah direncanakan. Ketika duduk di kelas tiga, keadaan memaksanya jadi ketua kelas, karena ketua kelas yang sesungguhnya terpilih menjadi ketua OSIS. ”Dia terpaksa menerima, manut disuruh-suruh cari kapur tulis,” tutur sang teman, tertawa.
Lulus dari SMA, Boediono akhirnya melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, satu bidang yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya. ”Hanya ikut-ikutan teman. Sepertinya jurusan ekonomi kok oke. Cinta ekonomi tuh tidak. Ramai-ramai saja, daftar sana ikut, sini ikut,” kata Boediono. Ia melukiskan masa kuliah pada tahun pertama itu ”datar-datar saja”, kecuali untuk satu momen yang tak pernah dilupakannya.
Waktu itu, suatu siang pada 1961, usianya masih 18 tahun, ia menyimak sosok seorang lelaki berkacamata yang tengah memberikan kuliah umum di kampus Pagelaran Keraton Yogyakarta. Mohammad Hatta, lelaki itu, adalah Wakil Presiden RI, dan ia menguraikan pendapatnya tentang dunia seorang ekonom. Dunia yang tidak steril, karena ekonomi tidak bisa berdiri sendiri dan perlu pemahaman dari disiplin hukum, sosial, politik, dan lain-lain. Hatta mencela ekonom yang hanya memahami sisi teknis ilmunya. ”Berangkat sampai di tujuan, tapi tak tahu situasi perjalanan,” begitu kata-kata sang proklamator yang tak pernah dilupakan mahasiswa baru itu.
Dunia akademis yang datar itu kini mulai menarik hati Boediono, apalagi kampus Pagelaran kerap dikunjungi profesor. Boediono beruntung, karena sebagai mahasiswa tingkat satu, ia sudah digembleng para pakar. Namun kesulitan ekonomi kemudian menyergapnya di tengah jalan dan uang kiriman ibundanya hasil berjualan batik itu seret. Harga barang membubung gara-gara inflasi. Kondisi ini membuat anak kos di kampung Ngadiwinatan, NG II, Jalan Patok, dekat pos polisi itu sulit bernapas.
Uang kiriman wesel hanya cukup untuk bayar kos dan nunut makan ibu kos dua kali sehari. Kalau lapar menyerang, ia mesti puasa. ”Sebulan sekali baru jajan bakso atau tongseng dekat kampus Pagelaran atau Malioboro.” Dan tak dinyana, dari kondisi serba terjepit ini, terbukalah sebuah dunia baru bagi mahasiswa fakultas ekonomi tingkat dua ini. Boediono memperoleh beasiswa Colombo Plan. Bersama Abdillah Toha, yang kini menjadi legislator Partai Amanat Nasional, ia diterima di University of Western Australia.
Ya, satu dunia yang penuh kejutan. Mengenakan kemeja berdasi, ia mendarat di Sydney, Australia, untuk belajar bahasa Inggris selama satu tahun. ”Kami syok. Bayangan kami mereka pakai dasi dan baju hangat,” ternyata warga kota itu mayoritas pakai kaus singlet karena musim panas.
Ia telah melompat jauh. Lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, Boediono yang menghabiskan masa kecil hingga SMA di kota kelahirannya itu sekarang terdaftar sebagai mahasiswa ekonomi makro University of Western Australia. Setahun kuliah di UGM tak diakui. Ia kuliah di negeri orang dan menghabiskan saat senggang dengan membeli buku. Mulanya biografi tokoh terkenal dan filsafat Plato, lalu konsentrasi buku ekonomi. ”Kemampuan bahasa Inggris makin bagus, jadi kemaruk baca apa saja.”
Sebagian beasiswa ditabung. ”Untuk beli kamera yang saya impikan sejak SD.” Setelah terkabul, tabungan dibelikan mobil. Sayang hanya bertahan dua tahun karena perawatannya mahal. Dengan mobil itu Boediono menjelajah wilayah Australia Barat, termasuk melihat budaya lokal. ”Sejak kecil saya suka nonton jatilan di kampung.”
Perjalanan mengelana membuat Boediono menarik kesimpulan: Australia negara muda. Kebudayaan masih dari Inggris yang dalam proses adaptasi lokal dan belum well established, sehingga tak perlu diperdalam.
Pada musim liburan, Boediono dan Abdillah Toha bekerja sambilan di kawasan pertanian Perth, bagian utara Australia Barat, menjadi operator mesin penerima setoran gandum di sebuah lembaga semacam Bulog di Indonesia. Mereka mengoperasikan mesin besar untuk memasukkan gandum yang turun dari truk ke gudang. Kadang jadi kuli angkut. ”Itu memang kerja kasar, kok.” Tapi honornya lumayan besar, bisa ditabung, beli buku, dan traveling.
Di sela belajar, Boediono kembali mengukir kecintaannya memetik dawai gitar. Bersama Abdillah Toha, mereka membentuk band beraliran musik calypso beranggotakan lima orang mahasiswa Indonesia. ”Kami sempat beberapa kali masuk televisi di Australia dan main di sejumlah klub,” kata Abdillah Toha, yang saat itu memegang ketipung. Salah satu anggota band lainnya yang masih diingat Abdillah bernama Muzahid. ”Hanya saya dan Pak Boed yang masih kontak-kontakan.”
Honor yang diterima kerja jadi kuli angkut dan main musik dalam mata uang pound sterling. Bagi mahasiswa Indonesia jumlahnya lumayan besar. Apalagi saat itu nilai rupiah terpuruk. Pada 1968, ketika pulang ke Tanah Air, Boediono beli rumah kecil di Jalan Samiaji, daerah Senen, Jakarta Pusat. ”Uang itu dari tabungan di Australia,” kata Boediono.
Pada 1965, saat duduk di tingkat tiga, Boediono cuti dua bulan pulang ke Tanah Air. Saat itu pergolakan politik marak di mana-mana. Dari Jakarta menuju Blitar, Boediono menumpang kawannya yang hendak pulang ke Jawa Timur. ”Suasana mencekam, tak tahu siapa lawan siapa kawan,” kata Boediono. ”Perjalanan tegang karena selalu ada pemeriksaan.”
Saat pulang kampung itulah, Boediono memutuskan tukar cincin dengan Herawati, kekasihnya di Blitar. Seuntai jam tangan juga dia persembahkan sebagai pengikat hati gadis pujaan. Selama berjauhan hanya pucuk surat dua pekan sekali yang mempertautkan cinta mereka. Tentang wanita, Abdillah memuji sahabatnya sebagai lelaki setia. Selama di Australia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita mana pun kecuali pacarnya di Blitar. ”Pacarannya cuma lewat surat.”
Usai bertukar cincin, Boediono kembali meneruskan kuliahnya di Australia. Setahun kemudian dia lulus dari University of Western. Boediono lalu mengambil gelar Master di Monash University, Melbourne. Sempat menjadi asisten riset di Australian National University. Pada 1968, ketika sedang mengerjakan tesis, dia kembali ke Indonesia. Sambil menyelesaikan tugas akhir studinya, dia bekerja di Bank of America di Jakarta. Saat itu Abdillah Toha, sahabat dan teman seperjuangannya, telah lebih dulu bekerja di bank itu. ”Bukan saya menolong, hanya memberikan akses,” kata Abdillah.
Mengantongi gelar master, pada 1973 Boediono kembali mengajar di UGM. Dua tahun kemudian menempuh program doktoral di Wharton School, Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Setelah empat tahun kuliah, Boediono berhasil meraih gelar PhD pada 1979, lalu pulang kembali ke Yogyakarta untuk mengajar. ”Sambil mengajar, saya meneliti ekonomi Pancasila tahun 1980 dengan Pak Mudradjat Kuncoro,” kata Boediono. Lalu ada tawaran Bappenas dan kariernya terus menanjak.
Tony Prasetyantono, dosen Fakultas Ekonomi UGM yang pernah menjadi mahasiswa dan asisten Boediono, mengisahkan Boediono mengajar di semester awal dan akhir. ”Jadi para mahasiswa itu di-sandwich Pak Boed.”
Boediono bukan tipe dosen yang pongah. Pulang-pergi ke kampus untuk mengajar, hingga tahun 1980-an, Boediono naik sepeda motor Honda bebek 80 CC warna merah. Setahun kemudian ganti Toyota Kijang ”doyok”, lalu ganti Honda Accord. ”Mobil bekas tapi masih bagus.”
Pada 1990, saat Tony di Pennsylvania bersama Anggito Abimanyu, Boediono datang ke Philadelphia. Dia minta diantar beli jas obralan di mal yang harganya US$ 40. ”Murah sekali, padahal beliau sudah menjabat Deputi Fiskal dan Moneter Bappenas.”
Selama mengajar di UGM, Boediono tinggal di Sawit Sari, bertetangga dengan Ichlasul Amal dan Amien Rais. Dia juga berteman dengan ekonom dari Jawa Timur, seperti Boediono Sri Handoko, Dibyo Prabowo, dan Hadori Yunus, doktor dan akuntan profesional. ”Temannya hanya lingkungan akademis.”
Soal gagasan ekonomi Pancasila, menurut Dibyo Prabowo, berangkat dari pemikiran: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Saat itu Dibyo menjadi asisten Profesor Mubyarto, pendiri Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM. Sejumlah ekonom berkumpul di rumah Mubyarto, merancang gagasan yang kemudian diseminarkan. ”Pak Boediono ditunjuk menjadi editor hasil kajian ekonomi Pancasila karena waktu itu dia menganggur sepulang dari sekolah doktoral di Amerika.”
Pada suatu siang, Dibyo ditelepon Ketua Bappenas, Profesor J.B. Sumarlin. Dia bertanya apakah di UGM ada orang bernama Boediono yang menulis artikel tentang pembangunan Indonesia di harian Kompas. ”Pak Boed saya beri tahu, kemudian menghadap Pak Marlin.” Dia ditunjuk menjadi Kepala Biro Ekonomi Bappenas. Sejak itulah karier Boediono melejit. Masuk kabinet, Gubernur Bank Indonesia, dan kandidat wakil presiden. Hanya satu yang terlewat: menjadi gitaris yang mengiringi lagu-lagu calypso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo