Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Wisteria Lane Berkisah kepada Kita]

Sebuah serial baru yang langsung meledak dan kini ditayangkan oleh stasiun Indosiar. Kapan Indonesia memiliki serial bagus yang masuk akal?

19 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESPERATE HOUSEWIVES Kreator: Tom Spezialy Pemain: Teri Hatcher, >Felicity Huffman, Marcia Cross, Eva Longoria Produksi: Touchstone Television

Wisteria Lane memulai sebuah hari yang tenang dan sejuk dengan sebuah peristiwa berdarah. Bunuh diri. Mary Alice (Brenda Starr), ibu dari seorang putra, entah kenapa, mengakhiri hidupnya. Kemudian dari narasi (arwah) Mary Alice kepada penonton, kita kemudian mengenal penghuni Wisteria Lane, sebuah pemukiman kelas menengah atas di daerah suburbia Amerika yang mapan dan dibungkus ketenteraman.

Nyatanya, rumput yang begitu hijau dan rapi bak renda di pinggir halaman; rumah-rumah mungil bak vila, senyum indah dengan butiran gigi bak mentimun sebagai gambaran keluarga sempurna Amerika itu hanya gambaran palsu. Melalui narasi kepada penonton, Mary Alice memperkenalkan kawan-kawannya satu per satu lengkap dengan persoalannya. Susan Mayer (Teri Hatcher), seorang janda cantik berputra satu yang ditinggal suaminya lantaran terpincut perempuan blonda dengan sepasang buah dada yang membusung. Susan tentu saja masih penuh dendam, namun tak tahu bagaimana cara menyalurkan kemarahannya. Untung saja dia memiliki seorang putri remaja, Julie yang sangat penuh pengertian dan selalu menganjurkan ibunya berkencan agar bisa melupakan ayahnya yang tak setia itu. Lynette Scavo (Felicity Huffman), seorang mantan eksekutif iklan terkemuka yang menghentikan kariernya karena merasa harus mengurus keempat putranya yang bandelnya luar biasa. Gabrielle Solis (Eva Longoria), seorang mantan model yang menikah dengan seorang pengusaha kaya dan sehari-hari bertingkah sebagai nyonya kaya seksi yang tidur dengan John (Jesse Metcalfe), tukang kebunnya yang tampan dan belia. Bree Van de Kamp (Marcia Cross), salah satu anggota ”geng” nyonya-nyonya Wisteria Lane yang selalu ingin tampil sebagai istri dan ibu yang sempurna, rapi, bersih, telaten dan gambaran Ratu Rumah Tangga idaman.

Kematian Mary Alice—ia menembak pelipisnya sendiri—membuka serial televisi ini dengan sebuah pernyataan: kecantikan di luar umumnya menyimpan setumpuk borok yang mengerikan. Keempat kawan ini berkumpul mencari tahu apa yang menyebabkan salah satu kawan mereka yang kehidupannya tampak begitu sempurna, akhirnya menyelesaikan hidupnya begitu saja. ”Investigasi” ala para nyonya ini dimulai dengan penemuan surat kaleng yang ditujukan pada Mary Alice yang berbunyi: ”Saya tahu apa yang sudah kamu lakukan.” Mereka kemudian menebak-nebak, mencari tahu siapakah dari tetangga mereka yang tega menulis surat pemerasan itu.

Topik bunuh diri inilah yang menjadi benang merah pengikat keempat sekawan Susan, Bree, Lynnette, dan Gabrielle di antara kesibukan mereka menyelesaikan problem rumah tangga yang menggedor-gedor.

Meski serial ini diawali dengan problem yang begitu ”gelap”—kematian—namun sesungguhnya ini sebuah komedi yang menggunakan elemen opera sabun dengan cara yang jauh lebih cerdas. Saya katakan ”jauh lebih cerdas” karena jelas sejak awal kreator Tom Spezialy sudah merentang storyline (jalan cerita) alias plot dengan pasti dan tetap; seluruh perjalanan problem setiap tokohnya sudah dirancang—tanpa peduli jeritan rating atau dominasi stasiun televisi—sehingga dengan plot yang lebih kental mereka justru meraih rating yang melejit hingga bersaing dengan serial CSI yang sudah lama merajai televisi dunia.

Teri Hatcher, si jelita yang pernah menjadi gadis James Bond dan lebih dikenal sebagai Lois Lane dalam serial Superman, masih bersinar, dan masih jelita. Marcia Cross yang dikenal penonton Indonesia melalui serial Melrose Place dan salah satu episode serial CSI, tampil penuh greget. Dialah gambaran Ratu Rumah Tangga yang lebih mempersoalkan citra ketimbang keaslian; hingga suatu hari ketika ia runtuh juga dalam tangisan—karena suaminya ingin bercerai—Bree sibuk mengurus bunga mawarnya sembari mengusir air mata. Di muka publik, Bree harus selalu terlihat licin dan sempurna, tanpa problem, tanpa kerut di wajah.

Serial ini tentu bisa menjadi inspirasi bagi stasiun televisi serta rumah produksi bahwa sebuah serial yang bagus bisa saja tak harus berurusan dengan hantu, khotbah, atau problem rumah tangga dengan para ibu yang selalu tampak jahat dan para menantu selalu jadi korban. Para penguasa stasiun televisi dan rumah produksi harus percaya bahwa penonton Indonesia sudah mulai cerdas dan ukuran kecerdasan itu tak harus selalu diatur oleh rating. Toh, ”inspirasi” tak berarti menjiplak. Saya katakan ”inspirasi”, artinya: mbok ya, bikin serial atau sinetron yang bagus, yang enak ditonton, yang tidak membuat kita terbahak-bahak karena cerita atau adegannya yang tidak masuk akal.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus