Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tetap bertahan dari keruntuhan

Perjuangan harus didasari dengan optimisme, walaupun lingkungan tidak memungkinkan. tapi kita harus terus berjuang, tanpa ketakutan walaupun belum memperlihatkan titik terang. (fk)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU bangsa tak mungkin berangkat dengan pesimisme. Perjalanan dalam sejarah adalah perjalanan dalam separuh gelap. Kita memerlukan semacam iman. Negarakertagama kabarnya menyebutkan sesuatu yang menarik tentang Kertanegara, raja Singasari terakhir di abad ke-13. Yakni, bahwa ia merasa hidup dalam jaman Kali yuga. Inilah, menurut kosmologi Hindu, masa terakhir dari sejarah bumi, yang ditandai kekalutan, kebingungan dan bencana. Tapi Kertanegara tak menyerah. Sebagai raja ia merasa terpanggil oleh tugas penyelamatan. Ia memang penganut Budhisme Tantri yang rituilnya adalah orgi dan mabuk-mabukan. Tapi konon baginya itulah cara penyempurnaan diri. Sementara itu, sebagai raja, yang menghadapi ekspansi Kubali Khan ke Asia Tenggara, ia menanam pengaruh ke negeri sekitar -- sampai Sumatera dan Campa -- mungkin dengan strategi yang kini disebut containment. Ia memang terbunuh oleh Jayakatwang. Untuk sementara akhir jaman seakan-akan terjadi. Tapi agaknya tak salah bila dikatakan Kertanegara-lah yang meletakkan dasar jaman baru yang lebih besar: jaman Majapahit. Memang tak mudah mendapat jawab, ketika periode menunjukkan tanda-tanda suram dan para pemikir bertanya: apa yang bakal terjadi? Tapi Ronggowarsito pun dalam Kalatida, setelah ia mengeluh tentang jaman edan di masa hidupnya, mencoba mengembalikan kemungkinan yang bisa ditempuh seorang manusia, yakni untuk tetap bertahan dari keruntuhan mutunya sendiri. Betulkah kemungkinan itu ada? Agaknya kita tak cuma hanya perlu berbicara tentang batas kemampuan manusia, melainkan juga batas dari kelemahannya. Sejarah memang pada akhirnya banyak menghadirkan kekecewaan. Impian semula tak seutuhnya terpenuhi. Bahkan revolusi-revolusi dikhianati oleh para pendukungnya sendiri, cuma dalam waktu beberapa tahun. Tak mengherankan, ketika Albert Camus melontarkan kembali mithos Sysyphus kira-kira seperempat abad yang lalu, ia disambut dengan gembira: ia telah menghibur dengan menunjukkan bahwa manusia toh bisa berbahagia, meskipun apa yang dibangun dan dikerjakannya pada akhirnya tak membebaskannya dari beban. Ada sesuatu yang heroik memang di situ, yang seakan-akan berkata: "Kita terus, tanpa ketakutan, tapi juga tanpa harapan". Dunia dan ciptaan Tuhan toh tak sesempurna Tuhan itu sendiri. Masalahnya ialah bahwa sikap seperti itu sering hanya selubung dari putus asa. Juga mungkin suatu apologi, bahwa manusia tak perlu menumbuhkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Namun seperti Rabindranath Tagore sebetulnya kita bisa bertanya adakah ketidak-sempurnaan ini merupakan kebenaran terakhir. "Sungai pun punya batasnya, tebing-tebingnya tapi apakan sebuah sungai berarti hanya tebingnya?".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus