Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cipatat Meledak

Ledakan mesiu buangan di desa cipatat, cimahi memakan korban 61 orang. mesiu dibuang di areal milik pusat infantri seluas 2000 ha. selongsong peluru menjadi penghasilan sampingan penduduk. (nas)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Cipatat, 33 Km dari Bandung, minggu lalu mendadak jadi terkenal karena ledakan mesiu yang mengakibatkan 61 orang cedera. Awal bulan lalu, kepala desa setempat Somantri, menerima surat dari Pindad yang mengabarkan bahwa hari Kamis sampai Sabtu akan ada pembuangan mesiu bekas di tempat itu. Somantri tidak terkejut, sebab hal itu sudah biasa dilakukan dan belum pernah terjadi musibah apa-apa. Tapi entah bagaimana, pembuangan mesiu baru dimulai hari Jumat, dan sampai hari Senin, truk-truk Pindad masih berdatangan membawa mesiu bekas untuk dibuang di bukit-bukit yang letaknya 2 Km dari jalan raya Bandung-Jakarta. Ternyata, Senin minggu lalu itulah yang membawa naas. Kira-kita jam 2 tengah hari, dua buah truk sudah selamat menurunkan muatannya. Tinggal truk ketiga dan terakhir. Entah bagaimana mulanya, dari tumpukan mesiu di truk ketiga tiba-tiba ada api meloncat. Barangkali sumbernya dari knalpot truk ketiga itu", kata seorang penduduk. Tapi seorang perwira di Cimahi berpendapat lain. Katanya, "api mungkin saja berasal dari sumber panas tanah yang sudah terpanggang matahari sehari penuh". Dalam sekejap, api merembet dalam radius 50 meter. Seorang kapten Pindad yang ditugaskan mengurus pembuangan mesiu itu hanya sanggup jumpalitan beberapa kali. Untung cuma tangannya lecet, namun tak urung dia harus dirawat beberapa hari di rumah sakit Dustira, Cimahi. Seluruhnya 61 orang menjadi korban musibah di Cipatat itu. Penduduk setempat ada 48 orang, sisanya karyawan Pindad. Dua orang meninggal saat itu juga, yakni seorang sopir truk dan seorang anak sekolah berumur 12 tahun, yang sedang berada di ladang. Banyaknya korban penduduk Cipatat itu disebabkan karena mereka memang suka ikut campur dalam pembongkaran mesiu itu. Maklumlah, mesiunya itu selalu dipak dalam peti-peti yang dilak rapi. "Peti inilah yang biasanya menjadi incaran penduduk", kata Somantri yang sudah jadi lurah 6 tahun lamanya. Selain itu peti, penduduk juga mengincar upah Rp 250 per orang yang diberikan oleh petugas-petugas Pindad. Juga selongsong kuningan bekas peluru yang biasanya dibuang berbarengan dengan peti-peti mesiu itu jadi bahan rebutan penduduk. "Dijual laku Rp 4 per buah", kata seorang penduduk pada TEMPO. Satu jam sesudah musibah, korban sudah dikumpulkan di kantor desa yang berubah menjadi pos komando. Ada yang diangkut ke RS Dustira Cimahi, ada juga yang langsung dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung. Sejak saat itulah, korban yang meninggal bertambah terus. Sang lurah jadi repot memirnnin penguburan rakyatnya, sambil mengurusi para keluarga yang ingin menengok korban di rumah sakit. "Kamilah yang membayar ongkos mereka bolak-balik" katanya pada Abdullah Mustappa dari TEMPO. Memang di sana ada mobil, tapi bensinnya tetap saja harus dibeli. Sumbangan baru datang dari PMI, berupa 305 kilo beras, 183 kaleng susu kental, dan 61 potong sarung. Tampaknya, korban masih akan bertambah terus. "Mereka hanya diberi cairan infus saja", kata seorang petugas RS. Sehingga beberapa korban, dengan hampir seluruh tubuh terbalut perban, seharian kerjanya hanya mengerang saja. "Yang bisa sembuh pun perawatannya terpaksa 2 bulan lebih lama", kata petugas tadi. Dan itu akan menelan biaya ratusan ribu rupiah. Yang meninggal, oleh lurah Somantri dan anak buahnya dikubur di tanah pekuburan tersendiri. "Supaya jadi perhatian bagi yang lainnya", kata sang kepala desa. Maksudnya supaya penduduk Cipatat tidak lagi ikut carnpur dalam kegiatan membongkar mesiu dan selongsong peluru itu. Penduduk Cipatat, sebenarnya tidak terlalu asing dengan bau mesiu. Sebab di sana terbentang tanah seluas 156 hektar yang jadi tempat latihan infantri. Latihan militer itu sudah berlangsung sejak zaman Belanda, dimulai dengan medan latihan seluas 15 hektar saja. Baru kemudian di tahun 1960-an, Angkatan Darat membeli lagi tanah dari rakyat untuk memperluas latihan mereka. Administratif, tempat latihan itu berada di bawah wewenang Pusat Infantri di Bandung. Namun sehari-harinya medan latihan infantri -- termasuk para didikan Akabri -- dibiarkan untuk digarap oleh penduduk, dengan seizin Pusif. Dengan imbalan, "kalau ada tanaman rusak karena latihan, itu risiko si penggarap", kata Somantri. Tapi belakangan ini, begitu dia menambahkan, "setiap penggarap tanah Pusif itu diharuskan membayar sewa Rp 2000 per hektar untuk masa setahun". Mungkin karena usaha mencari nafkah dari pertanian itu tambah berat, penduduk desa itu jadi tertarik mengerjakan pekerjaan sampingan seperti membantu membongkar mesiu dan menjual peti dan selongsong peluru. Sampai terjadi insiden itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus