Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Pergilah Ke Mars"

Angkatan kerja di indonesia dalam 30 tahun mendatang akan mencapai 90 juta orang. pengangguran dari 6 juta menjadi 10,8 juta. sektor pertanian, pertambangan dan industri penampung utama tenaga kerja. (nas)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"ANDA ingin hidup tenang? Pergilah ke Mars". Begitu bunyi sebuah dari 64 poster yang awal Nopember lalu dipamerkan Perhimpunan Mahasiswa untuk Studi Kependudukan dan Kegiatan KB di Indonesia. Sejumlah poster yang dipamerkan di Bandung itu merupakan pilihan dari 172 poster yang diperlombakan oleh murid-murid SLA di berbagai kabupaten Jawa Barat. Selain pameran poster yang menarik dan banyak yang unik itu, juga ada serangkaian ceramah tentang kependudukan. Banyak kertas kerja dikemukakan. Tapi yang agaknya menarik adalah yang dilontarkan seorang demograf wanita, Mayling Oey. Sejak awal ceramahnya, ahli penduduk yang kini aktif di Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) -- Universitas Indonesia itu, mengingatkan bahwa penduduk yang besar lagi subur tumbuhnya itu, akan mengekang usaha pembangunan ekonomi. Apalagi kalau, "sumber-sumber alamnya termasuk tak banyak", katanya. Menurut Oey, angkatan kerja di Indonesia dalam waktu 30 tahun mendatang akan mencapai dua kali yang sekarang: dari 43 juta menjadi 90 juta orang. Sedang antara 1971 dan 1985, kesempatan kerja akan berkembang dari 57,7 juta menjadi 52,4 atau 53,5 juta manusia, tergantung cepat lambatnya perkembangan ekonomi. Dia menunjuk pengalaman masa lampau, di mana tenaga kerja Indonesia ditampung di tiga sektor utama: pertanian, pertambangan dan industri. Tapi jika selama 1971 sebanyak 95,59% tenaga kerja ditampung dalam 3 sektor tersebut, dalam tahun 1985 jumlah itu akan berkurang menjadi 92,78% Sektor pertanian yang di tahun 1971 sisa menyerap 67%, dalam tahun 1985 dikuatirkan hanya bisa menampung 54% tenaga. Sekalipun sektor industri diperkirakan naik dan 7 menjadi 10%. Pendek kata, barisan penganggur yang pada 1970 berjumlah 6 juta, akan membengkak menjadi 10,8 juta pada 1985. Itulah sebabnya dengan perkembangan ekonomi masa sekarang -- Oey yang lulusan Harvard itu berkesimpulan: "Perkembangan penduduk lebih merupakan beban". Penyelidikan yang dilakukan demograf itu memang menghasilkan gambaran yang tak begitu sedap tentang masa depan Indonesia. Tapi ketika seorang peserta bertanya, apa pasal penceramah merasa begitu pesimis, dengan cepat Mayling Oey menjawab: "Tak ada alasan untuk optimis". Setidaknya apa yang dilontarkan demograf itu ditopang oleh Dr Billy Joedono, direktur LPEMUI. Bicara dari segi pendapatan nasional, Joedono berkata: "Dengan pertumbuhan perekonomian yang relatif cepatpun pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya akan meningkat dari sekitar AS$ 140 pada 1975 menjadi AS$ 245 pada 1985", katanya. "Hal ini hanya separoh dari penghasilan per kapita yang dicapai Malaysia pada 1973, yakni AS$ 570". Dan Joedono yang juga staf ahli Menteri Riset itu berkesimpulan, "sejarah kontemporer pembangunan telah membuktikan bahwa pendapatan nasional di negara-negara bukan komunis cenderung akan semakin tidak adil sampai tingkat pendapatan rata-rata seorang mencapai AS$ 400". Mungkin bermaksud sedikit menghibur bahwa kesulitan ekonomi tak hanya dialami Indonesia, Joedono memperkirakan "dunia akau mengalami kesukaran sekurang-kurangnya seperti dalam dua-tiga tahun belakangan ini, dilihat dari kemampuan penyediaan dan distribusi pangan dan enerji". Sesudah itu, katanya, "barangkali: keadaan malah akan memburuk". Bagi Indonesia sendiri, dia meramalkan bahwa "masa-masa mendatang akan membawa kita kepada kemakmuran yang lebih besar yang dibarengi dengan tingkat ketegangan yang lebih tinggi". Pendapat Mayling Oey, Joedono dan beberapa ahli lainnya dalam seminar itu sedikit hanyak sudah tercermin dalam ringkasan kesimpulan Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Prapat Sumatera Utara baru-baru ini, yang membahas macam-macam soal ekonomi dan pembangunan termasuk inilasi. Tentang soal yang terakhir ini, sidang yang dibanjiri para ekonom pemerintah (teknokrat) itu dalam nada rendah berkesimpulan bahwa "sebab-sebab inflasi yang berasal dari penggunaan dana inflatoir untuk maksud konsumtif perlu dihindari". Juga diharapkan, "peniadaan dari pungutan-pungutan dan kebocoran yang mendorong biaya ke atas, hingga menghasilkan intlasi". Bisa dimengerti bila beberapa pengamat berpendapat, "tak ada hal baru yang keluar dari Prapat". Selain pokok-pokok yang dikemukakan di sana itu sudah sering dikemukakan banyak orang, tak seorang ekonom pun yang mencoba menjelaskan berapa besarnya andil dana-dana inflatoir, pungutan dan kebocoran alias korupsi itu ikut mendorong naiknya tingkat inflasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus