"ANDA ingin hidup tenang? Pergilah ke Mars". Begitu bunyi sebuah
dari 64 poster yang awal Nopember lalu dipamerkan Perhimpunan
Mahasiswa untuk Studi Kependudukan dan Kegiatan KB di Indonesia.
Sejumlah poster yang dipamerkan di Bandung itu merupakan pilihan
dari 172 poster yang diperlombakan oleh murid-murid SLA di
berbagai kabupaten Jawa Barat. Selain pameran poster yang
menarik dan banyak yang unik itu, juga ada serangkaian ceramah
tentang kependudukan. Banyak kertas kerja dikemukakan. Tapi yang
agaknya menarik adalah yang dilontarkan seorang demograf wanita,
Mayling Oey. Sejak awal ceramahnya, ahli penduduk yang kini
aktif di Lembaga Pendidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) --
Universitas Indonesia itu, mengingatkan bahwa penduduk yang
besar lagi subur tumbuhnya itu, akan mengekang usaha pembangunan
ekonomi. Apalagi kalau, "sumber-sumber alamnya termasuk tak
banyak", katanya.
Menurut Oey, angkatan kerja di Indonesia dalam waktu 30 tahun
mendatang akan mencapai dua kali yang sekarang: dari 43 juta
menjadi 90 juta orang. Sedang antara 1971 dan 1985, kesempatan
kerja akan berkembang dari 57,7 juta menjadi 52,4 atau 53,5 juta
manusia, tergantung cepat lambatnya perkembangan ekonomi. Dia
menunjuk pengalaman masa lampau, di mana tenaga kerja Indonesia
ditampung di tiga sektor utama: pertanian, pertambangan dan
industri. Tapi jika selama 1971 sebanyak 95,59% tenaga kerja
ditampung dalam 3 sektor tersebut, dalam tahun 1985 jumlah itu
akan berkurang menjadi 92,78% Sektor pertanian yang di tahun
1971 sisa menyerap 67%, dalam tahun 1985 dikuatirkan hanya bisa
menampung 54% tenaga. Sekalipun sektor industri diperkirakan
naik dan 7 menjadi 10%. Pendek kata, barisan penganggur yang
pada 1970 berjumlah 6 juta, akan membengkak menjadi 10,8 juta
pada 1985. Itulah sebabnya dengan perkembangan ekonomi masa
sekarang -- Oey yang lulusan Harvard itu berkesimpulan:
"Perkembangan penduduk lebih merupakan beban".
Penyelidikan yang dilakukan demograf itu memang menghasilkan
gambaran yang tak begitu sedap tentang masa depan Indonesia.
Tapi ketika seorang peserta bertanya, apa pasal penceramah
merasa begitu pesimis, dengan cepat Mayling Oey menjawab: "Tak
ada alasan untuk optimis". Setidaknya apa yang dilontarkan
demograf itu ditopang oleh Dr Billy Joedono, direktur LPEMUI.
Bicara dari segi pendapatan nasional, Joedono berkata: "Dengan
pertumbuhan perekonomian yang relatif cepatpun pendapatan per
kapita penduduk Indonesia hanya akan meningkat dari sekitar AS$
140 pada 1975 menjadi AS$ 245 pada 1985", katanya. "Hal ini
hanya separoh dari penghasilan per kapita yang dicapai Malaysia
pada 1973, yakni AS$ 570".
Dan Joedono yang juga staf ahli Menteri Riset itu berkesimpulan,
"sejarah kontemporer pembangunan telah membuktikan bahwa
pendapatan nasional di negara-negara bukan komunis cenderung
akan semakin tidak adil sampai tingkat pendapatan rata-rata
seorang mencapai AS$ 400". Mungkin bermaksud sedikit menghibur
bahwa kesulitan ekonomi tak hanya dialami Indonesia, Joedono
memperkirakan "dunia akau mengalami kesukaran sekurang-kurangnya
seperti dalam dua-tiga tahun belakangan ini, dilihat dari
kemampuan penyediaan dan distribusi pangan dan enerji". Sesudah
itu, katanya, "barangkali: keadaan malah akan memburuk". Bagi
Indonesia sendiri, dia meramalkan bahwa "masa-masa mendatang
akan membawa kita kepada kemakmuran yang lebih besar yang
dibarengi dengan tingkat ketegangan yang lebih tinggi".
Pendapat Mayling Oey, Joedono dan beberapa ahli lainnya dalam
seminar itu sedikit hanyak sudah tercermin dalam ringkasan
kesimpulan Sidang Pleno Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)
di Prapat Sumatera Utara baru-baru ini, yang membahas
macam-macam soal ekonomi dan pembangunan termasuk inilasi.
Tentang soal yang terakhir ini, sidang yang dibanjiri para
ekonom pemerintah (teknokrat) itu dalam nada rendah
berkesimpulan bahwa "sebab-sebab inflasi yang berasal dari
penggunaan dana inflatoir untuk maksud konsumtif perlu
dihindari". Juga diharapkan, "peniadaan dari pungutan-pungutan
dan kebocoran yang mendorong biaya ke atas, hingga menghasilkan
intlasi". Bisa dimengerti bila beberapa pengamat berpendapat,
"tak ada hal baru yang keluar dari Prapat". Selain pokok-pokok
yang dikemukakan di sana itu sudah sering dikemukakan banyak
orang, tak seorang ekonom pun yang mencoba menjelaskan berapa
besarnya andil dana-dana inflatoir, pungutan dan kebocoran alias
korupsi itu ikut mendorong naiknya tingkat inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini