NEWSWEEK, majalah berita mingguan Amerika yang beroplag hampir 3
juta itu (di Indonesia cuma 4000) jadi pembicaraan orang banyak
minggu lal. Majalah itu dikecam oleh Letjen Ali Murtopo. Juga
oleh Menlu Adam Malk. Kenapa? Mingguan yang terbit dengan
laporan utama tentang Indonesia 8 Nopember lalu -- dan dilarang
beredar di Indonesia -- telah mengkritik kepemimpinan Presiden
Soeharto dan menggambarkan image yang tidak baik dari Ny. Tien
Soeharto.
Berbicara di depan para peserta kursus latihan wartawan di
gedung CSIS (Center for Strategic and International Studies) di
jalan Tanah Abang III Jakarta, 10 Nopember lalu, Ali Moertopo
merasa "tertusuk perasaannya". "Kalau dikatakan saya emosi,
benar saya emosi. Kalau dikatakan saya marah, betul saya marah",
kata Ali yang juga menjabat Ketua Kehormatan CSIS itu.
Dalam tulisan majalah Amerika itu, menurut Ali Moertopo,
Indonesia digambarkan sebagai "fading hopes": harapan yang
memudar. "Apa yang dituduhkan, seakan-akan kepemimpinan pak
Harto sudah menjadi pudar, sama sekali tidak benar", katanya.
"Kalau tulisan itu mengatakan bahwa kepemimpinan Presiden
Soeharto illusive, memberikan ilusi, maka mereka menilai
berdasarkan nilai mereka". Juga tentang masalah korupsi yang
menurut majalah itu tak bisa teratasi, telah dibantah keras oleh
jenderal Ali.
Selanjutnya Ali Moertopo juga membantah tuduhan Newsweek tentang
Ny. Tien Soeharto yang dikatakan menerima komisi. Demikian pula
tentang diperiksanya 52 perwira sehubungan dengan kasus Sawito.
"Ini adalah isyu yang berbahaya sekali", katanya.
Menlu Adam Malik, juga mengecam Newsweek ketika memberi sambutan
di depan Organisasi Wanita Deplu (OWD). Tulisan Newsweek itu
oleh Adam Malik dianggap sebagai rangkaian dari"usaha untuk
memecah belah Indonesia". Mengecam keras bagian tulisan yang
mengkritik Presiden dan keluarganya, Adam Malik mengingatkan
bahwa"usaha-usaha dari luar negeri itu memang sengaja
dilancarkan dengan mencari-cari kelemahan Indonesia agar kita
kacau".
Seribu Setan & Malaikat
Sehari-dua setelah kecaman Ali Moertopo dan Adam Malik terhadap
tulisan,Newsweek berbagai koran pun membuat tanggapan dalam
tajuk masing-masing. Harian Suara Karya menyehut tulisan
Newsweek sebagai "sebuah praktek tercela", lagi pula sebagai
"koran got melancarkan fitnah dan menyebarkan desas-desus di
masyarakat". Sedang harian berbahasa Inggeris The Indonesia
Times antara lain mengingatkan: "Orang Amerika dan pers di sana
punya penilaian sendiri tentang etik demokrasi. Mereka boleh
beranggapan, adalah merupakan kewajiban, hak dan mungkin
tanggungjawabnya untuk memaki dan mendiskreditkan presidennya
sendiri dan para pembesar negaranya. Tapi bagaimana pun juga
mereka tak bisa dibenarkan cara-cara mereka untuk
mendiskreditkan dan menghina para pemimpin negeri lain". Berita
Yudha dalam tajuknya yang panjang juga akhirnya berkesimpulan:
"Melancarkan kritik terhadap apa yang sedang kita lakukan demi
hari depan kita merupakan hak setiap orang. Tapi kritik yang
kalap adalah bagai bermain api yang pada waktunya akan membakar
dirinya sendiri".
Masih banyak lagi reaksi keras lainnya dari koran-koran.
Sekalipun ada juga yang mencoba melihatnya dengan lebih tenang.
Seperti tajuk Kompas, yang menyorotinya dari faktor tata nilai
dan tata sopan santun. Beranggapan kritik adalah suatu hal yang
lazim, tajuk Kompas antara lain menulis: "Kealpaan Newsweek
adalah mengecam negara lain tanpa memperhatikan sistim nilai
yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Belumlah bisa diterima,
apalagi oleh sebuah penerbitan asing, jika Kepala Negara dan Ibu
Negara diserang langsung kehormatannya. Di sinilah kesalahan
mingguan berita itu. Tentu saja menurut tata nilai dan tata
sopan santun kita".
Agak lain adalah tajuk rencana Sinar Harapan. Ada dua hal yang
disarankan: Pertama, baiknya kita"bersikap nuchter (berkepala
dingin - Red.), jangan berpikir kacau dan hendaknya kita terus
menjalankan tugas kita". Di samping itu, baiklah kita "lanjutkan
usaha saling mengkoreksi di lingkungan kita sendiri". Akhir
tajuk itu memberi ajakan: "Kita tak usah terlalu memusingkan
diri kita dengan pertanyaan sampai di mana tulisan dalam surat
kabar dan majalah luar negeri mempunyai atau tak mempunyai
tujuan politik yang membahayakan. Kita juga tak usah menyibukkan
diri dengan usaha mencari siapa saja yang menjadi sumber-sumber
laporan tersebut. Karena dengan demikian kita justru menciptakan
suasana saling mencurigai yang tak membantu ketenangan bekerja
kita. Yang terpenting kiga berusaha terus untuk bekerja secara
kreatif, kritis dan bertanggungjawab, maka seribu setan dari
luar negeri yang menulis dalam koran dan majalah tak akan dapat
berbuat apa-apa terhadap kita. Sebaliknya, apabila kita tak
mampu untuk bekerja terus secara kreatif, kritis dan
bertanggungjawab, maka seribu malaikat yang menghadiahkan beribu
juta dollar sekalipun tak akan dapat menolong kita".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini