Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tibum, K5 Dan Denda

Kota Bandung menghadapi masalah pedagang-pedagang di pinggir jalan, sehingga para petugas ketertiban umum secara rutin menghalau mereka. Sementara, membangun pasar di pinggir kota belum terlaksana. (kt)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Bandung juga dilanda pedagang kakilima. Jalan-jalan protokol seperti Jalan Ahmad Yani, Asia Afrika dan Sudirman padat oleh mereka. Belum lagi yang ada di alun-alun dan bagian kota lainnya. Tak heran keadaan di sana begitu kacau balau jika petugas-petugas Tibum (Ketertiban Umum) Kotamadya Bandung menghalau mereka. Kerja menghalau pedagang kakilima hampir dilakukan secara rutin. Dan setiap kali pasti ada yang tertangkap, barang dagangannyapun disita. Para pedagang mengakui mereka yang tertangkap selama ini tak pernah diajukan ke pengadilan sebagaimana mestinya. Tapi, tutur mereka, pedagang yang tertangkap itu seminggu kemudian dipanggil ke kantor Tibum. Mereka yang menginginkan barang dagangannya kembali diharuskan membayar denda antara Rp 2.000 sampai Rp 2.500. Tapi hal itu dibantah oleh Kepala Tibum Kotamadya Bandung, Daddy Natawisastra. Katanya pihak Tibum tak pernah menyidangkan pedagang kakilima yang terjerat operasi anak buahnya. "Hanya hakim yang berhak menjatuhkan denda," sambung Kepala Humas Kotamadya Bandung, Oekasah Suhandi. Jadinya, tak jelas ke mana uang denda yang diberikan para pedagang kakilima tadi. Masalah pedagang di pinggir jalan ini tampaknya memang cukup ruwet bagi Kota Bandung. Tak kurang dari 11.000 orang banyaknya, meskipun yang terdaftar -- yang membayar retribusi tak sampai 6.000 orang. Ikhtiar Pemda Kotamadya Bandung untuk menertibkan ada juga. Misalnya dengan menempatkan mereka di 9 buah Pasar Inpres. Tapi tentu saja hanya sebagian kecil saja yang dapat ditampung di pasar-pasar itu. Itupun tak seluruhnya dimanfaatkan para pedagang kecil tadi. Menurut Daddy Natawisastra, tak sedikit mereka yang telah mendapat tempat di Pasar Inpres itu menjual jatahnya kepada pedagang non pribumi. Warga kota yang berjumlah 1,6 juta jiwa ini baru memiliki 56 buah pasar. Untuk memperbanyaknya tentulah tak mudah. Hambatan utama tak lain karena sulit mendapatkan areal tanah di lingkungan kota yang kabarnya paling padat di dunia ini. Dengan kata lain Pemda Kotamadya tak mungkin lagi membangun pasar. Satu-satunya jalan menurut Oekasah adalah membangun pasar di pinggiran kota serentak dengan pelaksanaan proyek Bandung Raya kelak. Tapi ini masih harus menunggu. Karena itu yang dapat dilakukan sekarang adalah main kucing-kucingan dengan para pedagang. Dengan beghli mungkinkah Tibum Kotamadya Bandung akhirnya berhasil menertibkan kakilima? "Mengapa tidak, Kebun Waru dan Jalan Jakarta masih menerima, kok," jawab Daddy Natawisastra. Kedua tempat yang disebutkannya itu terkenal sebagai bui bagi para tahanan politik. Tapi ini bergurau, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus