BEBERAPA bulan lalu, di Pelabuhan Tanjungpinang yang memiliki
sekitar 700 orang buruh UKA, tersingkap penyelewengan uang
keringat buruh lebih dari Rp 8 juta. Ini ditemukan, setelah
Tatang Mukhtar, Kepala Pelabuhan Tg. Pinang membentuk tim yang
terdiri dari pihak BPP, Insa, FBSI dan Depnaker. Soalnya,
setelah 6 bulan jadi Keppel di pelabuhan itu, Tatang menemukan
bahwa di nlbuh UKA-nya "banyak yang kurang wajar" seperti pernah
dikatakannya kepada TEMPO. Dan ketidakwajaran itu menurutnya
sudah berjalan cukup lama.
Sayangnya, bagaimana persis hasil kerja tim yang bekerja selama
hampir 2 bulan itu, Tatang cnggan buka kartu. "Saya mesti lapor
dulu," ujarnya. Namun ia tak mengelak kalau memang telah terjadi
penyelewengan keuangan di tubuh organisasi huruh pelabuhan itu.
Dari kalangan buruh UKA sendiri yang sudah sejak lama mengeluh
ihwal ketidak-beresan itu, dikatakan bahwa upah mereka menjadi
salah satu sasaran. Selama 3 bulan, 50 orang buruh di pelabuhan
induk, tidak pernah menerima upah. Padahal semestinya tiap bulan
rata-rata mereka menerima sekitar Rp 35 ribu. Jadi dari sini
saja, "Lebih Rp 5 juta," ujar seorang anggota pengurus UKA
mengakui. Memang kemudian, upah itu dibayarkan juga setelah
suatu ketegangan terjadi. Tapi, "cuma separuh," ujar seorang
buruh. Yang separuh lagi lenxap tak tentu rimbanya.
Lalu ada dana kesejahteraan buruh yang jumlahnya sekitar Rp 2
juta, yang tak pernah dinikmati para buruh tapi tak pula ada di
kas. Penggunaan dana administrasi UKA yang 5% dari tiap upah
buruh impun penggunaannya sulit dipertanggungjawabkan. Seorang
anggota staf pembina UKA menggerutu karena dalam pengeluaran
disebutkan para pembina diberi uang transpor sekitar Rp 70 ribu.
Tapi sebenarnya, "pengeluaran itu tak pernah ada," ujar staf
pembina dari Depnaker.
Belum lagi soal permainan setoran pajak pendapatan. Sumantri,
seorang ketua kelompok UKA di Senggarang menyatakan bahwa dalam
penyetoran pajak ada yang mencurigakan. Soa.lnya, buruh-buruh
UKA di Tanjung Pinang itu tidak memperoleh upah/gaji yang tetap
jumlahnya setiap bulan, seperti diatur dalam SK Menteri
Perhubungan tentang UKA. Tapi tergantung dari besar kecilnya
volume barang yang mereka bongkar muat, akibat tak jalannya
sistim tarip OPP/OPT. Jadi pajak pendapatan yang harus dibayar,
seharusnya bukan 10% dari pendapatan. Tapi cuma 2%. Namun
prakteknya potongan upah buruh itu, tetap seperti ketetapan SK
Menhub tentang UKA, yaitu 1% untuk BPP, 5% untuk administrasi
UKA dan 10% pajak.
Tampaknya memang banyak yang runyam di tubuh UKA Tg. Pinang ini.
Makanya langkah Tatang Mukhtar memang bukan cuma karena tercium
bau penyelewengan keuangan. Tapi, "menginventarisir semua
masalah yang jadi problem," ujarnya. Sebab bagaimanapun Tatang
maklum bahwa UKA kini sudah diinstruksikan segera jadi Yayasan.
Di samping itu, soal pemerataan upah, masih belum juga dapat
diluruskan. Karena semua kerja bongkar muat masih sistim
borongan, maka ada buruh, yang kebetulan dapat daerah basah,
seperti pelabuhan induk, Batu Vl, atau pelantar-pelantar, bisa
mengantongi perbulan antara Rp 30 sampai Rp 35 ribu. Tapi yang
kering, seperti Sumantri dan kelompoknya di Senggarang, cuma "Rp
5000 sampai Rp 8000 sebulan," kata Sumantri. Padahal menurut
ketentuan, minimal buruh-buruh itu harus mendapat Rp 650 sehari,
atau sekitar Rp 23 ribu sebulan. Sehingga para buruh pelabuhan
di Tg. Pinang meskipun namanya UKA, tapi statusnya masih
terhitung kuli, lanjut Sumantri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini