Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila Anda berjalan kaki atau berkendaraan dari Jalan Lada menuju Jalan Pintu Besar di kawasan Kota Tua Jakarta, bangunan tiga lantai di pinggir Jalan Jembatan Batu itu pasti membuat Anda menoleh. Catnya putih bersih dengan dua menara kembar simetris. Dari kejauhan sekalipun, profil Art Deco pada façade-nya terekspos sempurna.
Kondisi ini kontras dengan keadaan gedung itu setahun lalu. Dindingnya kusam, berlumut, dengan sulur-sulur tanaman merambat di beberapa sisi. Kaca-kaca jendela pecah. Di lantai dasar yang beralas tanah, gedung itu difungsikan sebagai gudang penyimpanan gerobak-gerobak kaki lima. Sesekali pemulung di Kota Tua menggunakan lantai dua gedung itu sebagai tempat beristirahat. Cahaya remang-remang hasil curian dari tiang listrik terdekat menerangi sebagian gedung itu bila malam tiba.
Arsitek Boy Bhirawa, yang dituÂgasi memugar gedung itu oleh Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC), sempat putus asa ketika melihat kondisi aslinya. Barulah ketika menelusuri sejarah gedung itu lewat Pusat Dokumentasi Arsitektur, semangatnya membara. Secara tak terduga, Boy menemukan gedung telantar itu ternyata dirancang dan dibangun oleh firma Schoemaker bersaudara pada 1921. Semula Boy menduga hanya mendapat "proyek sisa" dari pemugaran 18 gedung yang dilakukan JOTRC. "Ternyata saya malah mendapat harta karun," katanya bersemangat.
Firma arsitek Schoemaker didirikan Charles Prosper Schoemaker bersama adiknya, Richard Leonard Arnold Schoemaker, pada 1918. Charles Prosper, yang belakangan dikenal sebagai Wolff Schoemaker, merupakan salah satu arsitek Belanda terbaik yang membangun Indonesia pada awal abad ke-20. Arsitek-arsitek pada masa itu menjulukinya Frank Lloyd Wright Indonesia. Berbeda dengan Maclaine Pont dan Herman Karsten yang mendukung penerapan gaya arsitektur vernakular, Wolff Schoemaker dikenal karena menjembatani arsitektur modern dengan arsitektur lokal.
Karya Wolff bertebaran di Bandung. Dari Jaarbeurs de Bandung (kini Kologdam), Concordia Societit (kini Gedung Merdeka), Hotel Grand Preanger, sampai Villa Isola (kini gedung rektorat Universitas Pendidikan Indonesia). Buku Tropical ÂModernity karya C.J. van Dullemen yang dirilis pada 2010 sejauh ini merupakan satu-satunya buku yang mengulas karya-karya Schoemaker secara menyeluruh.
Anehnya, bangunan yang dikonservasi Boy ini tidak tercantum dalam daftar karya Wolff Schoemaker di buku tersebut. Bisa dikatakan bangunan ini merupakan temuan baru dalam sejarah arsitektur kolonial Indonesia.
Boy menemukan sebuah video dokumenter hitam-putih sebagai bukti penting. Dokumentasi itu menampilkan kondisi gedung karya Schoemaker tersebut tak lama setelah peresmiannya pada 1922. Tulisan ÂOLVEH terpampang jelas di antara dua menara. OLVEH merupakan perusahaan asuransi jiwa kependekan dari Onderlinge Levensverzekering van Eigen Hulp. Bergaya Art Deco, gedung OLVEH tiga lantai itu kontras dengan tetangganya, sederet rumah berarsitektur Cina yang lebih rendah dengan atap melengkung.
OLVEH mulanya koperasi bantuan pribadi yang dibangun di Den Haag, Belanda, pada 1879. Dalam waktu singkat, koperasi ini berkembang pesat dan memiliki anak usaha, yaitu perusahaan asuransi jiwa—juga bernama OLVEH— yang memiliki banyak cabang di Hindia Belanda.
Dalam rekaman itu, OLVEH berdiri anggun di sisi selatan lapangan yang kelak akan menjadi plaza Kota Batavia. Di sisi barat lapangan itu telah berdiri De Javasche Bank (kini Museum Bank Indonesia). Stasiun Jakarta Kota di sisi timur lapangan saat itu belum dibangun. Lokasi ÂOLVEH terbilang unik. Sebab, kawasan itu aslinya hanya dihuni kaum Tionghoa. "Siapa pun yang memilih lokasi ÂOLVEH pasti tahu rencana pembangunan Kota Batavia," kata Candrian Attahiyat, ahli arkeologi kawaÂsan Kota Tua Jakarta. Gedung OLVEH termasuk modern di masanya. Toilet dan kamar mandi sudah dipisahkan, ditempatkan di lantai dua, dan dirancang memiliki lubang saluran udara (exhaust). Namun, "exhaust tak pernah terpasang. Paket yang dibeli itu tak pernah sampai ke Batavia," kata Candrian.
Koran-koran yang terbit pada masa itu menyebutkan OLVEH memiliki kas cadangan 20 juta gulden yang berasal dari pembayaran premi. Di luar itu, masih ada jaminan 1 juta gulden. Toh, biaya pembangunan gedung OLVEH ini tetap menguras kantong perusahaan. Tak kurang dari 250 ribu gulden dikeluarkan untuk membeli tanah dan membangun gedung itu. Ketika gedung itu berdiri, Direktur OLVEH Pieter Peereboom Voller menyewakan lantai satu dan dua ke pihak lain. Adapun OLVEH menempati lantai tiga. Tak lama kemudian perusahaan ini mengalami masa-masa jaya. Ini terbukti dengan ditemukannya tiga brankas besi yang diduga dibangun belakangan untuk memenuhi kebutuhan penyimpanan.
Pada masa krisis ekonomi global yang dikenal dengan sebutan malaise, OLVEH terkena dampak. Entah bagaimana, gedung ini beralih kepemilikan ke Nederlandsch-Indische Levensverzekerings en Lijfrente Maatschappij (NILLMIJ). Pada 1961, NILLMIJ berubah nama menjadi Perusahaan Asuransi Jiwasraya, seiring dengan nasionalisasi perusahaan asing yang dicanangkan Presiden Sukarno.
Sejak itu gedung ini mulai telantar. Pinangsia sebagai kawasan ekonomi mulai ditinggalkan. Pelakunya berpindah ke selatan. Kemacetan lalu lintas yang berkepanjangan, persoalan keamanan, dan banjir rob yang kerap menghampiri, menjadikan bukan hanya Pinangsia, tapi Kota Tua juga ditinggalkan. Beberapa tahun lalu Jasindo dan Jiwasraya sempat "bersengketa" atas kepemilikan gedung ini. Masalah tersebut terselesaikan dengan mudah. Sebab, gedung ini masuk daftar inventaris NILLMIJ, yang merupakan cikal-bakal Jiwasraya.
Gedung ini kembali dalam kondisinya yang paling cantik setelah JOTRC menyewa dari Jiwasraya selama lima tahun. Ongkos pemugaran yang dikeluarkan konsorsiun swasta itu mencapai Rp 3 miliar. Saat pemugaran, Boy menemukan merek bata dengan huruf timbul ketika para pekerja mengupas plesteran dinding. Merek Ck&Co, TH&Co,TKP, OTH, dan TSS itu menunjukkan inisial perusahaan bata impor. "Biasanya kalau bata lokal diberi tanda cap dengan teknik tekan (beveled letter)," kata Candrian.
Tapi yang paling mencengangkan adalah ketika Boy menemukan lantai dasar gedung ini. Saat menggali tanah yang menutupi lantai dasar, para pekerja menemukan lantai ubin di kedalaman 30 sentimeter. "Mulanya saya bingung. Lantai dua saja pakai marmer, masak lantai satu pakai ubin PVC?" kata Boy.
Boy meminta pekerja menggali lebih dalam. Di kedalaman 95 sentimeter, mereka menemukan tulisan Â"OLVEH van 1879" dari batu alam warna-warni di pintu masuk gedung. Di dalam gedung, marmer sama dengan yang dipasang di lantai dua dan tiga juga ditemukan. Bila melihat waktu pembangunan dan pemugaran OLVEH yang mencapai 95 tahun, penurunan muka tanah terjadi di Kota Tua 1 sentimeter setiap tahun.
Gedung OLVEH yang dirancang oleh firma C.P. Schoemaker en Associatie-Architecten & Ingenieurs ini menggelitik rasa ingin tahu Pauline K.M. von Roosmalen, pakar sejarah arsitektur kolonial. Siapa arsitek utama yang membangun OLVEH? Charles Prosper (Wolff) Schoemaker atau adiknya, Richard Leonard Arnold Schoemaker? Dalam buku Tropical Modernity karya C.J. van Dullemen disebutkan memang kedua Schoemaker yang mendukung arsitektur modern ini sesungguhnya memiliki gaya yang berbeda. Richard cenderung fungsionalis, sementara Charles kerap menggunakan ornamentasi lokal yang menonjol. OLVEH, menurut Roosmalen, memiliki detail geometrik berulang yang sederhana. Ia melihat gaya ini memiliki kemiripan dengan gaya Richard yang diaplikasikan pada pabrik minyak insulinde di Bandung.
Foto peletakan batu pertama ÂOLVEH bisa menjadi penentu siapa arsitek utama OLVEH. Dalam foto itu, sejumlah pria berbaju putih dan perempuan bertopi lebar mengangkat gelas anggur. Tertulis nama Ir R.L.A. Schoemaker sebagai pria yang berdiri paling kanan dalam foto tersebut. Informasi dari Bataviaasch ÂNieuwsblad—koran terkenal yang terbit di Hindia Belanda pada masa—itu menyatakan bahwa "Profesor SchoeÂmaker" merupakan perancang gedung OLVEH dengan F. Loth sebagai pelaksana pembangunannya.
Dilihat sejarahnya, pada 1922 memang Richard telah diangkat menjadi profesor di Technische HoogeÂschool (kini Institut Teknologi Bandung). Sedangkan Wolff baru memperoleh gelar itu pada 1924. Namun Roosmalen tidak serta-merta menganggap Richard sebagai arsitek utamanya. "Bisa saja jurnalis saat itu salah menulis nama Schoemaker. Bisa saja gelar profesor bukan sesuatu yang akurat," katanya
Nachita Wolff Schoemaker, putri Charles yang ditemui Tempo di Den Haag, juga menyebutkan fakta yang sama. "Saat itu ada dua Schoemaker di bidang yang sama. Orang sering tertukar dan salah, hingga akhirnya ayah saya memasukkan nama Jerman dari keluarga ibunya, Wolff," katanya. Sebuah dokumen dari Aegon NV di Den Haag memberikan sedikit informasi tambahan. Perusahaan yang belakangan mengakuisisi OLVEH itu memiliki surat perjanjian antara Direktur OLVEH di Batavia, J.P. Peeterboom Voller, dan Richard L.A. Schoemaker. Dokumen bertajuk Ocereenkomst tertanggal 12 Maret 1921 itu menyebut Richard mewakili C.P. Schoemaker en AssoÂciate. "Richard bertindak sebagai wakil dari perusahaan Charles," kata Roosmalen.
Hingga saat ini Roosmalen masih tidak yakin Schoemaker mana yang merancang OLVEH. Dalam cetak biru gedung OLVEH berangka tahun 1920 tidak ada tanda tangan Charles atau Richard untuk memastikannya. "Cetak biru itu hanya bertulis nama firma Schoemaker," katanya.
Berbeda dengan Roosmalen, Boy justru yakin Charles Prosper Wolff Schoemaker yang merancang gedung itu. "Bagi saya, atap kubah itu mirip dengan kubah Gereja Bethel di Bandung yang menyerupai candi," kata Boy menyebutkan karya Wolff Schoemaker. Dari dua bersaudara itu, yang lebih serius memperhatikan candi adalah Wolff.
Dia juga punya teori lain: Wolff mungkin tidak terlalu bangga dengan karyanya. Boy menduga ada perubahan arsitektural yang terjadi selama atau setelah pembangunan gedung. Hipotesisnya berasal dari skylight (pencahayaan alami dari atap) yang ada di atas tangga lantai tiga. Cahaya itu seharusnya menerangi bukan hanya lantai tiga, tapi dua lantai di bawahnya.
"Tangga melingkar ini seharusnya mendapat cahaya dari langit. Buat apa membangun skylight hanya untuk satu lantai?" kata Boy. Dia juga menekankan bahwa penggunaan skylight dengan kaca patri belum populer pada masa itu. Anehnya, dia melanjutkan, cahaya itu hanya menerangi lantai tiga. Dua lantai di bawahnya ditutup untuk membangun brankas-brankas di antara tangga.
Yang jelas, perancang gedung ini pastilah memiliki kepekaan tinggi. Gedung ini memiliki dua façade. Tampak muka menghadap ke plaza pusat kota dan tampak belakang, yang tak kalah cantik, menghadap ke Rumah Abu Setia Dharma Marga. "Arsitektur gedung ini tidak memunggungi aktivitas spiritual kaum Tionghoa," kata Boy. Sebuah balkon di façade belakang bahkan dibangun untuk melihat aktivitas kaum Tionghoa di sana. Lebarnya mencapai dua meter. Menurut Candrian Attahiyat, balkon ini terlebar di antara balkon-balkon gedung di Batavia saat itu. AMANDRA M. MEGARANI (JAKARTA), LEA PAMUNGKAS (DEN HAAG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo