Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Medan hingga Surabaya

Karya-karya Art Deco ikonik Schoemaker memenuhi Bandung, kota yang dikenal sebagai Parijs van Java. Tapi sesungguhnya jejak-jejak arsitektur Schoemaker bukan hanya di ibu kota Jawa Barat itu.

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada yang tersisa dari gedung yang dulu bernama Lindeteves Stokvis di Jalan Katamso Nomor 53, Medan. Lokasi tempat gedung bergaya Art Deco itu berdiri kini telah menjadi kompleks pertokoan modern dengan segala riuh aktivitas bisnisnya.

Lindeteves Stokvis dirancang oleh Wolff Schoemaker pada 1921. Gedung perkantoran itu belakangan dikenal dengan nama Mega Eltra. Berjarak hanya 3 kilometer dari Stasiun Medan, gedung ini sempat berubah fungsi menjadi pusat pengelolaan dan pergudangan alat-alat perkebunan di Sumatera.

Pada Juli 2002, gedung itu diratakan dengan tanah setelah pengembang membelinya dari PT Semen Padang. Badan Warisan Sumatera sempat melakukan upaya hukum untuk mempertahankan gedung tersebut. Tapi langkah mereka terganjal. Sebab, gedung rancangan Schoemaker ini tidak termasuk kawasan bangunan bersejarah yang dilindungi Peraturan Daerah Medan Nomor 6 Tahun 1988.

"Kami hanya bisa menyelamatkan kepingan keramik lantai sebelum gedung itu dihancurkan," kata Hairul, Ketua Pelaksana Harian Badan Wa­risan Sumatera, pada awal Mei lalu. Ada yang menyebut si pengembang sempat mempertahankan sedikit façade bergaya Art Deco. Tapi, ketika Tempo melihat lokasi itu, façade yang disebut-sebut masih ada itu telah tergantikan dengan rumah makan Padang.

Sedangkan nasib karya Schoemaker di Medan lainnya, gedung Nederlandsch Indische Handelsbank, lebih baik. Hingga saat ini gedung yang terletak di persimpangan Jalan Balai Kota dan Jalan Ahmad Yani masih berdiri kokoh dan difungsikan sebagai kantor cabang Bank Mandiri. Gedung yang dibangun menjelang Perang Dunia II itu terdaftar sebagai bangunan cagar budaya.

Di Kota Medan, aturan perundangan menjadi momok tersendiri dalam melindungi bangunan yang bernilai sejarah di kota itu. Hairul menyebutkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan Bersejarah hanya melindungi 40 rumah. Tapi, ketika aturan itu diperbarui pada 2012, malah tak ada satu pun rumah yang masuk kategori tersebut. "Padahal ada 600 rumah di Medan yang memiliki nilai sejarah dan harus dilindungi," kata Hairul.

Hairul menyebutkan, pada beberapa kasus di Medan, bangunan bersejarah ini berlokasi di pusat kota dengan klasifikasi pajak kelas A. "Tidak pernah ada pengurangan pajak. Itu sebabnya banyak pemilik menjual rumah tuanya. Hasilnya, rumah dengan nilai sejarah peninggalan arsitek ternama di Medan banyak yang hancur," ujar Hairul.

Surabaya terbilang lebih baik dalam urusan pemeliharaan gedung bersejarah. "Ada keringanan tarif pajak bumi dan bangunan hingga 50 persen," kata Suryanto dari Divisi Umum PT Perkebunan Nusantara X. PTPN X menggunakan gedung Koloniale Bank sebagai kantor direksinya. Gedung yang dibangun Wolff Schoemaker pada 1927 itu sempat terbakar pada 2005. Tapi, saat Tempo menengoknya beberapa pekan lalu, kondisinya bersih dan terawat.

Guncar, pemerhati sejarah lokal, memastikan hanya ada dua karya Wolff Schoemaker di Surabaya: Koloniale Bank dan Façade Hotel Orange. Padahal dalam buku Tropical Modernity (2010) karya C.J. van Dullemen, arsip-arsip tua di Belanda menunjukkan sejumlah karya Schoe­maker di kota ini. Di antaranya sejumlah rumah di kawasan Ketabang. Namun Guncar meyakini bahwa kawasan perumahan di Ketabang merupakan karya peninggalan C.G. Citroen.

Kondisi yang sama terjadi di Semarang. Buku yang sama mencatat setidaknya ada enam bangunan peninggalan Schoemaker. Tapi, ketika Tempo menyusuri jalan-jalan di Kota Semarang, hanya dua karya Schoemaker yang dipastikan masih berdiri hingga kini: vila untuk S.L. Liem dan vila untuk B.T. Liem. Vila yang disebut terakhir belakangan disebut Vila Helly.

Liem merupakan keluarga pedagang manufaktur Tionghoa kaya-raya. Mereka memiliki ambisi agar diperlakukan setara dengan kaum elite Belanda. Setelah penghapusan aturan yang mengharuskan bangsa Tionghoa tinggal di pecinan saja, mereka membangun rumah di kawasan orang Belanda yang dirancang oleh Wolff Schoemaker.

Vila ini telantar setelah keluarga Liem meninggalkan Indonesia menjelang gerakan 30 September 1965. Kini vila B.T. Liem lebih dikenal sebagai Puri Gedeh, kediaman resmi Gubernur Jawa Tengah. Sedangkan vila S.L. Liem, yang sempat menjadi kantor Perhimpunan Haji Indonesia, kini menjadi Hotel Semesta. Kedua bangunan ini dikenal menjembatani gaya modern dengan karakter lokal. Antara lain dengan adanya pendapa dalam dan teras.

Sulitnya melacak karya-karya­ ­Schoemaker di Indonesia ini lanta­ran tidak adanya arsip lengkap. Sebagai peneliti, arsitek, dan seniman, sesungguhnya Schoemaker menyimpan lengkap semua arsip, dokumen, dan hasil penelitiannya di rumahnya di Van Galenweg 2 (kini Jalan Lamping, Bandung). Tapi, menjelang masa pendudukan Jepang, rumahnya menjadi sasaran anarki. Rumah Schoemaker beserta isinya dibakar.

"Schoemaker menghasilkan karya yang sering berbeda-beda," kata dosen arsitektur ITB, Bambang Setia Budi, April lalu. Pada Vila Isola, dia memadukan gaya Art Deco dengan gaya De Stijl. Pada Masjid Cipaganti, dia menggunakan prinsip pendapa Jawa. Sedangkan pada Hotel Preanger, dia menekankan aksen vertikal-horizontal. Pada karya lain dia menerapkan ornamen lokal seperti Kala Makara.

***

Pada 2005, dosen desain ITB, Dibyo Hartono, memperoleh penghargaan UNESCO Asia-Pacific Heri­tage Award for Culture Heritage Conservation 2000-2004. Penghargaan pertama untuk Indonesia itu diberikan atas upayanya merestorasi rumah di Jalan Sawunggaling Nomor 2, Bandung.

Dibyo tidak dibayar untuk proyek Rp 100 juta yang dikerjakan selama enam bulan bersama mahasiswa-mahasiswanya itu. Dalam laporannya ke UNESCO, Dibyo menduga bangunan tersebut merupakan tempat tinggal Schoemaker. Dugaan itu berdasarkan buku Architectuur & Stede­bouw in Indonesië 1870-1970 karya Huib Akihary, yang menyebutkan bahwa rumah di Bosschaplein (Jalan Sawunggaling) merupakan karya Schoemaker pada 1933. Rumah itu juga memiliki ornamen sulur.

Tapi, dalam buku Tropical Mo­dernity, C.J. van Dullemen mengungkapkan tidak ada bukti rumah ini merupakan kediaman sang arsitek kondang. Pada 1927, Schoemaker dalam suratnya kepada putrinya, Lucie, mengatakan dia tinggal di Lembangweg (Jalan Cihampelas). Pada 1930-an, dia tinggal rumah yang dirancangnya sendiri di Van Galenweg (Jalan Lamping).

Nachita, satu-satunya putri Schoe­maker yang masih hidup, juga tidak mengetahui perihal rumah di Jalan Sawunggaling. Setelah kebakaran yang menghanguskan rumah mereka di Jalan Lamping, Schoemaker sempat tinggal di lantai dua rumah sewa di Jalan Braga, sebelum tinggal di Nijlandweg (Jalan Cipaganti) hingga akhir hayatnya. "Persisnya sekitar 100 meter di seberang Masjid Nijlandweg. Di perempatan Nijlandweg dengan Eijkmanweg (Jalan Prof Eijkman, Bandung)," kata Nachita kepada Tempo. AMANDRA M. MEGARANI (JAKARTA), SAHAT SIMATUPANG (MEDAN), ANWAR SISWADI (BANDUNG), MOHAMMAD SYARRAFAH (SURABAYA), EDI FAISOL (SEMARANG), LEA PAMUNGKAS (DEN HAAG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus