Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kain-kain Kafka

Isabelle Schad, koreografer dari Jerman, menampilkan sebuah tari solo yang idenya berangkat dari novel Kafka yang belum selesai.

9 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAIN lebar dan panjang itu ditarik, dihamparkan, dikebaskan, digelombang-gelombangkan, dikerudungkan, dililitkan, dan dibungkuskan ke tubuhnya yang tak mengenakan apa-apa. Terus-menerus di Teater Salihara pada 29-30 September lalu, dalam sebuah pentas tunggal berjudul Der Bau berdurasi kurang-lebih satu jam, Isabelle Schad menyuguhkan pergumulan tubuhnya dengan kain.

Kain itu tak sampai membentuk imaji-imaji menyerupai kostum menakjubkan atau sosok-sosok yang bisa ditengarai jelas bentuknya, tapi memunculkan perubahan-perubahan yang mengalir tak henti-hentinya.

Tatkala kain itu menggelembung besar ke atas menutupi sebagian tubuhnya sampai paha, kita mungkin bisa melihat asosiasi sebuah jamur raksasa. Di adegan lain, kain menggelembung ke atas hanya menutupi leher dan kepalanya. Atau kebasannya membuat kain terbang ke kanan-kiri menyisakan gulungan di kepala saja. Sementara itu, saat kedua tangannya mengangkat kain ke atas, hanya celah rambut kepalanya yang terlihat.

Schad mengatakan dia sedang memperpanjang organ tubuh melalui kain. Kaki, tangan, punggung, dan gerak tubuhnya diekstensi dengan eksplorasi kain. Ia bergerak tanpa lelah, menciptakan macam-macam bentuk spasial pada kain. Kain yang panjang dan lebar itu menjadi seperti hidup. Berbagai kerutan serta lipatan saat ditarik dan digulung menjadikan ia seperti memiliki nyawa. Kain yang menjadi tempat perpanjangan tubuhnya itu terasa terus bermasalah. Kain tersebut menjadi perpanjangan tubuh kedua, ketiga, dan keempatnya.... yang selalu buyar atau tertunda.

Isabelle Schad mulanya muncul di bawah keremangan lampu. Ia berdiri merunduk. Tatkala lampu sedikit terang, perempuan Jerman ini terlihat telanjang bulat. Tangan menyentuh pergelangan kaki, lutut sedikit ditekuk, bahu dan punggungnya terekspos. Bahu itu kemudian berkontraksi, tulang punggungnya berkeluk, tangannya naik-turun menggesek kaki. Lalu ia menghampiri kain yang teronggok di empat sudut. Warna-warna kain itu monokrom kelabu dan hitam. Satu per satu ia mencoba melakukan relasi dengan kain. Menciptakan ruang-ruang. Karya tari ini berangkat dari pembacaannya terhadap novel Franz Kafka, Der Bau (The Burrow), yang belum selesai.

Der Bau adalah novel yang berbicara tentang tokoh aku yang menggali liang bawah tanah. Ia merasa terancam oleh berbagai serangan. Ia hidup di dalam liang. Tapi ia selalu dibayangi ketakutan lubang perlindungannya jauh di dalam tanah diketahui musuh. Kafka menulis novel ini pada 1923-1924, setahun menjelang dia wafat. Sebelum mati, ia menitipkan pesan kepada sahabat dan editor sastranya, Max Brod, agar membakar karyanya ini. Namun Max Brod menolak. Setelah Kafka wafat, karya ini pada 1931 diterbitkan Post Humous oleh Max Brod.

"Saya hanya mengambil metafora novel Kafka," ujar Isabelle Schad. Kain-kain itu mungkin dimaksudkan sebagai berbagai konstruksi dinding liang yang dimasuki tubuhnya.

Bila kita baca The Burrow, novel dimulai dengan tokoh aku yang menceritakan ia telah rampung menggali sebuah lubang. Ia kini merasa lebih aman. Ia bisa bersembunyi dengan tenang. Betapapun demikian, ia tetap khawatir sewaktu-waktu ada yang tak sengaja menemukan lubang itu lalu menghancurkannya.

Para ahli Kafka menilai sosok aku-narator dalam cerita-tidak serta-merta bisa diidentifikasi sebagai seorang lelaki, tapi juga bisa binatang semacam seekor tikus tanah. Kafka, dalam karya-karya sastranya, memang sering menggunakan metafora binatang. Gregor Samsa, seorang salesman, tokoh dalam novelnya, Metamorphosis, yang ia terbitkan pada 1915, misalnya, tatkala bangun tidur kaget menyadari dirinya berubah menjadi insek raksasa seperti laba-laba. Dalam sebuah surat kepada tunangannya, Milena, Kafka sendiri pernah menyebut dirinya bagaikan wood animal. Selanjutnya, sang tokoh dalam The Burrow menceritakan kondisi di bawah tanah yang bak labirin. Ia hafal liuk-liuk lorong dan ceruk-ceruk labirin. Salah satu ruang yang membuatnya paling tenang adalah sebuah ruang yang ia sebut Castle Keep.

Ruang itu bagaikan kuil pribadi dia. Sebuah "tempat kudus" yang hangat. Lubang ia buat dengan berdarah-darah. Di situlah ia menyimpan berbagai makanan untuk bekal bertahan. Tapi kadang ia diteror rasa kekeliruan menimbun seluruh stok makanannya dalam satu ruang. Dengan panik, ia lalu membagi persediaan makanan di banyak ceruk. Tapi kemudian bingung-ia pun mengembalikan semua ke Castle Keep lagi. Bahkan, karena diliputi rasa kekurangan stok makanan, ia sering gegabah ke luar liang mencari makanan meski menyadari tak bisa bergerak jauh-jauh dari liang.

Novel ini berbicara tentang paranoia, alienasi, dan perasaan klaustrofobia. Tokohnya selalu berada dalam kecemasan tanpa sebab. Ia senantiasa merasa waswas bahwa sang musuh selalu berada di mulut lubang. Ia tak mau ambil risiko. Sang tokoh bahkan menganggap musuh-musuh tidak hanya datang dari atas liang, tapi juga dari dalam bumi sendiri. Ia percaya ada makhluk-makhluk menyeramkan di perut bumi. Ia selalu melakukan introspeksi bahwa liangnya mudah ditemukan musuh. Tapi ia sekaligus menyadari dirinya makin tua dan tak lagi bisa membangun tempat pengamanan tambahan. Semuanya telah terlambat. Sang tokoh menciptakan ketegangan terus-menerus bahwa dirinya dalam bahaya dan musibah.

Situasi kecemasan, konflik, dan kekhawatiran terus-menerus yang dialami tokoh Kafka di dalam tanah itu mungkin yang hendak ditampilkan oleh Isabelle Schad.

Tapi ia sadar betul bahwa tubuhlah yang mengendalikan material, bukan sebaliknya. "Saya tak ingin bermain dengan simbolisme, fokus saya adalah tubuh," ujar Schad. Berulang kali kain dari posisi yang menangkupi tubuhnya kemudian lepas memperlihatkan tubuhnya telanjang bulat dan kembali lagi terselimuti. Tak ada suasana erotis. Pertunjukannya jauh dari sensual. Kontras antara warna tubuhnya yang putih pucat dan permainan kain menimbulkan situasi yang kelabu. Schad menciptakan pola gerak berbeda saat menggunakan kain dari material berbeda, linen atau lycra. Suara komposisi minimalis dari Peter Bohm dan pencahayaan redup yang ditata Emma Juliard agar tak menciptakan bayangan makin mengaksentuasi gerak demi gerak Schad.

Sampai akhir pertunjukan, terjadi klimaks yang menarik. Berdiri di atas kain, Isabelle Schad menarik kain. Tertimpa cahaya, kerut-merut permukaan kain yang bergerak ke arah tubuhnya terlihat jelas. Ia lalu membungkus dirinya menjadi bola kain. Schad menggelinding, berputar, bergelung di dalam bungkusan itu. Inilah saat mencekat ketika Schad seolah-olah sedang terperangkap di dalam sarang tanpa ujung pangkal itu.

Pada titik ini-meski situasi paranoia-halusinasi belum mampu disajikan. Tari solo itu cukup menyuarakan kondisi ketertekanan seorang makhluk yang berada di dalam liang yang senantiasa merasa terancam oleh serangan dari atas ataupun bawah tanah seperti dalam novel The Burrow. Adegan terakhir itu terasa sangat klaustrofobik. Meski terus bergerak ke segala arah, tubuh Isabelle Schad tampak tak menemukan jalan keluar dari buntalan. Ia terjebak dalam ruang yang diciptakannya sendiri.

Seno Joko Suyono, Moyang Kasihdewi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus