Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tinggi Lompatan Anak Kebayoran

Sandiaga Salahuddin Uno masuk politik berkat kader Gerindra. Dikelilingi rekan yang membuka jalan ke puncak.

13 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tinggi Lompatan Anak Kebayoran/TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Erwin Aksa dan Rosan Roeslani meninggalkan Istana Negara lebih cepat, Kamis, 22 September 2016. Mereka tidak ikut makan malam dengan Presiden Joko Widodo seusai sosialisasi tax amnesty dan memilih bersantap di Kota, Jakarta Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah perut kenyang, duo pengusaha itu teringat pada karib mereka, Sandiaga Salahuddin Uno, yang kian jarang kongko. Bukan gara-gara mengurus PT Saratoga Investama Sedaya Tbk—perusahaan yang dia bangun—tapi karena politik. Sejak awal 2016, Sandiaga keluar-masuk permukiman padat Ibu Kota untuk memperkenalkan diri sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski banyak yang memandang sebelah mata, termasuk Erwin dan Rosan, Sandiaga mendapat tiket calon DKI-1 dari Partai Gerindra. Jumat, 23 September 2016, merupakan tenggat pendaftaran pasangan calon gubernur. Dalam perjalanan pulang, lewat speakerphone, mereka menelepon Sandiaga untuk menanyakan calon wakilnya.

Di ujung telepon, Sandiaga mengabarkan, calon pendampingnya adalah Yoyok Riyo Sudibyo, Bupati Batang, Jawa Tengah. Nama itu dinilai kurang “nendang” oleh Erwin, Komisaris Utama Bosowa Corporation. Terlebih, saat itu, sinar gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama sedang terang-terangnya. Sedangkan elektabilitas Sandiaga tidak beranjak dari kisaran nol persen. “Ya, udah deh, San. Selamat. Tapi lu jangan terlalu berharap,” kata Erwin meniru ucapannya saat itu kepada Tempo, Selasa, 2 April lalu.

Setengah jam kemudian, Sandiaga balik menelepon mengabarkan pembatalan pencalonannya dengan Yoyok. “Saya asal ngomong saja. Gimana kalau Anies?” ujar Erwin. Anies Baswedan dua bulan sebelumnya dicopot oleh Presiden Joko Widodo dari kursi Menteri Pendidikan Nasional.

Ternyata sudah ada penjajakan. Rikrik Rizkiyana, pengacara perusahaan Sandiaga, menjembataninya lewat Sudirman Said, salah satu promotor Anies. “Pertemuan pertama di Klub Bimasena, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, sepekan sebelum tenggat,” ucap Rikrik. Namun tidak tercapai kesepakatan karena keduanya ingin menjadi gubernur.

Erwin meminta Sandiaga berpikir ulang sembari dia minta arahan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang waktu itu sedang mewakili negara dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Pengusaha 45 tahun asal Makassar itu keponakan Kalla—ibundanya, Ramlah, adik Jusuf Kalla. Erwin sempat berpikir akan dilarang ikut-ikutan politik DKI, tapi sang paman berpesan, “Kasih tahu Sandi, kalau mau ada peluang menang, tidak sekadar maju, berbesar hatilah menjadi nomor dua. Anies jadi nomor satu.” Om Ucu—panggilan Kalla bagi keponakannya—juga meminta Erwin menghubungi Aksa Mahmud, ayah Erwin, yang biasa berdiskusi dengan Anies.

Tinggi Lompatan Anak Kebayoran/TEMPO/M Taufan Rengganis

Hari menjelang tengah malam saat Erwin dan Rosan pisah jalan. Mereka berbagi tugas. Rosan merayu Sandiaga supaya legawa menjadi calon wakil gubernur, sementara Erwin menemui ayahnya. Dua jam kemudian, Rosan mengabarkan Sandiaga bersedia menjadi orang nomor dua. Alasannya, seperti dikemukakan Rikrik, Sandiaga memahami posisinya: sudah pontang-panting blusukan, tapi popularitasnya mentok di 15 persen. “Sementara Anies belum apa-apa sudah 15 persen,” kata Rikrik. Dia mengajukan konsep dwitunggal, yaitu pembagian tugas memimpin Jakarta sesuai dengan kemampuan masing-masing, tanpa membedakan posisi gubernur atau wakil.

Aksa diminta datang ke kediaman Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, untuk mewakili Kalla. Anies dan Sandiaga juga hadir. Kesepakatan pun tercapai menjelang dinihari.

Meski media ramai memberitakan pasangan Anies-Sandi setelah salat Jumat bersama di Masjid At-Taqwa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, deklarasi urung berlangsung. Sebab, Partai Keadilan Sejahtera, yang mengusung Anies, minta kepastian dukungan Kalla. “Saya telepon, beliau masih tidur,” tutur Erwin. Pengumumannya baru dilansir malam, beberapa jam sebelum tenggat, setelah Kalla melakukan salat subuh di New York.

Nama besar Anies, Erwin melanjutkan, belum cukup untuk mendongkrak elektabilitas “pengantin dadakan” itu. Dia menilai Ahok—panggilan Basuki—unggul di segala bidang. Satu-satunya sektor yang bisa mereka garap adalah jaringan masjid. “Maka kami menganggap ini jalan Tuhan karena ada gelombang massa besar 212,” ujarnya. Angka itu mengacu pada demonstrasi 2 Desember 2016 yang menuntut Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus penistaan agama. Anies dan Sandiaga meraih 57 persen suara warga Jakarta dalam pemilihan putaran kedua pada 19 April 2017.

Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2018, sejauh ini, menjadi puncak karier politik Sandiaga Salahuddin Uno yang baru seumur jagung. Pria 49 tahun asal Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu sebelumnya lebih dikenal sebagai pengusaha, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), serta pengurus Kamar Dagang dan Industri.

Lulusan George Washington University itu mulai terpapar politik pada 2011. “Saya satu dari sekian orang yang memberi dia virus politik, ha-ha-ha...,” kata Kamrussamad, rekan Sandiaga sejak masa Hipmi. Koordinator Presidium Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam ini kerap mengajaknya berdiskusi politik sembari makan siang di Gedung Recapital, Kebayoran Baru, saban Jumat. Temanya tak jauh-jauh dari upaya menghadirkan kebijakan politik yang probisnis.

Diskusi mingguan itu berlangsung rutin sampai 2013. Di hampir setiap sesi, Samad—panggilan Kamrussamad—mengajak rekannya itu terjun ke politik praktis. “Kita memerlukan orang-orang baik di dunia politik,” ujar Samad, 44 tahun. Dirayu begitu, Sandiaga membalas dengan mengatakan mengawal dunia usaha tidak kalah pentingnya.

Samad tidak habis akal. Politikus lulusan Universitas Muslim Indonesia, Makassar, ini mencari orang politik yang punya latar belakang pendidikan tinggi di Amerika Serikat, seperti Sandiaga. Dia pun memperkenalkan Sandiaga kepada Tommy Djiwandono, Bendahara Umum Gerindra, yang merupakan teman kuliah Rosan Roeslani di Oklahoma State University. “Mulai ada chemistry,” kata Samad, yang juga kader Gerindra.

Kontribusi perdana Sandiaga untuk partai yang berdiri pada 2008 itu adalah merekomendasikan sejumlah pengusaha muda menjadi calon legislator dalam Pemilihan Umum 2014, di antaranya Anggawira asal Cirebon. Berikutnya, Sandiaga ditunjuk menjadi juru bicara tim kampanye Prabowo yang bertarung dalam pemilihan presiden bersama Hatta Rajasa. Sandiaga resmi masuk Gerindra sebagai wakil ketua dewan pembina pada awal 2015. “Cukup lama prosesnya,” ujar Samad.

Sempat menolak dengan alasan ingin berkontribusi di segi pemikiran, Sandiaga tak kuasa menolak permintaan Prabowo untuk bertarung dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Samad membantu sejak awal, Februari 2016.

Tim pemenangan memutuskan Sandiaga harus menyapa masyarakat sesering mungkin. Awalnya, kata Samad, sulit. Warga permukiman kumuh memandang aneh seorang pria berpenampilan metroseksual yang berbicara diselipi istilah bahasa Inggris keluar-masuk gang becek. “Kami sampaikan, kalau ketemu warga, satu per satu disalami, ditatap, dipegang bahunya, tanya kabar,” tutur Samad. Kemewahan setelan dan kendaraan juga dipangkas.

Setelah Sandiaga menjadi wakil gubernur, Samad menolak tawarannya masuk balai kota. Anggota tim sukses yang terus mendampinginya antara lain Rikrik Rizkiyana sebagai Ketua Tim Harmonisasi Regulasi. Salah satu rekomendasi pengacara lulusan Universitas Indonesia itu adalah pencabutan diskon 50 persen pajak bumi dan bangunan lapangan golf.

Samad kembali mendampingi Sandiaga sejak dia ditunjuk Prabowo sebagai calon wakil presiden, Agustus tahun lalu. Posisinya penasihat politik hingga 2024. Sedangkan Erwin Aksa tidak ambil pusing akan nasib sahabatnya dalam pemilihan presiden 2019. “Apa pun hasilnya, Sandiaga pemenangnya,” kata Erwin. “Di pilpres 2024, dia sudah punya basis politik.” 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus