Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aturan baru OJK membuat pendana retail khawatir imbal hasil akan turun.
Tak sedikit duit pendana yang tertahan karena platform pinjol bermasalah.
Pendana retail diminta lebih jeli dalam memilih platform investasi.
ATURAN main anyar pinjaman daring yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan membuat Fabian menghitung ulang peluang investasinya di platform teknologi finansial (fintech) alias pinjol. Pria yang sudah menjadi investor retail beberapa platform pinjol sejak tiga tahun lalu itu khawatir imbal hasil investasi yang diterimanya akan turun. Sebab, kini OJK membatasi pengenaan bunga pinjol sehingga diperkirakan menekan penerimaan perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peta jalan Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi serta Surat Edaran OJK Nomor 19/SEOJK.06/ 2023 membatasi setiap platform untuk mengenakan bunga 0,1-0,3 persen per hari. Angka itu berada di bawah ketentuan yang sebelumnya ditetapkan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), yakni bunga harian maksimum 0,4 persen per hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, menurut pria 28 tahun itu, dengan penerimaan yang berkurang, bisa saja perusahaan akhirnya menurunkan imbal hasil bagi para investornya. Padahal saat ini para pemberi pinjaman sudah dikenai pajak penghasilan sebesar 15 persen. "Prospek investasi peer-to-peer lumayan suram dibanding sebelumnya. Sebab, mereka khawatir bunga pinjaman jadi turun karena aturan OJK," ujar Fabian kepada Tempo, 30 Desember 2023.
Sejak awal, Fabian memang mulai menjajal berinvestasi di pinjol lantaran tergiur janji imbal hasil yang lebih tinggi dibanding alternatif aset lainnya. Apalagi, pada 2020, ketika ia pertama kali berinvestasi sebagai pemberi pinjol, tak sedikit platform yang memberi janji imbal hasil pasti. "Enggak peduli peminjam bisa bayar atau tidak, platform tetap mengembalikan pokok beserta bunganya," kata pekerja swasta di Jakarta itu.
Sebagai pekerja yang membutuhkan tambahan penghasilan pada masa pandemi Covid-19, ia pun menilai penawaran tersebut sangat menarik dan lebih menjanjikan ketimbang pilihan investasi lainnya. Saat itu, ia juga sudah mencoba berinvestasi saham yang berujung boncos dan investasi di reksa dana yang kenaikan nilainya pelan. Deposito dan surat utang negara juga kurang menarik karena suku bunga sedang rendah. Di sisi lain, pinjol memberi janji imbal hasil 10-20 persen, tergantung kelas risikonya.
Bermula dari sana, Fabian mulai terjun berinvestasi di pinjol. Bahkan kini porsi investasinya di pinjaman daring sudah mencapai 40 persen dari keseluruhan portofolio investasinya. Selain pinjol, ia berinvestasi di reksa dana pendapatan tetap 50 persen dan surat berharga negara 10 persen. Khusus pinjol, puluhan juta rupiah telah ia gelontorkan untuk mendanai para kreditor. Prinsipnya satu: hanya akan mendanai pinjaman produktif.
Tak Melulu Kisah Manis
Pameran Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 di Jakarta, 23 November 2023. Tempo/Tony Hartawan
Warga Jakarta Utara itu mengaku juga pernah mencecap getirnya berinvestasi di pinjol. Misalnya, ia pernah menyalurkan pinjaman melalui salah satu platform. Ia mengatakan telah menyeleksi calon peminjam secara teliti dan hanya memilih proyek yang menjanjikan. "Tapi ternyata platformnya kecolongan agunan abal-abal."
Total empat platform pinjol pernah ia jajal untuk menyalurkan pinjaman. Dari pengalaman itu, duitnya pernah tertahan dua kali di satu platform dan baru kembali satu tahun kemudian. Di platform lainnya, pinjamannya pernah direstrukturisasi sepihak oleh pihak aplikasi. Namun, karena ia membatasi pinjaman yang disalurkan agar tidak terlalu besar, duit yang nyangkut pun tak lebih dari Rp 3 juta. Namun kondisi tersebut tetap membuat ia dongkol. "Ada satu pinjaman, asuransinya cair bulan ini. Setelah cair, aplikasinya akan saya uninstall, kapok."
Walau menjalani lika-liku, Fabian mengaku belum akan menghentikan investasinya melalui platform pinjol. Hanya, ia akan lebih selektif dalam memilah-milih platform dan calon peminjam. Sebab, dari hitung-hitungannya, jika pinjol dapat memberikan imbal hasil 10 persen per tahun saja, pendapatan yang ia peroleh masih lebih besar dari SBN ataupun deposito. "Masih menarik."
Kisah yang mirip diceritakan oleh Bagaskara, seorang lender pinjaman online yang terjun di sektor ini sejak Januari 2022. Ia mulai mencicipi berinvestasi di pinjol setelah terbujuk oleh konten seorang pendengung di media sosial. "Katanya imbal hasilnya lumayan dan platformnya menyediakan asuransi kalau gagal bayar. Jadi, menurut saya, cukup aman."
Lantaran cuma coba-coba, duit yang digelontorkan untuk berinvestasi di pinjol ia batasi hanya Rp 5 juta plus imbal hasilnya. Total, dalam dua tahun ini keuntungan berinvestasi di pinjol telah mencapai sedikitnya 19 persen.
Merasakan cuan yang lumayan sempat membuatnya berpikir untuk menambah porsi investasinya pada tahun ini. Namun belakangan niat itu dia urungkan. Berbagai berita dan informasi yang berseliweran beberapa bulan terakhir membuat Bagas ragu. "Saya baca dan dengar banyak platform yang gagal bayar dan tidak mengeluarkan asuransinya. Enggak jadi deh menambah modal," ujarnya. Meski demikian, Bagas masih akan melanjutkan pendanaan dengan modal yang sudah ada.
Dari sisi ceruk pasar, Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (Celios) Nailul Huda melihat prospek permintaan pinjaman melalui fintech lending masih tetap tinggi. Sebab, kesenjangan antara permintaan dan kemampuan penyaluran pendanaan dari lembaga keuangan masih sangat lebar.
Riset AFPI bersama EY Parthenon Indonesia menyebutkan total kebutuhan pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 4.300 triliun. Sementara itu, kemampuan suplai hingga tahun lalu hanya sekitar Rp 1.900 triliun. Artinya, masih ada selisih Rp 2.400 triliun untuk pendanaan sektor UMKM. Belum lagi dengan permintaan dari sektor konsumtif. "Masih banyak masyarakat yang tidak terjangkau fasilitas kredit perbankan. Celah ini bisa diisi oleh pinjaman online," kata Huda.
Ia memperkirakan lebih dari 50 persen penduduk usia dewasa di Indonesia belum terlayani oleh layanan keuangan perbankan. Padahal kebutuhan pinjaman terus meningkat seiring dengan harga-harga yang melejit, sedangkan pendapatan stagnan. Karena itu, pinjol menjadi alternatif bagi publik. Namun prospek pinjol masih akan dipengaruhi pula oleh perubahan pengaturan yang dilakukan OJK.
Pilih-pilih Platform Pinjol
Ilustrasi pinjaman online. Dok. Tempo/Nurdiansah
Chairman Indonesia Fintech Society (Ifsoc) Rudiantara berujar aturan anyar OJK memang layak menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan. Musababnya, ketentuan itu akan mengubah lanskap bisnis pinjol ke depan. Secara tersirat, ia membenarkan apa-apa yang dikhawatirkan investor retail mungkin terjadi, yakni banyak platform pinjol berguguran dan imbal hasil pinjaman tertekan.
Di sisi lain, optimisme masih tinggi dan meningkatnya permintaan pendanaan dari pinjol juga masih terjadi karena pinjol bermain di ceruk pasar yang berbeda dengan bank, bank perkreditan rakyat—sekarang bank perekonomian rakyat—ataupun rentenir. Data OJK menunjukkan jumlah perusahaan penyelenggara fintech lending terdaftar dan berizin pada Desember 2020 mencapai 152 perusahaan. Pada Oktober 2023, jumlah pemain pinjol menyusut menjadi 101 perusahaan. "Pemain pasti menyusut. Dari seratusan nanti tinggal setengahnya mungkin dalam dua tahun lagi," kata Menteri Komunikasi dan Informatika periode 2014-2019 itu.
Penyebab utama pinjol tutup, Rudiantara menuturkan, adalah karena semakin seretnya pendanaan. Dengan jumlah pemain yang banyak, kompetisi antar-perusahaan semakin ketat. Di sisi lain pendanaan dari investor yang selama ini menjadi andalan startup digital juga tengah seret di tengah gejolak perekonomian global. Pemodal-pemodal ventura diperkirakan hanya mendanai perusahaan yang prospektif dan peluang imbal hasilnya sudah jelas.
Dengan iklim persaingan seperti itu, kata Rudi, hanya perseroan yang sehat yang dapat bertahan di industri fintech lending. Tapi, konsekuensi lainnya, perusahaan pinjol juga bakal putar otak mencari pendanaan murah. Saat ini, selain dari lender retail dan modal ventura, pendanaan yang disalurkan pinjol bisa berasal dari perbankan dan pinjaman internasional. Ia menduga perusahaan yang akan mengurangi porsi peer-to-peer atau debitor retail karena biaya bunganya lebih tinggi. Hal inilah yang mesti dicermati investor retail.
Dari sisi sektor, Rudiantara melihat pinjol yang bergerak di sektor produksi masih memiliki risiko paling tinggi karena ada faktor keterjualan produk terhadap pelunasan pinjaman. Akibatnya, jika penjualan dari produk tidak sesuai dengan harapan, ada potensi kredit menjadi macet. Karena itu, ia melihat yang paling prospektif adalah di sektor distribusi atau perdagangan. "Seperti untuk warung, karena perputaran uangnya lebih cepat," katanya.
Pemilihan sektor permintaan pendanaan oleh pendana cukup penting karena bisa mempengaruhi pengembalian dana. Pada 2023, tak sedikit kasus duit pendana nyangkut lantaran pembayaran dari peminjam macet. Dengan berbagai pertimbangan itu, kendati investasi di pinjol menawarkan cuan yang lebih besar dibanding aset lainnya, Rudiantara mengatakan para calon pendana harus lebih jeli dalam memilih platform, menilai risiko, ketentuan asuransi, serta kebutuhan yang akan didanai.
CAESAR AKBAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo