Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kegiatan meramban bisa mengasah kepekaan terhadap tumbuh-tumbuhan di sekitarnya.
Jangan melakukan kegiatan meramban di tempat tercemar.
Nilai nustrisi tumbuhan liar pun tak kalah oleh tumbuhan budi daya.
Sejak mengenal kegiatan meramban atau foraging pada 2019, sayuran yang dikonsumsi Putri Sarihati bersama keluarganya kini lebih beragam. Saban akhir pekan, perempuan berusia 34 tahun yang tinggal di Jeneponto, Sulawesi Selatan, itu berburu tumbuhan liar di sekitar rumah hingga taman kota. Sesekali, ia menyusuri area gunung sambil mengajak anak-anaknya rekreasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aneka tumbuhan liar itu, di antaranya, adalah ketumbar bolivia, bunga ajeran atau ketul, sintrong, pegagan, dan kenikir. Ia sering meramu bahan-bahan tersebut menjadi penganan sehari-hari, seperti pecel, sayur bening, dan tumisan. "Paling gampang dibikin pecel karena rasanya nge-blend dipakein bumbu kacang. Beda kalau ditumis, biasa," kata Putri kepada Tempo, Rabu, 23 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lewat kegiatan meramban, Putri bisa mengasah kepekaan terhadap tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Ketika pergi berkemah dengan keluarga, ia tak lagi repot-repot memasak sayur. Bekalnya hanya nasi, ayam goreng beli jadi, dan bumbu pecel. Sayurannya tinggal memetik dari gulma yang tumbuh di area perkemahan. "Tapi aku tetap bawa sayuran dari rumah biar enggak kaget. Seperti kol, wortel, dan taoge."
Putri mendapat pengetahuan tentang meramban ini dari berbagai saluran. Selain pernah mengikuti kelas online, Putri belajar lewat buku dan informasi dari tetangganya. Bahkan lokasi untuk meramban tidak perlu sampai pergi ke hutan. Dari lingkungan sekitar rumah sudah cukup. Tapi, kata Putri, ada syarat dan ketentuan yang berlaku.
Bila menetap di daerah tinggi polutan, jangan langsung mengkonsumsi tanaman liar. Sebab, tumbuhan liar di pinggir jalan yang dilalui kendaraan sudah menyerap banyak timbal. Agar rambanan aman dikonsumsi, Putri biasanya mengadopsi dulu benih atau anakan tumbuhan tersebut ke pot di rumah. Karena sifatnya yang invasif, tanaman liar itu cepat bertumbuh. Dalam 2-3 bulan, Putri siap memanen dan mengolahnya jadi penganan.
Botanis Institut Pertanian Bogor (IPB) dan penulis buku "Panduan Meramban", Thobib Hasan Al Yamini. Dok. Pribadi
Ahli botani dari Institut Pertanian Bogor sekaligus penulis buku Panduan Meramban, Thobi Hasan Al Yamini, mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan foraging. Bagi yang awam dan ingin belajar, langkah pertama adalah mengenal tumbuhannya. "Jangan salah ambil," kata pria berusia 31 tahun itu.
Thobib mengatakan penting mengetahui cara mengidentifikasi tumbuhan liar. Salah satunya adalah membaca buku panduan yang bersifat lokal untuk dijadikan acuan belajar tentang identifikasi tumbuhan pangan. Menurut Thobib, ada spesies tumbuhan yang serupa, tapi bisa jadi salah satunya beracun.
Kiat kedua adalah lokasi perambanan. Anggota Yayasan Generasi Biologi Indonesia itu menyarankan agar pegiat foraging melakukan kegiatan meramban di tempat yang tidak tercemar. Beberapa lokasi yang perlu dihindari, antara lain, adalah di dekat aliran selokan atau sungai yang menjadi pembuangan limbah.
Begitu pula untuk tumbuhan di air, seperti eceng gondok, pastikan airnya tidak tercemar. Sebab, tumbuhan air memiliki kemampuan akumulatif dengan zat pencemar. "Kalau termakan bisa berbahaya. Begitu pula tumbuhan di tepi jalan raya, tempat lalu lalang kendaraan bermotor," ujarnya. "Kalau dikonsumsi, akan berdampak kurang bagus ke tubuh."
Pegiat foraging, Britania Sari, meramban harendong atau senggani (Melastoma candidum) di sekitar rumahnya di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 24 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian
Tak kalah penting, Thobib menyebutkan harus tahu cara mengolahnya. Pasalnya, ada beberapa tumbuhan liar yang bisa dimakan mentah dan ada pula yang harus dimasak lebih dulu. Bahkan cara memasaknya juga harus tahu. "Apakah hanya dibakar, direbus, digoreng atau direbus berapa kali. Ketahui bagian mana yang bisa dimakan," tuturnya.
Untuk identifikasi tumbuhan, selain lewat buku, bisa memanfaatkan teknologi. Thobib mengatakan saat ini ada beberapa aplikasi yang bisa membantu mengenali tumbuhan, hanya dengan memotretnya. Nanti akan muncul rekomendasi gambar-gambar yang mirip dari referensi pengguna. Pilih foto dengan jenis tumbuhan yang paling mirip, cari nama ilmiahnya, lalu verifikasi ulang. Jika tidak yakin, Thobib menyarankan untuk bertanya kepada ahlinya. Misalnya dengan mengkonfirmasi lewat komunitas tumbuh-tumbuhan di media sosial. Di komunitas tersebut biasanya ada juga ahli botani.
Thobib mengungkapkan ada berbagai jenis tumbuhan liar yang paling mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Salah satunya krokot, daun asam kecil atau oxalis corniculat, ekor kucing, dan sirih bumi. Gulma tersebut bisa diolah menjadi salad, lalapan, dan pecel. Bahkan bisa juga menjadi obat dan memiliki khasiat.
Nilai nutrisi tumbuhan liar pun tak kalah oleh tumbuhan budi daya. "Karena banyak jurnal yang mengungkap nutrisi tumbuhan liar," kata Thobib. Ia mencontohkan tanaman krokot yang memiliki asam folat tinggi dibanding sayuran budi daya. Selain itu, tumbuhan liar bisa menjadi sumber pangan alternatif saat masa paceklik serta menambah variasi makanan. "Makin bervariasi makanan, kita makin sehat. Biar enggak itu-itu saja."
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo