Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tokoh-tokoh di Layar Cannes

Festival Cannes kali ini diwarnai kemunculan film-film biografi yang cukup signifikan. Sebagian tokohnya masih muda dan hidup.

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Il Divo Sutradara: Paolo Sorrentino Pemain: Toni Servillo, Anna Bonaiuto, Giulio Bosetti, Flavio Bucci Produksi: Indigo Film, Lucky Red, Parco Film

We learn from gospel, that when they asked Jesus what truth was, He did not reply,” begitu kata Giulio Andreotti. Dan Andreotti adalah pengikut Yesus yang taat. Tapi Andreotti juga figur dengan banyak kontradiksi dan kontroversi yang menyelubungi perjalanan hidup pria kelahiran Roma, 14 Januari 1919, itu.

Karena itu, Paolo Sorrentino tergelitik untuk membuat sebuah film tentang pria yang pernah menjabat Perdana Menteri Italia sebanyak tujuh periode, menjabat menteri dalam berbagai departemen sebanyak 25 kali, dan senator seumur hidup di Italia itu. Tentu, sebuah keputusan yang cukup berani mengingat orang-orang yang pernah mengkritik Andreotti biasanya hilang tak berbekas atau tewas dengan sebab yang tak jelas.

Tapi toh film yang kemudian diberi judul Il Divo—yang merupakan salah satu dari banyak nama julukan Andreotti—tersebut mungkin film politik yang paling ringan dan lucu sekaligus paling sinis mengkritik pria dengan kekuasaan terselubung yang menyamai mantan presiden Soeharto di Indonesia itu.

Oriana Fallaci (almarhum), jurnalis Italia dan pewawancara yang andal, khususnya dalam bidang politik, mengenangnya sebagai sosok yang hangat, menyenangkan, dan lembut. ”Tapi entah kenapa, Andreotti membuat saya takut,” kata Fallaci. Belakangan Fallaci membuat kesimpulan bahwa kekuasaan yang sejati tidak perlu ditunjukkan dengan sikap angkuh, wajah sangar, jenggot panjang, dan suara yang menggelegar. ”Andreotti menunjukkan bahwa orang yang berkuasa adalah orang yang hangat dan pintar,” ujar Fallaci.

Sorrentino cukup lihai merangkum mitos yang melingkupi Andreotti dengan gaya karikatural yang kental; Sorrentino berangkat dari pernyataan Margaret Thatcher tentang politikus itu. ”He seemed to have a positive aversion to principle, even a conviction that a man of principle was doomed to be a figure of fun.”

Dengan wajahnya yang tanpa ekspresi, sosok yang terlihat sakit dan ringkih, serta punggung yang membungkuk seperti kura-kura, Andreotti benar-benar merupakan sosok unik yang kehadirannya selalu menimbulkan kesan lucu sekaligus mengerikan. Dalam Il Divo, Sorrentino tidak menutupi kekagumannya terhadap Andreotti sebagai tokoh politik paling berpengaruh dalam sejarah Italia. Tapi Sorrentino juga tidak menutupi pandangan kritisnya terhadap pria yang selalu lepas dari jerat hukum itu.

Beberapa kali Andreotti dibawa ke meja sidang karena keterlibatannya dengan mafia, campur tangannya terhadap aksi-aksi penghilangan dan pembunuhan jurnalis serta tokoh-tokoh oposisi. Tak ada yang pernah sanggup menjangkau Andreotti. Dan Sorrentino tidak segan-segan menghubungkan berbagai peristiwa penting dalam sejarah Italia yang secara tidak langsung menunjukkan keterlibatan Andreotti.

Permainan gemilang aktor Toni Servillo yang berhasil memperlihatkan sosok Andreotti, penyutradraan Sorrentino yang seperti tanpa beban, dan editing yang ngepop membuat Il Divo menjadi film politik yang kaya akan humor-humor sinis. Il Divo juga membenarkan kutipan Andreotti sebagai pengikut yang patuh di jalan Yesus. Andreotti juga tidak pernah menjawab apa itu ”Kebenaran”. Ia hanya duduk, diam, dan mengamati.

Tyson Sutradara: James Toback Pemain: Mike Tyson

Film ini seperti sebuah apologi. Ya, penjelasan panjang-lebar untuk pertanyaan dasar ”mengapa saya jadi seperti ini?”. Tyson karya James Toback ini adalah sebuah arena lain bagi Tyson untuk bertarung melawan prasangka. Film yang memang sudah lama direncanakan dan melibatkan James Toback, yang juga teman karib Tyson, serta Tyson sendiri yang masuk daftar eksekutif produser.

Seperti Maradona, Tyson merekonstruksi hidupnya lewat penjelasan langsung yang digabungkan dengan arsip wawancara, foto, dan dokumentasi gambar. Bedanya, James Toback tidak senarsis Kusturica. Sebagai sutradara, Toback hanya mengamati lewat kamera dan mendengarkan kisah tokoh utamanya tanpa interupsi.

Dan Mike Tyson memang punya kisah yang mengharukan untuk diceritakan. Lahir dan tumbuh di jalanan Brooklyn, Tyson terbentuk menjadi remaja yang kuat secara fisik tapi rapuh secara psikis. Bagian yang paling mengharukan tentu saja saat ia bercerita tentang diskriminasi yang harus dihadapinya karena warna kulitnya yang hitam.

Toback cukup berhasil membuat Tyson curhat di depan kameranya sambil tetap memperlihatkan imaji Tyson yang garang. Seperti saat ia bilang, ”Tak seorang pun akan berani main-main denganku lagi,” lalu kalimat itu terputus, Tyson seperti tercekik oleh napas memburu dan tak sanggup melanjutkan. Tapi beberapa detik kemudian, tiba-tiba dengan garang ia melanjutkan, ”Sebab, aku akan membunuhnya.”

Hunger Sutradara: Steve McQueen Pemain: Michael Fassbender, Liam Cunningham, Stuart Graham

Pada menit-menit pertama, Hunger tidak tampak seperti sebuah kisah yang hanya terpusat pada satu sosok. Sutradara Steve McQueen malah sibuk mengawali filmnya dengan suasana penjara dan mengikuti salah seorang penjaga penjara, Raymond Lohan (Stuart Graham), menjalankan aktivitasnya di penjara Belfast’s Maze, tempat sejumlah tahanan anggota IRA disekap.

Lalu adegan beralih ke dua anggota IRA, yang melakukan aksi mogok mengenakan selimut sebagai pernyataan sikap menolak semua fasilitas pemerintah yang tidak menganggap mereka sebagai tawanan politik. Di tengah film, barulah, kamera menengok dan beralih kepada Bobby Sands di tengah pergulatannya mempertanyakan pantas-tidaknya sebuah pendirian diperjuangkan.

Dialog-dialog cerdas, sederhana, tapi filosofis terjadi antara Bobby Sands dan Pendeta Dominic Moran ketika Sands akhirnya sampai pada keputusan melakukan aksi mogok makan. ”Freedom means everything to me. Taking my life is not just the only thing I can do. It is the right thing.”

Kisah ini bisa jadi dramatis dan heroik, tapi tidak di tangan McQueen. Hunger bukan tentang tokoh pahlawan atau martir, apalagi korban. Hunger lebih merupakan sebuah film yang menyodorkan fakta tentang sebuah keyakinan yang diperjuangkan. Selebihnya, penonton diberi keleluasaan untuk menilai sendiri, mempertanyakan sendiri arti film ini.

Roman Polanski: Wanted and Desired Sutradara: Marina Zenovich

Sebuah film dokumenter yang berusaha memperjelas duduk perkara sebuah kasus yang terjadi 30 tahun lalu tentang pelecehan seksual terhadap gadis di bawah umur. Sang pria, 43 tahun, sedangkan si gadis berumur 13 tahun. Kasus-kasus tentang perversion tentu saja banyak terjadi di sekitar kita hingga saat ini dengan berbagai motif, entah itu suka sama suka, entah memang pria tua yang sedang puber.

Tapi ini menyangkut Roman Polanski, seorang sutradara tenar yang berbakat, yang istrinya, Sharon Tate, terbunuh secara sadis saat sedang hamil 8 bulan oleh pengikut Charles Manson. Maka tentu saja film ini jadi menarik untuk disimak.

Apalagi sang sutradara, Zenovich, berangkat dari sebuah premis yang dianggap tabu, ”apa yang salah dari seorang pria 43 tahun berhubungan seks dengan gadis belia umur 13 tahun?”. Maka ramailah film ini dengan segala pro-kontranya. Tapi berkat pembuatan film inilah, Zenovich kemudian menemukan intrik-intrik dalam sistem pengadilan yang kala itu dikepalai oleh Laurence Rittenband. Jaksa Rittenband terkenal tak pernah melepaskan kasus-kasus yang melibatkan selebritas.

Hampir semua tokoh kunci akhirnya buka suara di film ini. Samantha Gailey, gadis 13 tahun yang sekarang berumur 45 tahun, hingga Douglas Dalton, pengacara Polanski kala itu yang memilih diam menyangkut kasus ini selama 30 tahun. Intrik dalam sistem pengadilan dan ambisi para penegak hukum akhirnya mengorbankan banyak pihak. Pada akhirnya film dokumenter ini membuat penonton sadar, mengapa sebuah peristiwa bisa membuat Roman Polanski harus mencari suaka di Prancis dan meninggalkan Amerika selamanya.

Rinny Srihartini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus