Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cannes, Rabu petang, 21 Mei 2008. Film baru akan diputar satu setengah jam lagi, tapi antrean wartawan di depan gedung Teater Salle Debussy luar biasa. Memanjang, berkelok-kelok sampai puluhan meter, dan tak bergerak. Arloji menunjukkan pukul 17.00. ”Tak ada yang ingin ketinggalan menyaksikan film ini. Jadi lebih baik pegal berdiri di sini ketimbang hanya mendapatkan cerita dari kawan wartawan lain,” ujar seorang wartawan dari sebuah surat kabar asal Turki.
Che, karya terbaru sutradara Steven Soderbergh, adalah magnet yang menyedot begitu banyak perhatian. Masuk waktu penayangan, seribu tempat duduk di gedung teater itu tak tersisa, baik di lounge maupun di balkon. Untuk yang tak kebagian tempat duduk, panitia menyiapkan satu penayangan lagi di Teater Bazin—tak jauh dari Teater Salle Debussy—yang sanggup menampung 300 penonton.
Ada sederet faktor yang membuat Che begitu dinanti. Pertama, dia masuk dalam seksi Kompetisi Utama, bersaing dengan 21 film lainnya untuk merebut penghargaan tertinggi Palem Emas. Kedua, sutradara yang menggarapnya bukanlah nama yang bisa diabaikan. Steven Soderbergh adalah nama legendaris di ajang Festival Film Cannes, sejak film perdananya, Sex, Lies and Videotape. Sebuah film dengan alur cerita sederhana, diproduksi dengan biaya murah, tapi menggemparkan jagat sinema dunia karena meraih Palem Emas di Festival Film Cannes pada 1988.
Ketiga, Che Guevara adalah legenda besar yang dipuja-puja kaum muda di berbagai pojok dunia. Tentu ada rasa penasaran untuk melihat bagaimana sosok karismatis ini ditafsirkan oleh Soderbergh. Keempat, pemeran Che—aktor Benicio Del Toro—dikenal dengan aneka penampilannya yang mengesankan selama ini. Dan satu lagi yang patut disimak adalah durasinya yang tak lazim: 268 menit atau sekitar empat setengah jam. Hanya segelintir sutradara di dunia ini yang mau menghabiskan waktu menggarap film berdurasi lebih dari dua jam.
Pukul 18.30, gedung teater senyap, menunggu sosok Che yang seakan-akan hadir secara nyata. Film itu dibuka sejak Che tiba di Kuba, dari Argentina, membantu Fidel Castro mengobarkan revolusi untuk menumbangkan rezim represif yang dipimpin oleh Jenderal Fulgencio Batista. Impian kedua revolusionaris muda itu—Che 28 tahun, Fidel 33 tahun—terbukti berhasil. Film tersebut memberikan gambaran yang cukup perinci mengenai sosok Che. Gaya bicaranya sinis, gerak tubuhnya sering berdiri dengan posisi tubuh agak condong ke sisi kiri. Film ini juga menyodorkan aksi perang gerilya yang dilakukannya bersama para pengikutnya saat mereka masih berada di hutan dan bergerak ke kota terluar di garis batas hingga saat merangsek masuk ke Ibu Kota Havana.
Che juga dilukiskan sebagai sosok yang jujur dan mengedepankan nilai-nilai moral. Misalnya dalam salah satu adegan setelah gerilyawan yang dipimpinnya sukses merebut Kota Santa Clara dan sedang menempuh perjalanan menuju Havana yang jarak tempuhnya kira-kira tiga jam dengan mobil. Dalam perjalanan itu, mobil Che disalip mobil sedan mewah yang ditumpangi oleh anak buahnya. Che menyetop mobil itu dan menanyakan asal-usul mobil tersebut. Begitu dia tahu bahwa mobil itu merupakan hasil jarahan dari salah seorang warga Kota Santa Clara yang mendukung rezim Batista, Che memerintahkan agar mobil itu dikembalikan.
Karena durasinya yang panjang, penayangan Che dibagi menjadi dua babak. Paruh pertama sepanjang 2 jam 20 menit, berakhir di adegan mobil mewah itu. Bagian kedua, dengan durasi sekitar dua jam, menampilkan riwayat Che dari saat menyamar masuk ke Bolivia sampai akhir hayatnya. Di antara kedua penggal ini, panitia Festival Film Cannes menyediakan waktu jeda sekitar 20 menit. Mungkin baru kali ini ada film dalam Kompetisi Utama yang diputar dengan intermisi atau jeda seperti ini. Ini pula salah satu dari amat sedikit film panjang yang saya tonton dalam tahun-tahun terakhir. Sebelum ini, saya baru menyaksikan film Lav Diaz dari Filipina, Batang West Side, yang berdurasi lima jam, di Festival Film Singapura pada 2002.
Untuk film Che ini, ditambah dengan jeda, total waktu yang dihabiskan oleh para wartawan adalah lima jam. Jika ditambah dengan waktu antre selama sekitar satu setengah jam, ada enam setengah jam melayang. Semua demi Che. Terdengar lumayan absurd, tapi Festival Film Cannes memang tak akan pernah kekurangan ide untuk menyajikan hal-hal absurd semacam itu.
Ada dua pendapat yang muncul setelah layar ditutup. Sebagian merasa bahwa mereka telah mendapatkan pelajaran berharga tentang sosok Che. Namun, sebagian lainnya merasa tak ada yang terlalu istimewa dari film tersebut. Kelompok terakhir ini merasa bahwa film tersebut lebih heboh dalam kemasan ketimbang isinya.
Kritikus kawakan Todd McCarthy dari majalah film berpengaruh, Variety, mengkritik pedas film ini. ”Jika sang sutradara film ini mencoba keluar dari konvensi umum Hollywood mengenai film biografi, sutradara film ini tak berhasil menunjukkan mengapa Che sebagai dokter, pejuang, diplomat, penulis buku harian, dan teoretikus intelektual menjadi sosok yang melegenda. Sosok Che malah tampak kehilangan karismanya saat ditampilkan di film ini,” tulis McCarthy. ”Durasinya yang panjang juga membuat orang membandingkannya dengan film epik lainnya, seperti Lawrence of Arabia. Sayang, Che tak berhasil menghadirkan nuansa epik itu; ia hanyalah sebuah film yang panjang,” Inilah salah satu kritik yang terpedas sepanjang Festival Film Cannes tahun ini.
Mungkin posisi moderatlah yang terbaik. Film itu memang tidak terlampau istimewa, bahkan terasa berlebihan, termasuk dalam hal durasinya. Banyak adegan yang terasa mubazir dan tidak memberikan efek penguat apa pun untuk keseluruhan film. Dengan kata lain, dibuang pun tidak akan mempengaruhi jalinan cerita. Penggambaran tokoh-tokohnya terlalu terperinci, padahal tidak begitu penting bagi konteks khalayak penonton umum di negeri yang jauh dari Amerika Latin. Penjejalan tokoh-tokoh yang terperinci seperti itu bahkan berpeluang melahirkan kebingungan bagi penonton. Adegan perang gerilya yang dipimpin Che juga terlampau berpanjang-panjang sehingga tidak mengapa jika disunat juga, terutama di paruh kedua. Banyaknya adegan perang gerilya ini bahkan menimbulkan rasa bosan. Beberapa penonton terdengar mendengkur saat menyaksikan paruh kedua ini, apalagi malam kian larut ketika itu.
Namun, tentu saja ada hal yang perlu dipuji dari film ini. Misalnya saja, beberapa adegan terasa menyentuh karena menunjukkan sisi manusiawi seorang Che. Sosok yang telah dianggap bagai dewa di mata sebagian orang itu bisa tampil sebagai sosok manusia sejati. Dia sempat juga disergap kesepian karena berpisah dengan keluarganya, juga sempat dihadang rasa jeri. Ini menjadi pelengkap bagi sisi lain dari dirinya, yang digambarkan sebagai sosok yang cerdas, selalu bersandar pada akal sehat, pantang menyerah, dan di atas segalanya, karismatis.
Karisma Che tergambar di saat-saat menjelang akhir hayatnya setelah dia ditangkap oleh tentara Bolivia di sebuah hutan. Di ruang penyekapan, dia dikawal oleh seorang tentara muda bersenjata. Tentara itu jatuh iba dan menyilakan Che ikut mengisap rokoknya. Che mengangsurkan kedua tangannya yang diikat dan meminta si tentara muda itu melepaskannya. Sejenak dia ragu dan nyaris memenuhi permintaan Che, tapi tiba-tiba tersadar serta membatalkan langkahnya. Sesudahnya, si tentara meminta penggantian giliran jaga dengan kawannya yang lain, karena tahu bahwa dirinya sudah bertekuk lutut di bawah pengaruh Che, lewat sorot matanya yang tajam itu.
Hal lain yang menonjol tentu saja permainan gemilang Benicio Del Toro. Kesempurnaan aktingnya benar-benar mampu menghidupkan sosok Che. Sebuah upaya yang harus diberi angkat topi sehingga hampir bisa dipastikan tiada yang protes ketika di malam pengumuman pemenang, dewan juri Festival Film Cannes dengan suara bulat menobatkannya sebagai aktor terbaik.
Arya Gunawan (Cannes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo