Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=verdana size=1>Emir Kusturica:</font><br />Maradona Salah Satu yang Terbesar

16 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Maradona… tendang bolanya!” ”Emir… Maradona… main bola dong di depan kami!”

Sesi foto di Festival Film Cannes itu tiba-tiba riuh rendah oleh teriakan-teriakan para juru foto. Maradona dan sutradara Emir Kusturica, dua sosok yang melahirkan Maradona, sekonyong-konyong hadir di hadapan mereka, dan tiada yang lebih baik daripada memanfaatkan kesempatan ini.

Tanpa dikomando dua kali, Maradona meloncat ke atas meja dan mulai mengolah bola. Emir Kusturica yang juga bekas pemain bola ikut bergaya. Dalam sekejap, ajang sesi foto itu menjadi sebuah lapangan bola kecil, dengan dua pemain.

Lama tak terdengar kabarnya, Maradona terlihat segar, banyak tersenyum. Ia terlihat lebih langsing setelah frustrasi yang membuat tubuhnya melar, nyaris seperti bola. ”Saya turun 40 kilogram gara-gara Kusturica,” kata Maradona terkekeh. Seusai sesi pemotretan itulah, Rinny Srihartini dari Tempo berhasil mewawancarai Emir Kusturica sejenak sebelum dibawa ke ruang konferensi pers. Berikut ini petikannya.

Anda sudah lama merencanakan film ini, kalau tidak salah sejak 2004, sebelum film Anda tahun lalu, Promise Me This. Kenapa baru selesai sekarang? Apa kendalanya?

Memang butuh waktu lama. Pertama, karena Maradona sendiri yang agak susah diyakinkan. Maradona sepertinya punya masalah dengan media. Karena itu, dia agak ragu-ragu ketika saya menawarkan proyek ini. Dia juga susah diatur dan kadang tidak taat jadwal. Beberapa kali dia lupa bahwa kami harus bertemu. Selain itu, ada masalah teknis. Begitu banyak footage tentang Maradona yang tersebar dan tidak mudah mengumpulkannya. Belum lagi masalah hak cipta. Hal-hal kecil seperti itulah.

Dan kenapa memilih subyek Maradona?

Ceritanya panjang. Saya tahu Maradona sejak akhir 1970-an. Waktu itu saya menonton pertandingan Junior World Cup Tokyo, karena saya memang penggila bola. Sejak itu namanya terus menanjak dan makin populer di dunia persepakbolaan. Saya mengikuti setiap beritanya dan mengikuti perkembangan kariernya. Yang saya tidak sangka kemudian adalah ketika dia juga ternyata ikut dalam kampanye anti-Bush. Saat itulah saya makin tidak bisa menutupi kekaguman saya dan berjanji suatu kali akan memfilmkan dia.

Anda juga turut tampil di depan kamera dan seperti berbagi ruang dengan Maradona di film ini….

Saya memang tidak bisa menutupi kekaguman saya terhadap Maradona, karena itu saya berlaku seperti seorang paparazzi yang menguntit ke mana saja Maradona pergi. Bahwa Anda bilang saya berbagi ruang dengan Maradona di film itu, memang iya. Karena itu, judulnya Maradona by Kusturica.

Bagaimana rasanya akhirnya bisa memfilmkan idola Anda? Sepertinya sekarang Anda sangat akrab?

Sebelumnya ia adalah idola saya. Sekarang pun tetap jadi idola saya. Tapi sekarang kami seperti teman lama bahkan nyaris seperti saudara. Ia akhirnya mempercayai saya. Karena itu, kami berhasil membuat film ini bersama. Dan saya tidak menyangka dia bisa menjadi aktor yang sangat baik. Ia adalah seorang entertainer sejati dan terlahir untuk itu. Maradona adalah seorang ikon, salah satu yang terbesar sepanjang 20-30 tahun terakhir.

Setelah bekerja dengan Maradona, adakah sesuatu yang Anda temukan selain Maradona yang Anda kenal selama ini?

Dia sangat humoris dan cerdas. Selain itu, dia ternyata sangat sadar politik. Ia menentang IMF. Ia mendukung pemerintah yang menolak IMF, yang terus terang saja makin membuat saya kagum kepada Maradona. Selain lihai di lapangan bola, ia memahami peta politik dan tahu apa yang dilakukannya, karena itu ia menyatakan dukungannya terhadap Christina Kirchner pada pemilihan umum di Argentina.

Tapi bukankah Maradona juga punya sisi gelap?

Ya, tentu saja. Saya pernah kecewa ketika dia menjadi bintang Pepsi, yang tentu saja sangat bertolak belakang dengan penentangannya terhadap imperialisme. Dan ia sepertinya tidak terbebani oleh hal itu. Baginya, menentang imperialisme itu harus. Tapi bekerja sebagai bintang Pepsi itu lain cerita. Tapi apa pun yang dia lakukan, akhirnya bagi saya dia hanya manusia biasa yang punya bakat luar biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus