Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garuda di Dadaku 2
Genre: Drama
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Penulis Naskah: Salman Aristo
Pemain: Emir Mahira, Aldo Tansani, Monica Sayangbati, Maudy Koesnaedi, Rio Dewanto, Muhammad Ali, Ramzi, Rendy Khrisna
Pertandingan semifinal antara tim nasional di bawah 15 tahun (U-15) Indonesia dan Malaysia berlangsung ketat. Sampai babak kedua berakhir, belum ada satu gol pun tercipta. Lewat adu penalti, akhirnya Indonesia berhasil meraih kemenangan. Tapi buat Bayu, kemenangan itu terasa kurang sempurna. Dia gagal mempersembahkan satu gol pun. Di ruang ganti, kekecewaannya kian menebal. Sang pelatih memutuskan di babak final nanti posisinya sebagai kapten diganti. Semangat Bayu untuk berlatih langsung mengendur.
Dalam film Garuda di Dadaku (2009), kita mengenal Bayu (Emir Mahira) sebagai bocah penggemar sepak bola yang punya cita-cita menjadi anggota tim nasional. Walaupun sang kakek menentang keras, bocah kelas enam sekolah dasar itu tak patah semangat. Dibantu sahabatnya, Heri, dia diam-diam rutin mengasah bakatnya itu di sebuah pemakaman umum. Belakangan, hati sang kakek luluh. Di akhir film, kita menyaksikan Bayu terpilih sebagai anggota tim nasional U-13.
Nasib Bayu selanjutnya disuguhkan dalam film Garuda di Dadaku 2. Masih mengandalkan Salman Aristo sebagai penulis naskah, kali ini penyutradaraan diserahkan kepada Rudi Soedjarwo. Setelah menggarap Lima Elang, Rudi, yang sempat terjun ke film horor, tampaknya kian lincah menggarap film anak.
Konflik yang dibangun dalam Garuda di Dadaku 2 terasa lebih serius. Bukan sekadar perkara memenangi sebuah kompetisi, tapi juga bagaimana melawan diri sendiri. Bayu yang menjadi kapten menanggung beban moral cukup berat lantaran timnya belum pernah menggondol satu gelar pun. Apalagi sudah lebih dari 20 tahun Indonesia selalu kalah. Ketika kompetisi junior tingkat ASEAN digelar di Jakarta, dia dan teman-temannya bertekad mengukir sejarah. Bayu juga merasa masih punya utang kepada sang kakek yang kini tiada.
Tapi itu tak mudah. Bayu bukan cuma menghadapi ruwetnya urusan sepak bola, termasuk pelatih lama (Dorman Borisman) yang mendadak diganti Wisnu (Rio Dewanto), yang lebih keras dan tegas. Ia juga kerepotan membagi waktu antara latihan dan sekolah. Di sisi lain, dia merasa makin kehilangan perhatian sang ibu yang makin sibuk dengan pekerjaan dan pacarnya. Konsentrasinya makin terpecah ketika melihat Heri kian akrab dengan Yusuf (Muhammad Ali), bintang baru di timnas.
Dibanding sebelumnya, film ini memang memiliki banyak subplot yang untungnya bisa dieksekusi dengan baik. Memang, ada sejumlah adegan yang mungkin tak berpengaruh jika dihilangkan. Rudi juga cukup berhasil menyambung benang merah karakter yang muncul di filmnya dengan film sebelumnya. Emir Mahira, yang baru diganjar penghargaan aktor terbaik dalam Festival Film Indonesia 2011 lewat film Rumah tanpa Jendela, mampu menampilkan karakter remaja yang gelisah. Demikian juga kemampuan akting Rio Dewanto yang kelihatan semakin matang.
Sebagai sebuah film sport drama, Garuda di Dadaku 2 banyak menyajikan adegan pertandingan yang lumayan menegangkan. Sayangnya, adegan pertandingan terlalu sering muncul, hingga sensasi ketegangan kian berkurang. Adegan final yang sejatinya menjadi sebuah klimaks pun kurang nendang. Gegap-gempita sebuah pertandingan akbar—seperti kata pembawa acara—juga tak tergambar secara visual lantaran di layar kita disuguhi deretan bangku stadion yang kosong melompong.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo