Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rawan Rasuah di Sektor Pertahanan

Indonesia tergolong sebagai negara berisiko tinggi korupsi di sektor pertahanan. Pemerintah perlu menjadikan laporan Transparency International itu untuk membenahi pengelolaan anggaran sektor pertahanan.

24 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Transparency International menilai Indonesia memiliki risiko tinggi korupsi di sektor pertahanan.

  • Di antara penyebabnya adalah pengawasan lembaga legislatif yang lemah dan minimnya transparasi.

  • Pemerintah perlu mengevaluasi pengelolaan anggaran sektor pertahanan.

JAKARTA – Transparency International mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang masuk kelompok risiko tinggi korupsi di sektor pertahanan. Penilaian itu tercantum dalam laporan mereka yang berjudul "Government Defence Integrity Index 2020". Dalam laporan itu, Indonesia mendapat skor 47 dari 100 dan menempatkan kita di peringkat ke-34 dari 86 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan terdapat lima risiko yang diukur, yaitu politik, keuangan, personel, operasional, dan pengadaan. Dari sisi politik, Indonesia berada di posisi risiko tinggi. Sedangkan di sisi personel, keuangan, dan pengadaan berada di level moderat. Adapun pada sisi operasional, risikonya kritis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sisi tingkat risiko korupsi, Alvin melanjutkan, Indonesia berada di level risiko yang sama dengan posisi terakhir kali laporan ini diterbitkan pada 2015. “Bisa diambil kesimpulan bahwa indikator soal anggaran pertahanan stagnan tingkat integritasnya,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Alvin menyatakan, dari sisi risiko politik, Transparency International menilai belum ada pengawasan yang optimal dari lembaga legislatif, meski memiliki kekuasaan formal cukup kuat. Anggota Dewan, kata dia, memiliki keterbatasan jika bicara mengenai belanja pertahanan dan kurang menggali lebih dalam soal isu ini.

Peneliti dari Transparency Internasional Indonesia (TII), Alvin Nicola. Dok Antara

Dari sisi keuangan, permasalahan umum sektor pertahanan Indonesia adalah penerapan kategori pembukaan informasi atas nama keamanan nasional. Hal ini dinilai kerap menjadi pembatasan akses informasi bagi publik. Alvin mengungkapkan masyarakat sipil kesulitan mengakses sejumlah pendapatan di luar anggaran atau off budget revenue.

Alvin mengatakan kategori risiko personel terkait dengan perangkat kode etik dan pelatihan-pelatihan tentang integritas serta antikorupsi di lingkungan institusi militer. Hal ini meningkatkan ancaman korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kategori ini juga menyoroti lemahnya sistem perlindungan whistleblowing di lembaga-lembaga pertahanan.

Soal risiko operasi militer, Transparency International menilai Indonesia belum memiliki langkah yang cukup untuk memitigasi risiko korupsi dalam proses penempatan personel pada operasi militer. “Dalam konteks instrumen monitoring dan evaluasi ketika di lapangan saat melakukan operasi belum sepenuhnya diikuti dengan mekanisme antikorupsi, misalnya soal pengadaan,” ujar Alvin.

Risiko terakhir adalah pengadaan. Transparency International menemukan sebagian besar pengadaan pertahanan berasal dari sumber tunggal atau tidak digelar secara kompetitif. Meski dianggap wajar karena keterbatasan sumber pengadaan, praktik ini tetap perlu dirangkaikan dengan transparansi dan akuntabilitas. “Isu transparansi dan akuntabilitas tak seharusnya ditinggalkan dalam sektor pertahanan,” kata Alvin.

Laporan Government Defence Integrity Index 2020 yang disusun Transparency International menilai kualitas pengendalian kelembagaan untuk mengelola risiko korupsi di lembaga pertahanan dan keamanan. Selandia Baru menempati urutan pertama dengan skor 85 dari 100 dalam indeks ini.

Indonesia masuk kategori risiko tinggi bersama Malaysia, Rusia, Yunani, Kosovo, Portugal, dan Argentina. Negara tetangga Indonesia, seperti Filipina dan Singapura, berada di kategori risiko moderat. Filipina, misalnya, Alvin menjelaskan, lebih unggul di risiko politik dan operasional dibanding Indonesia. “Kementerian Pertahanan Filipina memiliki kebijakan standar pedoman informasi yang dikonsumsi publik. Ada mekanisme untuk uji akses,” Alvin mengimbuhkan.

Analis intelijen dan keamanan dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan laporan ini harus menjadi bahan introspeksi dan koreksi pemerintah. “Ketika ada suara-suara soal adanya potensi korupsi, ya, dijelaskan saja. Dibuat sistem dan celah-celah terjadinya korupsi ditutup,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Kecurigaan publik soal adanya ancaman korupsi di sektor pertahanan dapat direduksi ketika kenaikan anggaran pertahanan dibarengi peningkatan kesejahteraan prajurit dan ketersediaan alutsista. “Ketika kenaikan anggaran bisa dibuktikan hasilnya di publik meski tanpa mendetail, orang akan maklum,” ujar Stanislaus.

Pengamat militer. Al Araf . TEMPO/M. Taufan Rengganis

Pengamat militer, Al Araf, mengatakan sektor pertahanan berkarakter unik. Pertama, karena nilainya fantastis. Kedua, karena adanya dalih kerahasiaan negara yang menimbulkan kecurigaan adanya negosiasi-negosiasi tertutup antara pemerintah dan parlemen. “Berdampak pada ketiadaan optimalisasi penggunaan anggaran sektor pertahanan secara maksimal karena duitnya terpangkas di proses negosiasi politik antara pemerintah dan DPR,” kata dia, Senin lalu.

Anggota Komisi Pertahanan DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan pengawasan parlemen telah memastikan instrumen negara berfungsi, baik kepatuhan terhadap undang-undang maupun peraturan-peraturan teknis pelaksanaan, seperti pengadaan. “Semua instrumen pengawasan kami bentuk agar prinsip akuntabilitas, transparansi, good governance, dan strategis terpenuhi,” kata dia.

Indonesia masuk kategori dengan risiko korupsi tinggi di sektor pertahanan.

Tempo berupaya meminta konfirmasi kepada Kementerian Pertahanan dengan mengirimkan surat kepada Kepala Hubungan Masyarakat, Marsekal Pertama Penny Radjendra. Dia menolak berkomentar karena masih menunggu penjelasan dari satuan kerja terkait soal temuan Transparency International tersebut.

DIKO OKTARA | MIRZA BAGASKARA (MAGANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus