Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu Utami*
Bukalah Wikipedia. Carilah aspek (aspect) dalam bidang linguistik. Kita akan menemukan artikel dalam banyak bahasa lain, tapi tidak dalam bahasa Indonesia atau Melayu. Apakah itu berarti aspek tak dikenal dalam gramatika kita? Bisa jadi. Bisa juga tidak begitu.
Tata bahasa kita tidak mengenal penanda kala, toh kita paham tentang pengertian waktu. Kita tak menggunakan kata kerja yang berbeda untuk pergi dua ratus tahun lalu atau sekarang. Napoleon naik kuda (dulu). Tuan P naik kuda (sekarang). Kata kerjanya sama, naik kuda juga. Toh, kita mengerti ada perbedaan zaman. Kita memang memiliki tata bahasa yang implisit, yang mengizinkan ketidakjelasan. Bukan untuk disesali, melainkan untuk disiasati.
Aspek adalah suatu kategori gramatika mengenai tindakan (wujudnya adalah kata kerja) dan bagaimana tindakan itu berhubungan dengan, antara lain, waktu dan aras. Selesai atau tidak selesai, sempurna tidak sempurna, searah atau bolak-balik atau berbanyak arah adalah beberapa aspek verba yang dikenal dalam bahasa lain. Dalam bahasa-bahasa Slavia, ada kata kerja yang berbeda untuk mengatakan bahwa Tuan P naik kuda satu arah atau bolak-balik atau putar-putar, sampai selesai atau tidak. Perangkat itu tak ada dalam bahasa Indonesia.
Tapi sebetulnya ada beberapa potensi gramatika yang bisa dimanfaatkan. Ambillah contoh kata "jatuh". Kita tahu beda antara jatuh, terjatuh, menjatuhkan, dan berjatuhan. Memang tak ada yang spesifik membawa aspek selesai-jatuh sampai mendarat-tapi ada perbedaan arah dan frekuensi antara tiga yang pertama dan "berjatuhan". Sistem imbuhan kita sesungguhnya telah menggarap beberapa aspek dan berpotensi untuk terus dikembangkan. Untuk itu memang diperlukan sedikit keberanian morfologis.
Sebuah kata kerja dasar, tanpa imbuhan, mengandung makna yang lebih luas daripada yang diberi imbuhan. Ia lebih implisit. "Saya duduk" bisa berarti saya sedang duduk atau saya mendudukkan diri (bentukan ini benar secara gramatika tapi jarang dipakai). Untuk yang terakhir, Indonesia timur punya cara yang lebih bagus: "Saya pergi duduk". Kita bisa memilih untuk eksplisit.
Kita bisa menggunakan pola yang sama pada banyak kata kerja lain. Selama ini, ada beberapa verba yang tidak dipakai tanpa imbuhan dalam bahasa baku. Misalnya "henti". Memang "henti" punya substansi makna yang berbeda; ia oposisi dari kata kerja gerak (maksudnya, yang mengandung makna perpindahan, bahkan sekalipun cuma beberapa milimeter). Seharusnya kita bisa bilang "mobil itu telah dua jam henti di tepi jalan" dan membedakannya dari "mobil itu pun berhenti di tepi jalan (setelah kehabisan bensin)". Yang pertama menjadi kata kerja tidak bergerak (seperti "duduk"), yang kedua kata kerja gerak (seperti "pergi duduk" atau "mendudukkan diri"). Di sini kita sudah mendapatkan aspek tidak bergerak dan aspek bergerak. Jadi, kata dasar "duduk", "henti", dan sejenisnya adalah kata kerja tidak bergerak yang bisa diberi aspek bergerak.
Ada memang kata kerja gerak: pergi, panjat, lari, jalan, terbang, dan sejenisnya. Pemahaman mengenai kata kerja gerak ini tidak saya dapatkan dalam pelajaran bahasa Indonesia, tapi dalam bahasa-bahasa Slavia. Kita selalu boleh belajar dari tempat lain untuk memahami diri sendiri.
Sebetulnya kita bisa kembali pakai kata dasar tanpa imbuhan untuk makna kebiasaan (habitual) selain aspek tidak bergerak: "saya biasa pakai seragam ke sekolah", dan membedakannya dari "sehabis mandi saya memakai seragam". Pada yang pertama seragam pun telah menempel di badan, pada yang kedua seragam sedang dalam proses dipasangkan ke badan. Contoh lain yang sedikit berbeda: "tiap sore saya panjat pohon jambu itu" dan "sore itu saya memanjat pohon jambu". Dengan demikian, kita juga punya yang setara dengan simple tense dan continuous tense.
Aspek lain, yaitu kemajemukan dan arah, bisa ditambahkan lagi. Misalnya, "saya panjati pohon itu" atau "saya panjat-panjat pohon itu". Keduanya mengandung frekuensi dan arah yang majemuk.
Memang perlu sedikit keberanian untuk mengubah kebiasaan lama yang terlampau implisit, tak memanfaatkan potensi penajaman. Hilangkanlah imbuhan yang tak sangat perlu agar imbuhan bisa mengemban makna yang lebih spesifik. Misalnya: majikan itu biasa pukuli pembantunya. Pada suatu hari majikan itu ternyata memukuli pembantunya sampai mati. Setiap pagi ia jalan kaki ke stasiun. Ketika ia berjalan kaki ke stasiun, ada motor yang menyenggolnya. Ah, memang yang "pukuli" itu belum umum dipakai dalam bahasa tulis. Tapi alah bisa karena biasa. Apalagi jika tujuannya memperkaya gramatika Indonesia. l
*) Sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo