Ishadi mengatasi kesulitan dana dengan cara melobi pejabat, direktur, perusahaan iklan, sampai artis. Ia mendesain acara-acara baru untuk bersaing dengan televisi swasta dan menjawab kritik. "Ishadi, manusia lang~ka. TVRI dikritik, dica~ci-maki, bahkan disepelekan. Tapi ia menanggapinya dengan kerja keras. Dan hasilnya? Ibarat wanita, wajah televisi di usia 30 malah kelihatan molek dan seronok." Ini pendapat Kepala Seksi Monitor TVRI, J.B. Wahyudi, sahabat Ishadi. Tapi pujian sahabat itu barangkali tidak berlebihan. Berbagai "prestasi" Ishadi, yang memulai kariernya sebagai reporter, memang pantas dicatat. Tak bisa disangkal, ia berhasil membangun berbagai mekanis~me baru yang membuat TVRI keluar dari berbagai kesulitan. Walau cuma sebagian. Ishadi Soetopo Kartosapoetro, 49 tahun, memang "tukang bongkar". Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan lulus Pascasarjana di Ohio University di Amerika ini sudah mulai membenahi TVRIsejak menjabat Kepala Stasiun Yogyakarta pada 1985. Kala itu, selain memimpin 300 karyawan, ia ikut mendesain aneka program baru. Salah satunya, Tanah Merdeka, sebuah paket acara untuk remaja. Acara inidipandu remaja berprestasi dengan gaya remaja pu~la. Pada saat wawancara, misalnya, kesan formalistis sengaja dihapuskan. Sehingga ketika istri Panglima Besar Soedirman diwawancarai, ia bak bercerita pada cucunya. Tanah Merdeka jawaban bagi kritik yang menganggap acara-acara remaja di TVRI selama ini klise dan dangkal. Film seri Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang ditayangkan TVRI pusat, misalnya, tak disukai karena ceritanya kurang dekat dengan tokoh sejarah. Maka, kehadiran Tanah Merdeka kontan mendapat sambutan. Remaja Yogya menganggap inilah acara yang pa~ling pas bagi mereka untuk mengetahui dedikasi para tokoh besar Indonesia dan sejarah nasional. Ketika Ishadi ditarik ke Jakarta pada 1987, gairah untuk membenahi keruwetan itu makin menjadi-jadi. Tanpa basa-basi ia mengakui, banyak acara TVRI yang tidak menarik dan disajikan dengan cara yang membosankan. Ishadi mengadakan serangkaian pembenahan. Ia tak lagi berpegang pada pola: tak boleh ada film seri pada pukul 19.00 sampai 21.00. Soalnya, "Inilah saatnya orang rileks dan membutuhkan hiburan," katanya ketika itu. Ia juga menyajikan film cerita dua kali seminggu. Tadinya hanya malam minggu. Wajah baru TVRI makin mencolok saat RCTI muncul tahun 1989. Mitra kerja ini, tak bisa tidak, menjadi saingan TVRI. De~ngan bantuan iklan, RCTI terang lebihmampu menyajikan acara-acara bagus. Dengan dana terbatas, Ishadi menambah MDNMsaluran baru, yakni Programa 2, acara khusus Ibu Kota. Bisa ditebak, acara ini memang untuk menyaingi RCTI.Programa 2 yang berlangsung sejak sore hari ini memberi suasana segar. Selain karena penampilan penyiarnya yang santai dan sedap di~pandang -- karena umumnya mereka masih mahasiswi -- juga karena susun~an acara di saluran ini ditata apik. Ada film pen~dek, paket musik, kuis, dan acara olah raga yang dikemas rapi. Untuk menyaingi Seputar Indonesia RCTI, TVRI membentuk news hunter. Tim ini bertugas memburu berita-berita aktual, seperti peristiwa jatuhnya pesawat Hercules yang mengangkut prajurit ABRI usai upacara pe~ringat~an Hari ABRI, Oktober tahun silam. TVRI juga mengirim reporter sampai ke Perang Teluk dan Olimpiade Barcelona. Dulu, TVRI baru berangkat jika diundang. Yang paling istimewa, Ishadi punya kemampuan dalam meng~atasi kesulitan dana. Ia turun tangan saat pembuatan sinetron Sitti Nurbaya dan Sengsara MembawaNikmat mengalami kekurangan dana. Kedua sinetron yang pembuatannya menelan biaya Rp 400 juta itu akhirnya bisa diselesaikan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) membantu pembuatan sinetron-sinetron ini dengan imbalan ucapan terima kasih yang ditayangkan dalam susunan kerabat kerjaMDNM. Sitti dan Sengsara, yang nas~kahnya ditulis Asrul Sani, akhirnya menjadi indikator bangkitnya sinetron di TVRI. Maka, jadilah tahun 1991 tahun sinetron. Acara sinetron bermunculan. Ada pe~kan sinetron, ada pekan sinetron anak-anak, ada pula pekan sinetron remaja.Untuk tahun 1992 saja, TVRI menargetkan akan menayangkan 322 sinetron. Maraknya sinetron itu, secara tak disengaja, membantu artis film yang banyak "menganggur" karena produksi film sedang lesu. Tetapi dari mana TVRI mendapatkan dana untuk membiayai sinetron yang ongkos produksinya minimal Rp 20 juta? Kesulitan ini terpecahkan dengan cara kerja sama dengan berbagai rumah produksiMDNM, perusahaan film iklan. Cara yang sama ditempuh Ishadi dalam memproduksi acara kuis, yang be~lakangan semakin marak dengan hadiah-hadiah mahal. Jika pembawa acara menyebutkan merk hadiah,kata Ishadi, itu halal saja. Ini kan tidak termasuk iklan. Ishadi, tak bisa disangkal, seorang pelobi MDNMulung. Coba saja, biaya sewa satelit untuk penayangan siaran langsung dari daerah dalam Berita Nasional, bila dihitung bisa mencapai Rp 11 milyar sebulan. Tapi de~ngan pendekatan ke Direktur PT Telkom, Cacuk Sudarijanto, TVRI mendapatkannya dengan gratis.Sistem ini ternyata vital, untuk menayangkan berita-berita aktual seperti kebakaran pasar Wonokromo, Surabaya, baru-baru ini. Selain itu, Ishadi jugaboleh menggunakan satelit selama 100 jam lebih, selama Olimpiade Barcelona berlangsung. Kalau dihitung-hitung, biayanya bisa lebih dari Rp 7 milyar. Ishadi juga mengusahakan pendidikan karyawan, sebisanya tanpa mengeluarkan biaya. Penyiar Usi Karundeng belajar bahasa Inggris ke Australia. Ini hasilmelobi Kedutaan Australia. Instruktur pendidikan dan pelatihan (diklat) Ramli Parenduri dan reporter Edwin Rondonuwu belajar di PT Telkom, Bandung.Hasilnya, diklat yang dulunya "menganggur" hidup kembali. Pendidikan danpelatihan ini memang diperlukan karena lebih dari separuh karyawan TVRI belum menempuh pendidikan dasar. Ishadi dikenal pula sangat memperhatikan karyawan. Ia memutuskan menaikkan uang makan karyawan dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.000. Tampaknya memang cuma naikRp 1.000, tetapi ini keputusan besar karena kar~yawan TVRI ada 6.000. Selain mendatangi orang untuk melobi, Ishadi juga menerima, bahkan orang luar, untuk didengar usulnya. Penyanyi Iin Parlina berkisah, ia suatu ketikamengusulkan agar Iwan Hernawan, seorang editor, diangkat menjadi pengarah acara. Ishadi setuju. Kenyataannya Iwan memang berprestasi dan belakangan disekolahkan ke Jerman. Adalah Ishadi pula yang berhasil merangkul sutradara besar seperti Teguh Kar~ya, Slamet Rahardjo, dan Arifin C. Noer untuk menggarap sinetron. Dan biaya Rp 109 juta per sinetron didapat TVRI dengan jalan kerja sama denganMenteri Negara KLH dan John Hopkins University, Amerika Serikat. Dengan kerja sama pula TVRI membeli film Tjoet Nya' Dhien seharga Rp 100 juta, dan Jakarta 66 Rp 20 juta. Maka, tidak aneh bila penggantian Ishadi sebagai Direktur Televisi membuat banyak kalangan bertanya-tanya. Sebagian ber~tanya, bukankah TVRI justru memerlukan orang yang bisa mengatasi masalah dana. Pertanyaan lain, tugas apa yang menunggu Ishadi. Apa lebih berat? Jawabannya ternyata pertanyaan-pertanyaan juga -- yang susah dijawab. Kini Ishadi berkantor di Departemen Penerangan. Di sini ia membawahkan hanya 22 karyawan. Ia diminta melakukan serangkaian pekerjaan penelitian dengananggaran Rp 20 juta setahun. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini