IKLAN tak cuma bisa menghasilkan uang, tapi bisa juga mengundang perkara. Ga~ra-gara memuat iklan yang dinilai tak etis, dua surat kabar asing, Asian Wall Street Journal (AWSJ) dan International Herald Tribune (IHT), untuk sementara dilarang ber~edar di Indonesia. Iklan yang menjadi persoalan itu dipasang oleh jasa kurir internasional, DHL Worldwide Express, pada edisi 1 dan 3 Juni serta edisi 3 dan 5 Agustus 1992. Dalam iklan lima kolom tersebut dipasang lima foto kepala negara di Asia. Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong, Presiden Korea Selatan Roh Tae Woo, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Presiden Taiwan Lee Teng Hui, danPresiden Soeharto. Di jajaran foto bawah, dipasang foto seorang kurir DHL Worldwide Express. Di bawah foto-foto tersebut tertulis, Who keeps the world's fastest moving economies moving faster? (Siapa yang memegang kendali kemajuan ekonomi paling cepat di dunia?). Dan di bawahnya terdapat tulisan yang menerangkan bahwa perusahaan tersebut turut menumbuhkan bisnis dan perdagangan di 36 negara. Yang pertama kali memberi reaksi keras, Ais Anantama Said, Komandan Garda Muda Penegak Orde Baru -- putra Ali Said. Dalam siaran persnya disebutkan, pihaknya memprotes keras pemuatan iklan tersebut. "Masa, presiden kita sengaja disejajarkan dengan kurir," katanya. Sejumlah anggota DPR pun ikut me~ngecam. "Sebagai warga negara, saya tidak rela kalau kepala negara saya dijadikan model iklan. Ini penghinaan yang tidaktanggung-tanggung," kecaman Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan DPR Ben Messakh. Rekannya, Thaheransyah Karim dari Fraksi Persatuan Pembangunan, menuduh tindakan yang dilakukan DHL tersebut tak bermoral, karenamengeksploitasi kehormatan bangsa untuk tujuan bisnis. Ia menuntut agar DHL mempertanggungjawabkan perbuatannya. "Pihak Departemen Penerangan saya harapkan me~ngambil langkah-langkah dalam rangka penuntutantersebut. Karena masalahnya sa~ngat menyinggung perasaan bangsa," ujar Karim. Seingat dia, dalam kode etik periklanan diatur bahwa pemasangan bendera,lambang negara, dan kepala pemerintahan tidak diperbolehkan. Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia Yusca Ismail membenarkan adanya peraturan semacam itu. Iklan yang dipasang DHL, diakui Yusca, sebagai iklan yang tidak etis, jika ditempatkan dalam konstelasi budaya Indonesia. Namun, ia tidak bisa berbuat lebih jauh, misalnya menegur biro iklan yang bersangkutan. Alasannya, kita tak memiliki jalinan dengan manajemen biro iklan yang kabarnya berada di Hong Kong itu. Po Chung, pemimpin tertinggi perusahaan DHL Asia Pasifik, cepat-cepat me~nge~luarkan siaran pers. Melalui presiden komisaris DHL Indonesia Rudy Pesik, Chung menyatakan rasa penyesalannya, atas dimuatnya iklan yangdirasakan sangat ofensif tersebut. "Sama sekali bukan maksud kami untuk menghina para kepala negara yang memimpin negara di Asia yang sedang mengalamikemajuan ekonomi yang pesat itu," kata Po Chung. Po Chung berjanji akan segera mencabut iklan tersebut. Pihaknya juga menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada seluruh bangsa Indonesia atas implikasi negatif dari pesan iklan tersebut. "Kami harapkandengan sangat agar pernyataan maaf dan pencabutan iklan tersebut bisa memulihkan hubungan baik yang telah terbina dengan kami selama ini di kawasanAsia Pasifik," ujar Po Chung. Namun, Menteri Penerangan Harmoko tetap belum bisa menerima, kalau hanya pihak DHL dan Indoprom (distributor dua surat kabar tersebut untuk Indonesia) yang minta maaf secara terbuka. Ia mengharapkan agar Asian Wall Street Journal dan International Herald Tribune (beredar sekitar 2.000 eksemplar di Indonesia) menyatakan mencabut dan juga memuat permintaan maaf secara terbuka di halaman surat kabar mereka. Diingatkan bahwa untuk memuat gambar orang biasa saja, harus minta izin kepada yang bersangkutan, apalagi iklan tersebut memuat gambar kepala negara, termasuk Presiden Soeharto. Karena itu, selama belum ada permintaan maafterbuka, kedua surat kabar tersebut tak diizinkan ber~edar di Indonesia. Reaksi publik di negara lain yang kepala pemerintahannya ikut dipajang, tidak terdengar. Tapi Malaysia dan Singapura secara resmi sudah menyatakanpenyesalan karena pemuatan foto tanpa izin itu. Mereka juga menuntut permintaan maaf. Bagai~mana dengan media yang memuatnya? "Tak ada hubungannya," kata sekretaris perdana menteri Singapura kepada TEMPO. "Ini hanya berhubungan dengan pengiklanan." Sementara itu, menteri penerangan Malaysia menyatakan akan mengambil tindakan. Tapi belum tahu apa. Aries Margono dan Andy Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini