Sebuah kasus pembunuhan diusut ulang. Kesilapan penegak hukum mengambil kesimpulan menandakan kurangnya kepedulian terhadap risiko hukum. Ada ketakutan universal di kalangan ha~kim yang arif: meng~hukum orang yang tidak bersalah. Maka, bila fakta dalam pembuktian meragukan, seorang hakim yang arif akan memilih berbuat salah, membebaskan terdakwa daripada menempuh risiko menghukum terdakwa yang, siapa tahu, tidak bersalah. Namun, adalah kenyataan bahwa tidak semua hakim arif. Maka, tidak semua hakim peduli terhadap risiko mengambil keputusan yang salah. Inilah yang terjadi di Kalimantan Timur. Stefanus Tote, terdakwa tunggal kasus pembunuhan, divonis Pengadilan Negeri Tenggarong, Kalimantan Timur, lima tahun penjara. Hakim, antara lain berpegang pada pengakuan terdakwa, yakin pemuda berusia 20 tahun itu membunuh Yosep Beda. Padahal, fak~ta dalam pembuktian di persidangan sangat kabur. Saksi mata juga tidak mendukung pembuktian itu. Maka, hakim kemungkinan besar membuat kesalahan. Ternyata, tanda-tanda yang menunjukkan vonis hakim, yang dijatuhkan 23 Juli lalu, salah semakin nyata. Kamis pekan lalu, polisi Bontang, Kalimantan Timur, memeriksa kembali kasus Stefanus. Bukti-bukti baru menunjukkan bahwa pembunuh Yosep Beda bukan Stefanus Tote, tapi Yacob Benelando, 48 tahun, kakak kandung Stefanus. Dalam persi~dangan Stefanus, si kakak, diajukan sebagai saksi. Tanda-tanda Stefanus tak bersalah tersingkap gara-gara "nyanyian" dua saksi mata, Bernadus Gahar dan Paskalis Nale. Kedua orang ini mengaku melihat perkelahian Yacob Benelando -- dibantu lima rekannya -- dengan Yosep Beda. Sebetulnya, kedua saksi, Bernadus dan Paskalis, sudah sejak awal memprotes kesimpulan polisi dalam perkara Stefanus. Sehari setelah muncul berita pembunuhan itu di koran Manuntung edisi 7 April 1992, mereka menulis surat ke polisi menyatakan kesimpulan pemeriksaan polisi tidak benar. Dalam berita di Manuntung itu, Kepala Polisi Bontang Letnan Kolonel Sadji Aljairi menyatakan bahwa Stefanus membunuh Yosep Beda, begitu melihat kakaknya, Yacob, berkelahi dengan Yosep. Stefanus memukul korban dengan batang pohon kelor. Selain menulis surat, di persidangan pun Bernadus dan Paskalis membantah kesimpulan polisi itu. Menurut kedua saksi mata itu, pada hari kejadian, 29 Maret 1992, Yacob memang berlaga dengan Yosep memperebutkan tanah garapan seluas 8.700 meter persegi di Dusun Kanaan, Bontang Selatan. Stefanus dan lima teman Yacob meng~amati ja~lannya duel dengan parang itu. Mereka memegang kayu kelor -- disiapkan untuk melumpuhkan "kesaktian" Yosep. Hatta, Yacob keteter. Melihat keadaan itu, salah seorang teman Yacob, Simon, menghantamkan kayu ke kepala Yosep. Begitu Yosep tersungkur, Yacob mengayunkan parangnya ke kepala korban. Ketika itu Bernadus dan Paskalis mencoba melerai. Tapi sia-sia. Akhirnya, mereka cuma bisa menggotong Yosep ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian, Yosep tewas. Merasa kesaksian mereka yang benar diabaikan, Bernadus dan Paskalis melayangkan surat ke Kepala Polisi Daerah Kalimantan Timur (Kapolda). Pada 28 Juli, upaya mereka didukung Ikatan Keluarga Nusa Tenggara Timur (Ikenttim), baik pelaku maupun korban, memang asal NTT. Ikenttim mengirim surat serupa ke Gubernur Kalimantan Timur. Ikkentim menyatakan bahwa persidangan berlangsung tidak adil -- melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perkara berat itu ditangani hanya oleh seorang hakim -- D. Sabantalandingun. Stefanus juga tidak didampingi pembela. Karena itu, Stefanus menerima saja hu~kuman itu dan tidak naik banding. Dalam pemeriksaan kembali, Stefanus membenarkan semua cerita Bernadus dan Paskalis. Ia mengaku ingin melindungi kakaknya, semata-ma~ta karena si kakak sudah beranak-istri. Ini kembali menunjukkan kelemahan polisi dan hakim dalam mengambil kesimpulan. Dalam perkara pidana, apalagi pembunuhan, pengakuan tidak bisa digunakan menyimpulkan kesalahan. Upaya me~ngambil alih tanggung jawab dengan tujuan melindungi, memang sering terjadi. Sering pula yang dilindungi justru penjahat yang tak layak dilindungi. Yacob, yang dilindungi sang adik, malah bersikukuh menyatakan adiknya yang membacokkan parang ke kepala korban. Yacob malah me~nantang si adik sama-sama minum racun, untuk membuktikan siapa yang sebenarnya bersalah. Sementara pengu~sutan masih terus dilakukan, Kepala polisi Bontang yang baru, Mayor Sumarlian Basuki, menahan Yacob dan Simon yang diduga kuat melakukan pembunuhan. Ketua Pengadilan Negeri Tenggarong, Sjofinan Soemantri menyatakan bahwa keputusan hakim, D. Sabantalandingun, bawahannya sudah betul. "Kalau ada fakta baru bisa ditempuh upaya peninjauan kembali (PK)," katanya dengan ringan. Happy Sulistyadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini